Senin, 30 Januari 2012

Anda Tuhan? Lakukanlah~




"Kita tidak berhak menghakimi mereka. Siapapun mereka dan bagaimanapun mereka. Kecuali kalau kau merasa kau Maha Esa."


-Endah Lestari

Minggu, 29 Januari 2012

Sabtu, 28 Januari 2012

Hari ini tepat hari sabtu. Sabtu yang mungkin menjadi salah satu Sabtu yang indah dalam hidup saya. Diawali dengan memburu waktu bersama sayap-sayap kecil terbaik saya. Bercengkrama, bergumul dengan indahnya kebersamaan dan tawa canda. Diselingi cerita sedih yang datang dari salah satu sayap kecil saya. Menjadi latar suasana dan panorama hati yang sangat indah dalam cinta. Panorama tentang keposesifan yang menuntun seseorang untuk takut kehilangan. Takut cinta sendiri. Sehingga membuat lemah luruh dan lelah semuanya terasa diujung yang sama. Dipelabuhan yang sama. Pelabuhan jenuh. Wahai sayap kecilku, sabarlah sayang. Sayapun pernah merasakan menjadi kamu. Belajarlah dari kesalahan. Belajarlah menyangkarkan burung emasmu didalam sangkar emas yang indah pula. Jangan kau pegang terlalu erat burung emas itu. Niscaya burung itu akan mati digenggamanmu. Kehilangan memang sesuatu yang sangat menyedihkan. Terlebih kita harus memyelipkan kata ikhlas disela-sela ceritanya. Seperti ribuan paku yang menusuk kaki bagi seseorang awam yang tak punya cukup ilmu untuk melakukan sihir. Saya tahu rasanya takut kehilangan. Dan saya mohon itu tidak terjadi padamu sayap kecilku, sayang.

Malam ini cerah. Sang malam sudah berganti. Memilih kecerahan dan angin semilir sebagai temannya dalam mengarungi karunia-Nya. Malam ini kuarungi bersama seseorang yang baru-baru ini masuk dalam hidup saya. Merasuk seperti setan. Yang kehangatannya selalu menjuluri tubuh saya lewat pori-pori ini. Kuhabiskan malam ini dengan menyambangi sang laut. Yang terlihat angkuh dan gelap dengan piranti lampu kuning temaram yang makin mempertegas keangkuhannya. Melihat sang laut yang ujungnya tak tahu seperti apa bentuknya. Sama seperti hatinya, tak pernah saya lihat ujungnya. Pikiran sayapun tertarik untuk menikmati masa lalu. Laut ini kembali menarik saya kebeberapa tahun lalu, kebeberapa bulan lalu. Saya sendiri. Hanya bersama teman-teman saya. Menikmati pantai ini dengan subjektifitas masing-masing. Menarik lagi semakin dalam kedalam ceritanya. Yang saya dengar dia pernah juga mengarungi pantai ini dengan kekasihnya terdahulu. Melempar koin bersama, saling mengucapkan janji suci bahwa itu akan abadi. Kekasih itu melakukan suatu pertunjukkan menarik. Menyimpulkan batang buah ceri dengan lidah. Yang menurut saya sesuatu yang jarang orang bisa lakukan. Terlebih pada hati kecil setiap orangpun akan mendambakan hal yang satu itu. Malam itu seakan laut terbelah dengan nyeri hati saya mendengarnya. Membuat seolah-olah sang angkuh itu bergejolak ikut merasakan ombang-ambingnya hati ini. Jangan tanya pada saya. Sayapun tak tahu mengapa seperti ini. Menjadi cengeng. Andai saja saya bisa berlari. Berlari keujung laut itu. Mengenggelamkan saya didasarnya. Rasanya sulit untuk itu seperti ada gravitasi dalam diri saya yang membuat saya memilih tetap berada disini dengan topeng super tebal supaya sayatan luka ini sedikit tertutupi.

