Minggu, 28 Oktober 2012

Pagi dan Malamku masih milikmu

Dear Neptunus,

Pagi ini masih miliknya. Duniaku belum bisa lepas darinya. Bahkan malamkupun masih saja berjelaga didalam aroma atmosfer kehidupannya. Mimpi inipun masih saja mendendangkan segala asma dan berbagai ornamen indahnya. Bisakah aku mengakhirnya kepemilikannya? Jangan saja hidup ini masih miliknya. Hidupku seharusnya adalah milikku, bukan miliknya. Bukan dia juga yang berhak menjadi tuanku. Namun, rentangan garis waktu ini memaksaku. Mengagungkan dirinya untuk tetap bertahta diatas segalanya.

Neptunus, aku ingin lepas dari gravitasinya. Menemukan planet baru untukku bisa bernafas. Udara baru untuk paru-paruku. Tempat baru untukku melabuhkan mimpi ini. Menjadikan mimpi yang tak terurus ini menjadi mimpi dengan sangkar emas. Menjadi pencapaian titikku direntangan garis waktu yang masih menanti untuk aku gapai. Dan kalau perlu menjadi raja juga untuk waktu ini. Untuk memegang kuasa akan kerajaan yang dahulu pernah membuat aku berkilap.

Neptunus, bahkan jalan temaramku juga berhiaskan parasnya disisi kiri kanan gelapnya. Bersama remangnya jalan ini yang membiaskan cahaya kuning keemasan aku masih bernyanyi dijalanmu. Berharap diujung jalan temaram ini kau akan memelukku kembali dengan hangat. Menyeka segala tatihan kaki-kaki kecilku yang melewati sepanjang jalan temaram merona ini. Masih berpegang teguh bahwa kau akan kembali kedalam peluk ini. Merengkuh segala biduk cinta yang pernah kita pilin dulu. Masih mengagungkan cinta yang tak mungkin ini. Cinta yang tak mungkin jadi. Cinta yang cacat. Cinta yang hanya diharapkan oleh sebelah hati saja. Sebelah hati yang belum mampu melepas belahannya kenirwana. Sementara belahan lainnya sudah melalang buana memecah cakwarala. Cinta yang semakin dilepas justru malah makin mengikat. Entah ikatan jenis apa yang melilitnya. Mungkin saja perasaan ikhlas yang belum bisa diikrarkan dari hati.

Neptunus dan Perahu Kertasku, aku ingin berlabuh. Aku lelah tenggelam ditengah lautan kenangannya. Lautan mimpi-mimpinya. Yang airnya dulu telah menyelamatkan aku untuk bisa bernafas dan menari seperti ikan dibias riaknya. Aku lelah meraung-raung ditengah lautan kosong yang kini meninggalkanku sendiri dengan biru luas tak bertepi. Satu yang aku inginkan. Tepian. Aku ingin berlabuh. Baik dalam keadaan hidup atau mati.