Senin, 02 Desember 2013

JENDELA-JENDELA BUDAYA DALAM VARKENSROZE ANSICHTEN

Oleh: Setiyo Prutanto (dengan beberapa penggubahan)

Varkensroze Ansichten (2003) adalah buku kumpulan puisi karya Mustafa Stitou. Tidak hanya Varkensroze Ansichten, Mustafa Stitou telah menerbitkan beberapa karya sebelumnya, yaitu Mijn Gedichten (1998) dan Mijn Vormen (1994). Buku yang diterbitkan oleh De Bezige Bij di Amsterdam ini berhasil menjadikan Mustafa Stitou menjadi salah satu penulis yang berpengaruh di Belanda. Selain itu, Varkenroze Ansichten juga mendapat penghargaan VSB Poezieprijs pada tahun 2004. Penghargaan ini merupakan penghargaan utama di bidang sastra di Belanda. Varkensroze Ansichten terdiri dari empat sajak yang mengangkat tema humor dan ironi. Disamping tema tersebut, di dalamnya juga terdapat penggambaran budaya dari mata seorang imigran. Seperti yang kita ketahui bahwa Mustafa Stitou adalah seorang penulis imigran yang berasal dari Maroko. Penggambaran budaya tersebut tergambar apik dalam beberapa puisi yang dihadirkan dalam buku ini.

Secara umum puisi yang terdapat dalam buku ini menggunakan aku lirik dimana semua pandangan hanya terbatas pada satu sudut pandang imigran saja. Sudut pandang ini menjadikan pembaca seperti menggunakan kacamata kuda yang hanya dapat melihat ke depan tanpa bisa melihat sudut pandang lain. Pilihan kata yang dipilih untuk membentuk buku ini sulit dan tidak terlihat bahwa penulisnya adalah orang imigran sehingga terkesan bahwa penulis buku ini adalah orang Belanda asli. Sampul dari buku ini merupakan gambar kulit babi yang dihiasi dengan bulu halus di atasnya dan menjadikan buku ini sebuah kontroversi. Stitou yang seorang muslim berani mengangkat babi untuk sampul bukunya. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa babi adalah hewan yang haram bagi umat muslim. Pengambilan gambar kulit babi itu berkaitan langsung dengan judul buku Varkensroze Ansichten yang berarti kartu pos bergambar babi merah muda. Stitou juga sangat jarang atau bahkan hampir tidak pernah menggunakan aturan rima dalam puisinya. Bentuk puisinya terkadang juga ada yang berbentuk prosa. Dari bentuk tersebut terlihat bahwa Stitou ingin membuat gebrakan baru dengan tidak menggunakan rima dan aturan-aturan pakem dalam berpuisi. Stitou ingin keluar dari aturan-aturan yang mengharuskan puisi itu memiliki rima.

Budaya Mencatat dalam Puisi Ansichten 
Puisi Ansichten adalah kumpulan memo dari tetangga wanita Mustafa untuk menjaga rumahnya ketika Mustafa sedang berlibur, terlihat dalam bagian tujuh: ‘Groeten, je bovenbuurvrouw.’ Setiap bagian dalam puisi ini terdiri dari tiga baris dan bervariasi pada jumlah baitnya. Ketujuh bagian puisi ini tidak berkaitan secara langsung karena pada setiap bagiannya mewakili kejadian apa saja yang terjadi di rumah tersebut. Ketujuh bagian sajak ini dapat diinterpretasikan sebagai tujuh hari lamanya Mustafa berlibur. Puisi ini tidak menggunakan majas dan gaya bahasa apapun sehingga semua kalimatnya memiliki makna denotatif (makna sebenarnya). Barisan kata-kata dalam puisi ini berkaitan dengan hal-hal yang bersifat nyata dan aktualitas. Kata-kata aktualitas tersebut menjadikan puisi ini kehilangan keindahan yang bisa saja terbentuk dari kata-kata berkiasan indah dalam sebuah puisi.

Budaya mencatat yang sangat akrab dengan kehidupan keseharian Belanda yang dapat dilihat dalam puisi ini adalah kebiasaan mencatat apa yang terjadi dalam kehidupan kesehariannya. Sama seperti pentingnya agenda untuk kehidupan orang Belanda, memo menjadi salah satu aksesoris kehidupan Belanda untuk menyampaikan pesan kepada seseorang seperti pada bagian empat dimana tetangga wanita Mustafa menuliskan pesan untuk Mustafa. Pesan tersebut berisi menanyakan kesediaan Mustafa untuk diwawancarai oleh salah satu program televisi perihal kehidupannya sebagai seorang penyair. Mereka mengharapkan kabar jika Mustafa sudah kembali. Penggambaran ini sama seperti halnya zaman kolonial ketika Belanda masih menguasai tanah Nusantara. Seperti yang kita ketahui, sumber-sumber sejarah masa kolonial tersebut merupakan hasil tangan catatan orang Belanda. Ansichten berhasil membuka mata pembaca untuk mengenal budaya mencatat yang sangat dekat dengan kehidupan Belanda.

Stitou mengambil judul Ansichten yang bermakna ‘kartu pos’ dan membangun bentuk memo dalam puisinya bukan tanpa alasan. Kartu pos dan memo menjadi simbol untuk menyampaikan sesuatu. Stitou secara tersirat ingin menyampaikan sesuatu dengan menggunakan bentuk memo dalam Anscihten.

