Jumat, 18 November 2011

Sayap-sayap kecil itu...

Sore itu ketika mendung sudah mempersunting sang awan untuk mengarungi hari dengan butiran air hujan. Saya berada disuatu cawan teduh dengan sayap-sayap kecil saya. Seperti petir yang dengan setia mengiringi sang mendung, gemuruh itu pula yang menemani hati saya. Betapa terkejutnya saya. Sayap-sayap kecil saya itu sudah tak sudi lagi menemani hari-hari saya. Bercumbu dan bergumul dengan makhluk bodoh ini. Begitu banyak akumulasi yang saya lakukan selama ini yang tak pernah dibicarakan dihadapan saya. Yang membuat sayap-sayap kecil itu ingin lepas dari bahu yang rapuh ini. Rasanya seperti dilempari batu jumrah yang mungkin lecetnya bukan hanya melukai kulit tubuh tapi juga lapisan tipis hati ini dan memuncratkan seluruh isinya. Sayap kecil saya tak mampu mencerna apa yang ingin saya tuju, saya mengerti mereka lelah dengan berbagai kelakuan jalang saya. Terlalu lelah mungkin mereka sehingga lebih memilih kembali pada dewa yang menciptakannya. Tak pernah saya lihat tawa itu, senyum itu, dan kehangatan dahulu lagi. Ketika tawa menjadi sesuatu yang renyah untuk diremas, dan ketika senyum terasa hangat dan manis bagai senja yang memeluk pantai disaat matahari terbenam. Kehangatan yang selalu membalut sang mentari ketika kembali pada peraduannya.

Teringat saya pada suatu wacana. Alasan mereka lelah menjadi sayap-sayap kecil saya. Saya terlalu manja. Tapi inilah saya. Saya bukan titisan dewa. Hanya manusia biasa yang diciptakan Tuhan dengan kelebihan dan kekurangan. Bukan pula burung bersangkar emas dengan limpahan rahmat dari setiap orang yang melihat gemerlapnya. Saya terlalu feminim. Dengan berbagai kata yang kau sebut indah ini. Saya hanya seorang anak laki-laki biasa. Tak dibesarkan didunia keras, ataupun dididik dengan berbagai macam piranti kebanggaan kaum adam. Wajar bila saya punya sisi feminim. Coba tengok seniman sastra yang mengagungkan cinta. Bukankah itu adalah sisi feminin yang mereka miliki? Saya berani jamin bahkan seorang yang heroikpun masih menggunakan hati dalam hidup mereka. Pasti ada ruang itu didalam rongga kehidupan mereka, yang mungkin tersembunyi dan digunakan untuk keperluan tertentu saja.

Saya hanya bisa diam, meringkuk tak berdaya. Seperti petir yang bersahutan dan saya seperti anak kodok yang rindu hujan namun takut menatap rinainya. Begitu banyak kata yang bergejolak menghantui mulut saya. Yang terasa kelu untuk diucapkan. Menangis. Mau dikata apa lagi kalau saya menangis? Banci!
Setelah itu saya coba untuk melepaskan sayap-sayap itu dengan sisa-sisa nafas saya dan membiarkan dimana mereka akan menemukan puannya. Berharap mereka bisa kembali tersenyum walaupun bukan dengan waktu dan dimensi yang biasa kita reguk bersama. Dan saya mencoba untuk menjadi sesuatu yang berdiri sendiri dengan kaki rapuh saya. Kereotannya justru menambah berwarna perjalanan ini dengan berbagai kejutan ditiap harinya.

Rabu, 09 November 2011

Mencari

Satu kata ini setidaknya mewakili perasaan saya saat ini. Sebenarnya saya tidak mengerti definisi kata mencari itu apa sebenarnya. Membuat saya setiap waktu bahkan setiap detik harus memikirkan maknanya. Membuat saya menjadi galau. Sedih. Terjepit. Merasa berada disudut ruang gelap yang tak saya temui ujungnya. Sebenarnya apa yang telah saya cari sekarang? Mencari sesuatu yang sebenarnya tidak pernah saya ketahui apa yang telah hilang dari hidup saya, yang sebelumnya sayapun tak tahu apa yang sedang saya cari. Semakin saya tela'ah dan saya maknai setiap desah nafas ini membuat saya menjadi semakin berat untuk melangkah, bahkan untuk berdiripun tak ada kuasa untuk itu.