Kembali saya berkaca. Siapa saya? Saya bukan kekasih yang pandai menyimpul batang buah ceri dengan lidah. Saya bukan kekasih yang menggunakan smartphone. Saya bukan kekasih yang bisa selalu bersama. Saya bukan kekasih yang berkulit putih. Saya bukan kekasih yang berbadan proporsional. Saya bukan kekasih yang pernah menguasai sang malam.
Merasa tak pantas saja berada disampingnya. Masuk kekehidupannya. Walaupun kenyataannya sayalah pilihannya. Membuat saya berfikir apa saya hanya pelariannya saja. Hanya pemuas nafsunya saja. Hanya penghangat tubuhnya. Persetan dengan semua pengorbanannya. Mungkin saja itu hanya bayaran setimpal untuk saya karena telah memenuhi kebutuhannya. Saya hanya punya cinta. Kasih sayang. Semoga itu cukup. Maafkan saya bila saya membuatmu malu. Hmmmm.... Andai saja gemerlap itu ada dalam diri saya. Saya rengkuh gemerlap itu dalam genggaman saya.

*Meskipun aku bukan siapa-siapa, bukan yang sempurna
Namun percayalah hatiku milikmu
Meski seringku mengecewakanmu, maafkanlah aku
Janjiku kan setia padamu, hanyalah dirimu
(Vidi Aldiano - Lagu Kita)

Minggu, 22 Januari 2012

Sekarang

Pagi ini saya suka warna birunya yang menyeruak berhamburan masuk lewat jendela kamar. Yang semburatnya sebentar lagi akan membawa sang biru menjadi oranye menyala yang bersiap menyinari kehidupan hari ini. Membuat saya merasa terhenti sejenak, walaupun waktu masih saja egois dan tak pernah ikut terhenti.

Mengingat pembicaraan semalam sebelum tidur, didalam pelukan hangatnya yang lembut. Seperti anak ayam yang didongengkan induknya sebelum tidur. Sebuah pembicaraan sederhana yang tersirat berbagai informasi menarik. Pembicaraan yang seharusnya sering ada dalam jalinan ini. Yang sangat sulit diunggah keberadaannya. Dalam kasusmu, tak pernah saya temui bagian ini. Membuat saya semakin nyaman, bertekad untuk menjadi yang lebih baik. Saling berjanji. Percaya. Semakin membuat saya merasa beruntung memilikinya, walaupun seribu lidah menghujat saya melakukan sesuatu yang kotor dan memuakkan. Saya tidak melakukan apa yang kalian fikirkan. Saya hanya merasakan cinta, yang selama ini sudah lama tidak saya reguk kesegarannya. Jika semua yang baca merupakan sebuah pembenaran, selamat bersenang-senanglah dengan fikiran kalian sendiri.

Disatu atap yang sama, yang bila saya tarik lagi kebeberapa jam yang lalu. Telah saya temukan keluarga kedua saya. Keluarga yang menerima apa adanya saya, menjadi seperti adanya saya. Kejalangan saya, ketololan saya, bahkan kemunafikan saya yang kalian dikte tempo hari. Semua terasa indah bila saling menerima dan mencintai. Tidak ada hujatan untuk saya, saya bebas menjadi merpati yang ingin meninggalkan jejak dimanapun yang saya mau.

Disore ini, ketika jingga sudah ingin kembali berjaya diselimuti oleh angin tipis, kutuliskan semua perasaan saya yang sebenarnya sudah meluap-luap menunggu meledak. Tapi cukup sepatah kata ini lah yang saya mampu tuangkan dalam bahasa manusia. Selebihnya masih menunggu, terbelunggu. Terima Kasih Tuhan, Kau buka mata saya bahwa dunia ini memang indah walaupun bukan dengan cara yang biasa Kau berikan pada yang lain. Jalan yang lurus. Setidaknya saya cukup menikmati permainan ini untuk sekarang. Untuk nantinya biarkan Tuhan yang menghakiminya. Tak berhak saya, dia, mereka, atau bahkan kalian.

Jumat, 20 Januari 2012

Saya benci jatuh cinta

Saya benci fase kehidupan yang satu ini: Jatuh cinta. Kalau ditela'ah yang namanya jatuh itu pasti sakit. Ya memang sakit tapi didalam peraga yang berbeda.
Jatuh cinta membuat saya jadi tidak bisa berfikir jernih. Kadang. Selalu ada fikiran takut kehilangan. Sisi anatomi egois saya muncul menyeruak. Membuat saya ingin selalu menjadi pemilik tunggalnya. Tanpa saya fikirkan bahwa dia juga punya kehidupan, dan yang terpenting dia adalah kepunyaan sang pencipta.

