Selasa, 10 Juli 2012

Beda Aku dan Kamu

Aku: Feminin. Terlalu berperasaan menjadikan semuanya terasa melayu dengan iringan lagu sendu disetiap kisahnya. Jam terbang kelas ayam kampung. Dikenalkan cinta dengan pengkhianatan yang sampai detik ini pengkhianatan pertama itu tak aku temukan jawabannya. Mengenal cinta yang busuk, menghasilkan hati rapuh yang sekarang menjadi budak-budak kekasih selanjutnya. Tak menghasilkan suatu prestasi apapun dalam kisah cinta yang dijalani. Memang bukan terlahir dari keluarga yang ortodoks, tidak mapan. Minim fasilitas yang mampu mengajarkan tentang hidup, bahkan untuk hidup yang didalam mimpi. Bukan keluarga yang kuat dengan latar belakang penjaga-penjaga gerbang dunia ini. Manja. Aku tidak bisa hidup tanpa menyender dipundak seseorang, butuh uluran orang lain untuk berjalan melahap kehidupan.

Kamu: Maskulin. Menggunakan logika menjadikan semuanya terasa ringan dijalani dengan iringan lagu enerjik disetiap kisahnya. Jam terbang kelas burung elang. Dikenalkan cinta dengan ribuan bunga-bunga wangi, pujaan-pujaan dari pencintamu yang setiap kisahnya mengelu-elukan namamu. Dikenalkan dengan berbagai macam kejujuran dan hal indah lainnya yang tanpa harus berakhir dengan merasakan sebuah pengkhianatan. Mengenal cinta yang indah, menghasilkan hati yang kuat yang sekarang menjadi tuan-tuan untuk kekasih selanjutnya. Punya satu prestasi gemilang dalm kisah cinta. Mencintai dan dicintai rupawan sejagat yang dielu-elukan media, dan pernah menangis mengharap cintamu. Terlahir dari keluarga yang ortodoks, mapan, berlatar belakang kekuatan penjaga gerbang dunia. Punya semua fasilitas untuk belajar tentang hidup baik yang didunia mimpi maupun nyata. Mandiri. Bisa hidup diatas kaki sendiri untuk berjalan bahkan berlari melahap kehidupan.

Aku, Kebahagiaan

Kebahagiaan itu apa artinya? Sampai sekarang saya tak pernah bisa menemukan definisi sakleknya. Bukan saya tidak pernah bahagia, munafik sekali kalau saya berani mengeluarkan pernyataan semacam itu. Berapa juta nikmat dari-Nya yang sudah saya khianati kalau-kalau saya berani menyatakan hal itu. Banyak yang bilang kebahagiaan yang hakiki itu diri kita sendiri yang buat, yang ciptain. Orang lain hanya perantara, cuma alat. Kalau dari yang saya pelajari dari seorang teman, bahagia itu cuma kita sendiri yang bisa nyiptain, gak usah berharap dari orang lain. Karena orang lain itu gak lain gak bukan cuma seperti orang-orang yang setia nunggu bis dihalte. Datang terus pergi, datang lagi terus pergi lagi gitu aja sampe akhir hari.

“Kebahagiaan yang sebenarnya itu dari diri kita sendiri yang ciptain, bukan dari orang lain” –Rezal, seorang teman

 Lelah. Entah lelah apa yang saya rasakan sekarang. Lelah dalam mencintai rupawan saya. Lelah menunggu hingga akhirnya smartphone saya berdering menyerukan pesan singkat darimu, yang kedipan merahnya membara untuk saya buka. Lelah melihat barisan kata-kata yang selalu memenuhi kotak masuk pesan saya dengan nama yang sama, yang sewaktu kadang saya harus menyibukkan diri beberapa menit untuk memfilter pesan mana yang layak disimpan dan mana yang tidak. Lelah berkutat dengan segala fikiran aneh dan jahat tentang rupawan saya ketika dia jauh. Lelah mendengar kata-kata manisnya yang kadang hanya sekedar pesan singkat pengantar tidur kekasih sekolah menengah pertama. Lelah mengerti jam terbangnya yang setinggi langit itu. Lelah mendengar janjinya untuk bertemu saya dengan embel-embel berbagai prioritas lainnya. Tetapi saya tak lelah mencintainya. Ingin berhenti. Bukan berhenti mencintainya. Semacam perasaan ingin berhenti disuatu tempat yang nyaman tanpa hiruk pikuk kelelahan diatas. Ingin berhenti dipelukan hangat yang merengkuh saya tiap malam atau mungkin setiap saya merasa lelah dalam berlari.