Hingga datang pada saya suatu wacana. Wacana yang menjawab apakah yang sebenarnya terjadi dalam pencarian saya. Sesuatu yang awalnya saya nilai ini sebagai sebuah gravitasi yang menarik saya pada cerita klasik dahulu. Yang medannya sangat kuat menarik saya kembali kemasa itu. Membuat saya tak berani membuka cerita baru dengan pemeran pendatang terbaru yang siap matang untuk menceritakan kisah itu. Ternyata bukan. Yang saya cari mungkin selama ini adalah emas yang berkilauan diatas sana. Mencari sesuatu yang selama ini menyilaukan dan menghias mata saya dengan indahnya. Berharap bahwa sesuatu itu bisa menjadi tuan saya. Yang saya dekap setiap hari. Hela nafasnya hanya untuk saya. Yang pacuan kudanya mengiringi nafas saya. Menjadi udara yang siap mengaliri rongga hidup saya yang berdebu ini. Sesuatu yang saya bisa lingkari pinggangnya ditengah pacuan kudanya. Menjadi penghias tidurnya. Seperti hewan buduk yang berharap diadopsi oleh seorang putra raja. Atau seminimalnya berharap bangkai tempat sampah yang harumnya membuat air liur ini menetes. Sesuatu pengharapan yang sia-sia penantiannya.

Saya bukan seorang yang munafik. Saya mau kesempurnaan itu. Selalu ada waktu yang kita dekap dengan santai. Membunuh waktu bersama tanda ada penghalang jarak dan waktu. Berdekapan selalu. Waktu melawan badai dan hujan itu bersama. Didalam satu tempat yang sama, satu tunggangan yang sama. Ketika senja sudah memeluk lelah ini, wajah itu yang ingin saya jadikan tempat rehat sejenak sebelum saya kembali keperaduan mahsyur saya. Menjalani semuanya, halang rintangan. Merasakan tajamnya air hujan, merasakan deburan debu jalanan menjadi sesuatu yang menyejukkan, merasakan siraman sinar matahari yang membuat kulit sedikit lebih lebam. Dimana kutemukan sesuatu itu? Sepertinya takkan ada siapapun yang akan melewati kesempurnaan itu.

Saya takut. Saya percaya karma itu ada. Ada dua sisi bersebrangan yang siap perang didalam hati saya. Yang jika saya lengah sedikit saja mereka akan maju bertempur dengan hebatnya. Entah sisi mana yang akan menang. Saya ingin mengisi hidup saya tanpa menyakiti siapapun. Pada kenyataannya saya menyakiti. Saya tak sanggup mengutarakan perang apa yang terjadi dalam hati saya. Saya sendiripun tak mengerti maknanya. Sudah cukup saya merasakan sakit itu. Sakit karena karma. Sakitnya yang sampai ulu hati, pilu dan membiru. Apa tak boleh saya merasakan gemerlap itu lagi? Gemerlap yang menjadikan dinginnya malam seperti angin sore. Gemerlap yang tersakiti itu terasa nikmat. Gemerlap tentang mencintai dan dicintai. Gemerlap yang menyilaukan bagi siapapun disekitarnya. Gemerlap yang membuat canda, tawa, tangis, dan haru menjadi sesuatu yang bermakna. Gemerlap dengan airmata dan senyuman yang menghiasi malam dingin. Ini tentang hidup, sulit dijelaskan dan ditela'ah teorinya. Hanya teorinyalah yang mampu menjelaskan segalanya. Membuat segalanya menjadi bukan sesuatu jalan yang final. Selalu ada cabangnya. Setiap cabang memiliki jalannya masing-masing.

Kamis, 03 November 2011

Tisu itu



Answer: Sorry, I can't. I can't say no to be yours.