Jatuh cinta membuat saya jadi tidak fokus dalam menyelesaikan urusan saya. Terbagi dua. Bercabang seperti rambut diiklan pencuci rambut. Tidak tenang. Bayang-bayangnya selalu menari-nari. Mengitari setiap jaringan dan sel-sel otak saya.

Jatuh cinta membuat saya seperti orang idiot. Menunggu telepon genggam saya berbunyi, entah itu bunyi pesan singkat maupun panggilan suara. Tak jarang saya selalu berteriak didepan layarnya seperti memerintahkan seorang bayi untuk menangis. Aaaah saya benci menunggu. Benci sekali.

Jatuh cinta membuat saya menjadi gila. Sering tersenyum. Ini yang dinamakan rindu? Aaah kata orang rindu itu indah. Dimana letak keindahannya? Membuat saya hanya semakin tolol. Saya benci rindu, kangen atau apalah itu namanya. Saya benci kangen sama kamu.

Saya benci tidak berhenti memikirkanmu.
Saya benci menunggu pesan singkat ataupun panggilan suaramu.
Saya benci kangen sama kamu.

Sabtu, 14 Januari 2012

14 Januari 2012, Malam dan Hujan

Malam itu telah memutuskan untuk mempersunting malam dengan kelabunya dan hujannya yang rinainya sangat bergemuruh. Awan saja ikut menangis merasakan haru saya. Tanpa bulan dan bintang yang mungkin sedang merayakan semarak hati saya malam itu. Mengantarkan saya keperaduan yang sangat mahsyur untuk dipeluk ketika tubuh sudah terasa remuk di ulu-ulunya. Tentunya dengan dia yang datang mungkin untuk memberi warna untuk hidup saya yang selama ini kelabu dan abu-abu sperti klise film jaman perang dahulu. Dengannya membuat klise itu menjadi berwarna seperti hasil cetakan kamera masa kini yang diselipkan macam-macam piranti pelengkap dan fasilitas-fasilitas yang menggiurkan.

Teringat akan perjuangannya untuk saya, mukanya yang basah terkena rinai hujan yang mengamuk pada malam itu. Perjuangannya menerjang hujan dengan menggendong saya dipunggungnya. Erat pelukan saya padanya berharap bahwa ada sedikit hawa hangat yang saya alirkan untuk mencairkan dirinya yang terlalu beku untuk malam itu. Saya hanya bisa menunduk dibalik tirai penutup hujan itu yang mempersenjatai kami dalam melawan hujan yang tak terampuni lagi amarahnya untuk membasahi siapapun dan apapun yang tak berada diperaduan mahsyurnya. Ingin menangis, bahagia. Kali ini air mata ini bukan untuk menangisi sesuatu yang harus dilepaskan atau diikhlaskan. Melainkan bahagia yang saya pun tak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya.

Yang pada akhirnya saya memutuskan bahwa inilah mungkin pelabuhan terakhir saya. Seperti malam itu yang telah berani mempersunting sang hujan yang tanpa bulan dan bintang menjadi temannya saat itu. Saya putuskan bahwa inilah yang saya cari selama ini. Tak ada yang lain. Berjanji bahwa perjuangannya untuk saya tidak main-main, maka cinta saya untuknyapun tak akan pernah main-main. Mencari yang lebih rupawan lagi? Tak munafik menurut saya, tetapi sampai kapan kita akan terus mencari? Kalau mencari yang lebih dan lebih lagi tak akan pernah ada habisnya, tapi carilah yang sayang dengan benar-benar tulus terhadap kita. Maka kita akan menemukan satu titik tujuan itu. Kembali pada pengorbanannya untuk saya, yang bisa dikategorikan bahwa belum ada orang yang mau berbuat sedemikian rupa hanya untuk saya selain keluarga saya sendiri. Orang yang notabenenya adalah orang lain, tanpa ikatan darah. Hanya dipersatukan oleh hujan dan cinta. Diselipkan oleh cerita seorang teman baru yang cerita hidupnya sangat inspiratif sekali dalam menjalani hidup ini. Khususnya hidup dimasa depan yang kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok, lusa, dan seterusnya. Berjalan dibumi yang semakin tua dengan berbagai pembaruan yang sebenarnya sia-sia saja.