Bertanya kepada diri saya sendiri. Yang akhirnya saya mengerti kalau kelelahan itu semata hanya untuk sesuatu yang saya sebut bahagia. Saya menemukan bahwa bahagia dalam mencintai seorang kekasih seperti ini rasanya. Nyaman. Ingin berada dipelukan yang nyaman, bercerita tentang hari. Entah hariku ataupun harimu. Bersandar setelah sepekan saya berlari, berputar dengan aroma tubuh maskulin dan dapat saya dengarkan detak jantung tak beraturan itu. Setidaknya itu definisi bahagia dalam kamus cinta saya. Kadang memang saya ingin menjadi prioritas dalam hidupnya. Seakan ingin tertawa terbahak-bahak depan muka saya kalau tiba-tiba saya memikirkan hal bodoh bin dungu ini. Saya bukan siapa-siapa, hanya orang luar yang datang dan minta untuk dicintai. Cuma orang luar yang datang dengan modal hati yang rapuh dan merengek supaya dia bisa menguatkannya.

 Setidaknya saya tidak meminta langit, bulan, atau matahari. Saya hanya meminta pelukan itu, yang mewakili segalanya. Segala rasa, keluh kesah, canda tawa, waktu yang seharusnya bisa direngkuh bersama dalam raga.

Rabu, 04 Juli 2012

Jakarta

Jakarta, malam ini kamu ulang tahun ya? Selamat ulang tahun untukmu yang ke485 tahun ya. Semoga kamu makin menjadi kota yang nyaman bagi penguasa-penguasamu. Jadi kota yang kuat untuk terus menggendong piranti-piranti penguasa itu. Makin kuat merasakan atmosfer pergerakan-pergerakan kecil sampai yang besar dalam tubuhmu. Aku yakin kamu pasti lelah. Menjadi saksi bisu berbagai rentetan peristiwa. Menjadi saksi akan semua topeng dan kebusukan yang semakin meradang dijaman ini. Kadang juga menjadi saksi untuk berbagai keindahan dan kemanisan yang bergentayangan didalam garis waktumu. Dimana yang setia padamu hanya pagi dan senja. Kedua utusan titah Tuhan itulah yang bergantian menjagamu. Bergantian tak mau kalah menemani garis waktumu hingga hari ini.

Jakarta, dimalam ini dimana kau berulang tahun. Disaat semua penguasamu memberikan hujatan selamat yang bertubi-tubi padamu. Diselingi dengan berbagai pengharapan indah, perspektif hal baik untukmu kedepannya nanti. Aku ada disini dengan lidah kelu. Bukan melulu untuk mengungkapkan cinta. Tapi untuk mengungkapkan apa yang kurasa. Entah, aku tak mampu mengungkapkannya. Berbagai kata, frasa, gramatikal, dan semua ilmu tentang bahasa itu seakan hilang dari bumi ini. Membuatku sekejap menjadi tuna wicara yang dungu. Jakarta, ingatkanlah dirinya lewat sudut-sudut tuamu. Temanilah dirinya lewat angin-angin dan deru-deru dirimu. Dan yang terpenting sampaikanlah kata-kata kelu ini: Aku ingin bersamamu!

Menikmati riuhnya hari jadimu. Menikmati hiasan api langit malam buatan penguasamu yang disebut kembang api. Dan akhirnya merengkuh malam setelah keriuhan itu sudah menjadi malam yang temaram.