*Stasiun Juanda, 3 November 2011 19.00

Depok - Bogor - Juanda, 3 November 2011

Banyak kata yang dari tadi sudah ada memutar dalam kepala saya. Banyak cerita yang meledak-ledak menunggu diceritakan. Seperti kurcaci yang ingin terbang lepas diudara. Seperti peluru meriam yang siap disundut ujungnya. Cerita ini dimulai siang ini, disaat mentari sedang semangat-semangatnya mencurahkan cahayanya. Peluh-peluh yang menetes hanya untuk dirinya. Mencari celah hangat dari dunia ini. Merapikan kembali serpihan hati yang luka itu. Saya naiki kereta ekonomi yang sebelumnya juga sudah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini. Entah itu kereta yang sama juga atau tidak. Masih dengan propertinya yang sama, tak berubah. Derunyapun sama. Setiap detakan rel yang berpadu dengan roda besi itu setidaknya mewakili desahan nafas saya yang mencoba untuk utuh kembali. Berjelaga saya ditelaga peraduan yang sangat mencekam hati, pada sebuah wacana kalau kisah ini akan sama akhirnya seperti cerita sebelumnya. Saat ini saya bertemu kembali dengan penilai hati yang lain. Yang lain kisahnya, yang siap diceritakan di tempat yang kosong berdebu ini.

Lewat tempat yang dinamakan sarang ilmu, lengkap dengan hiasan tawa dan celoteh anak-anaknya. Menambah semarak rasa hati saya. Menghiasi setiap nafas dan memberi warna disetiap sudut lirikan dan pengamatan saya. Saya diam bukan berarti jenuh. Saya diam memotret semua kejadian indah itu dari berbagai sudut. Mencoba sekuat tenaga menyimpan detail dari semua yang saya lihat. Mungkin kalo saya bisa menjadi fotografer mungkin saya sudah jungkir balik mencari berbagai sudut mana yang indah. Tetapi saya tak perlu mencari, setiap sudut itu selalu indah dimata saya. Membuat hati saya meleleh dan tubuh ini terasa dingin kemudian panas membara, ketika kau lemparkan senyum tipismu. Serasa saya ingin hentikan waktu, memeluk hangat tubuhmu dan tak seorangpun yang berhak memisahkan kita.

Dan ketika senja sudah mulai merayu dan memeluk tubuh dengan sejuk. Yang sebentar lagi malam sudah tak sabar menggantikannya. Tibalah saya dengannya dikotak besar berjalan itu, yang temaram lampunya menghiasi setiap putaran rodanya. Kutatap wajah lelahnya. Yang tak sengaja menarik bibir ini untuk tersenyum manja dan manis. Seiring itu, hujanpun tak sabar ini menambah semarak malam itu. Hujan yang tak mau kalah menambah semaraknya dan betapa meledaknya hati ini. Ledakan yang tak henti-hentinya mengeluarkan percikan api. Ingin sekali saya senderkan kepala ini dibahunya. Sedikit merasakan betapa cengengnya saya, dan rapuhnya saya. Sedikit merasakan airmata ini, cerita kisah usang ini. Yang hanya bisa kembali berwana dengan selipan tentang cerita tentang dirinya.

Berakhir pada selembar tisu yang dituliskan dengan pulpen yang dibungkus kembali dengan bungkus permen, membuat saya lemas ketika membukanya. Membuat serasa badan ini sudah tak bertulang lagi. Sederhana, namun itu menjadi salah satu materi berharga saya sekarang. Sebuah cerita yang siap untuk diseritakan, yang siap mengisi lembaran usang selanjutnya. Yang mampu memberi makna disetiap kata-katanya. Membuat saya yakin untuk menjalaninya.
Terima kasih untuk hari ini. Kata-kata ini tak cukup mampu mengungkapkan semuanya. Tak terbayarkan. Masih banyak kata-kata yang sebenarnya masih ingin meloncat bagaikan kutu dilembar ini. Setidaknya kata-kata itu dululah yang mampu saya terjemahkan dalam dunia ini, sisanya masih jabang yang menunggu kelahirannya.