Terima kasih untuk semuanya Tuhan. Untuk hujan-Mu, malam-Mu, dan dirinya.

Selasa, 10 Januari 2012

Pertempuran


"Anda mengenakan seragam logika, saya mengenakan seragam rasa.
Dimanakah letak satunya kita? Dimana kita bisa dipersatukan?"

Jumat, 06 Januari 2012

2011 --> 2012

Tidak ada semarak dipergantian tahun kali ini. Mungkin bisa dibilang hanya berselimutkan kesendirian dan beralaskan sedikit air mata. Tahun 2011 memang tahun dimana merupakan jalan pendewasaan, jalan dimana sebuah kepompong menjadi seekor kupu-kupu cantik yang akan merasakan semarak dari bumi ini.

Banyak cerita yang terjadi dalam hidup saya. Perubahan besar. Kejadian-kejadian penting yang apabila dimuat urutan waktunya menjadi satu bundel buku sejarah yang sering dihafalkan oleh anak sekolah dasar dan lanjutan, lengkap dengan tanggal-tanggalnya. Lagi-lagi cerita tentang ihklas, bersyukur, dan menjalani hidup ini apa adanya lah yang menjadi tema yang sering muncul dalam perjalanan tahun 2011.

Hari ini sudah lewat 6 hari dari cerita tentang pergantian tahun itu. Malam pergantian tahun yang saya lewati diperaduan yang sangat tidak pernah terbesit dari pikiran saya untuk menjajaki dalamnya. Peraduan dimana setiap orang yang ada didalamnya berjuang untuk membeli kesehatan dengan penjual yang mengiming-imingi kesehatan itu dengan harga yang selangit. Dengan jutaan rupiah itu berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang sangat diremehkan untuk orang-orang tidak berada diperaduan itu. Berjuang untuk sesuatu yang tak pernah dirasakan oleh yang sehat. Malam ini tidak seperti malam pergantian tahun sebelumnya yang penuh dengan ledakan-ledakan kembang api yang ikut meledakkan jantung untuk mengikhlaskan satu tahun yang telah terlewati. Hanya deru tunggangan-tunggangan para dewa itulah yang melantun indah menjadi latar musiknya. Dengan sekelebat cahaya tunggangan dan asapnya yang menjadikannya properti yang wajib ada dalam setiap ceritanya.

Sendiri. Seperti biasanya. Belum lagi saya temukan sesuatu yang bisa mengisi cawan kosong ini, yang mungkin sudah berlumut ataupun kering tanpa tetesan dewa itu. Pergantian kali ini saya lepas tahun kemarin lewat angin saja. Berharap bahwa hujan akan turun sepanjang malam yang rinainya mungkin sedikit mampu untuk meluruhkan dan menghanyutkan sedikit kenangan buruk dan membasuh air mata ini.

Resolusi? Ah rasanya kata ini sangat asing dalam hidup saya. Saya tak punya resolusi apapun dalam hidup saya. Resolusi hidup saya hanya satu: BAHAGIA. Setidaknya kata itu sudah mewakili semuanya. Kembali pada sifat dasar alamiah manusia yang ingin bahagia, dibelahan dunia manapun takkan ada manusia yang ingin menderita, sakit. Saya lebih suka menjalani hidup ini dengan spontan, lentur. Tidak kaku dengan bermacam-macam dogmatis yang membelenggu. Secara lahiriah kita merdeka, bebas melakukan apapun asal tidak merugikan serta mengganggu kelangsungan bumi ini dan hidup orang lain. Berharap bahwa 2012 datang dengan formula "No more tears" yang biasanya ada dalam produk bayi. Formula tidak pedih dimata. Membuat mata menjadi berbinar dengan cahaya alaminya.