Rindu part 4

Waktu yang membelenggu membawa aku dalam rindu yang candu. Candu yang mematikanku, menjadikanku debu. Seperti api yang menggebu-gebu menunggu untuk kau aku.

Rindu ini mencekam. Membuatku tertekam didekapannya. Barisan kata itu yang kau rekam, yang kini kau bekam untukku. Membuatku mendekam dalam sekam yang kelam.

Wahai waktu ingin sekali kurengkuh dirimu. Bersama waktu yang walau hanya dengan beberapa menit saja bisa menemani rindu ini. Berada dalam satu dimensi waktu yang sama, dengan detik dan menit yang selalu berkejaran membentuk notasi waktu. Waktu sampaikanlah bahwa rindu ini memang miliknya seorang, miliknya semata, dan tunggal untuk segala nyeri yang bersamaan dalam rindu ini. Hanya kau waktu yang harus kumenangkan agar kubisa mendekap dirinya, sesuatu yang kurindukan itu. Waktu mengapa kau indah menari-nari disana, mendekapnya dan menjadi dewa untuknya. Mengapa kau tak menjadi dewaku untuk sejenak. Peluk aku waktu. Biarkan kau menari-nari disini, berpihak padaku. Sejenak saja aku jadi hambamu. Hamba yang haus akan pengobat rindu itu. Ini bukan perkara hidup atau mati. Perkara rindu yang sudah tak tahu lagi bagaimana cara mendekapnya hangat. Menuntunnya pulang kepangkuan kediaman hangatnya. Berhenti mencari-cari, mencaci maki. Entah dengan bantuan apalagi rindu ini bisa jinak. Lagi-lagi waktulah yang harus berpihak padaku. Menjadi pawang untuk rindu ini.

Rindu part 3

Sore ini bersama kelabunya awan yang akan tergantikan malam, dengan angin laut yang akan setia mendampingi kemarau musim ini. Rindu ini meradang kembali. Bukan meradang lagi malahan, mengiritasi. Menjadi luka bernanah dan borok. Menjadikannya jeritan malam yang panjang, seperti jalang menyerukan tuannya. Saya sangat rindu rupawan saya. Saya ingin sekali melihat wjah rupawan itu yang kini membuat mata saya buta dan tak bisa menilai rupawan lainnya. Rindu ini memberontak bagaikan rakyat dibelenggu feodalisme. Ingin merdeka. Menyerukan apa yang memang seharusnya diserukan. Hingga akhirnya mengantarkan rindu yang mengiritasi itu manjadi sebuah latar belakang terjadinya perang antara saya dengan rupawan saya. Ketidaktahuan saya tentang rupawan saya, sebuah cerita yang tak terungkapkan. Sebuah kisah yang tak tersampaikan tapi ingin untuk dipahami. Dimana kesalahpahaman yang menjadi medan peperangan. Ego akan keinginan untuk dimengerti yang menjadi panglima dalam perang ini. Dan ego itu pula yang menjadi raja yang harus dilindungi keselamatannya. Perang ini takkan usai kalau memang kita tak mau mengerti satu sama lain. Hanya dengan mengalah mungkin bisa meredam peperangan ini. Seperti pada hakikatnya, perang hanya menghasilkan derita semata. Derita yang menimpa saya dan rupawan saya. Rindu ini yang memang sampai kapanpun tak akan pernah bisa terobati. Hanya dapat mengiritasi dan meluka. Hanya dapat terobati ketika rasa itu mungkin mati nanti. Dan kisah yang tak tersampaikan darinya yang sampai detik ini saya juga tak tahu apa isinya. Hanya bisa menunggu dimana hari itu datang. Hari dimana sebuah perjanjian akan diikatkan dalam kalbu, tentang biduk ini. Perjanjian yang akan mengajarkan untuk lebih baik atau untuk ikhlas.