Keagungan Barat dalam Puisi Flirt 
Puisi Flirt bercerita mengenai ketegangan aku lirik dengan penjahit dimana ia memperbaiki kostum teaternya yang tidak sengaja dirusak oleh tangannya sendiri. Ketegangan tersebut terjadi karena aku lirik tertarik dan mencoba menggoda anak pemilik penjahit tersebut. Lagi-lagi tidak akan ditemukan bentuk puisi yang di dalamnya terdapat rima yang ditanggalkan di setiap akhir barisnya. Puisi ini berbentuk prosa dan terlihat seperti cerita yang biasa ditemukan dalam cerita pendek. Bentuk yang jarang ini menjadikan puisi ini terlihat sangat berbeda dan tidak menarik pembaca bila melihat bentuknya untuk pertama kalinya. Tokoh aku lirik dalam puisi ini sama seperti tokoh Ikal dalam buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Tokoh Ikal tertarik pada gadis keturunan Cina dan mencoba mencuri pandang dengan gadis tersebut yang merupakan anak dari seorang pemilik toko tempat dimana ia rutin membeli kapur. Hal itu yang menjadikan alasan mengapa Ikal selalu semangat jika diperintahkan oleh gurunya untuk membeli kapur di toko tersebut.

Ketika aku lirik mengalami ketegangan dengan penjahit, aku lirik sangat merasa panik dan merasa dirinya kecil sedangkan penjahit tersebut terlihat seperti berhala yang harus ditakuti, terlihat dalam kalimat: ‘Als een afgod. Wonderlijke afgod. Ik zag dat hij mij opnam. Met een mengeling van minachtig en teleurstelling woog hij mij. Paniek ja! Geleidelijk raakte ik paniek.’ Menurut kacamata orang imigran, mereka menganggap bahwa orang Barat lebih besar dan lebih tinggi derajatnya dan harus ditakuti layaknya sebuah berhala. Kata ‘afgod’ yang bermakna berhala merupakan penggambaran yang sangat jelas bahwa imigran menilai orang Barat memang lebih tinggi derajatnya dari diri mereka sendiri.

Bentrokan Budaya dalam Puisi Ansicht Uit De Droom &Vreesman
Puisi Ansicht Uit De Droom & Vreesman terdiri dari tiga bait. Setiap baitnya diisi dengan sembilan baris. Seperti yang ditemukan pada puisi sebelumnya, puisi ini juga tidak terdapat rima disetiap akhir kata pada setiap barisnya, selain itu juga terdapat banyak sekali enjabemen.
Onder aan de stilstaande roltrap een Frans buldogje,
besnuffelt mijn rechtervoet en begint te gniffelen,
schampert mijn naam. Straks pist het nog tegen mij aan!
Voorzichtig schop ik het hondje opzij. Is dit dogje
niet heimelijk mijn Pa? Schiet mij te binnen,
alles immers komt ergens vandaan, en wat een triomf
zou dit zijn! Met kloppend hart raap ik het symbool op,
schichtig kijkt mij aan, geen spoor van gelijkenis.
Kleuterpop knalt door de geglazuurde ruimte.
Dari contoh bait di atas, terlihat walaupun enjabemen digunakan namun tidak terlihat adanya bentuk rima pada setiap akhir barisnya. Enjabemen ini menjadikan puisi ini berbeda dari pakem puisi yang sudah ada.

Keseluruhan isi puisi ini secara umum menggambarkan mengenai perbedaan budaya Timur dengan budaya Barat dengan perbedaannya yang bagaikan langit dan bumi. Di satu sisi, budaya Timur yang malu-malu dan menghindari soal seks sedangkan budaya Barat yang lebih terbuka dalam membicarakan soal seks. Mustafa memilih kata preutse oosten untuk budaya Timur dan wellustige westen untuk budaya Barat. Preutse oosten dan wellustige westen, dua kata yang mampu memberikan dua kubu berbeda yang hidup di dalam bumi ini.

Varkensroze Ansichten karya Mustafa Stitou tidak hanya memberikan kontroversi pada sampulnya yang bergambar kulit babi saja, di dalam buku ini juga dihadirkan penggambaran budaya dari sudut pandang imigran. Sebuah jendela yang mampu membuat pembaca bisa melihat budaya dengan cara yang unik dengan membaca puisi. Budaya mencatat yang melekat dengan kehidupan Belanda yang terangkum apik dalam kumpulan memo dalam puisi Ansichten, hierarki orang Barat yang lebih tinggi dibanding orang Timur yang pantas ditakuti dalam puisi Flirt, dan budaya Timur yang malu-malu dan menghindar soal seks maupun budaya Barat yang lebih terbuka dalam membicarakan soal seks dalam Ansicht Uit De Droom & Vreesman. Mustafa Stitou berhasil menghadirkan mozaik-mozaik kebudayaan dan dirangkum apik dalam puisi-puisi Varkensroze Ansichten.

Selasa, 26 November 2013

Teman Pembelajaran Jiwa

Untuk Novia Rakha, 
Izinkanlah aku pada malam ini bercerita tentangmu. Entah nikmat Tuhan mana yang telah aku dustakan malam ini. Cerahnya malam ini dengan bintang yang memberikan secercah cahaya untuk menemani kegelapan malam, kini harus aku kotori dengan banjir air mataku sendiri dengan menuliskan kata-kata ini. Kata yang tak mampu kuungkap di hadapanmu, kawan. Begitu banyak kelu di ulu hatiku untuk menjelaskan atau mendefinisikan apa yang melandaku kini. 

Ingatkah pada kemarau musim lalu, untuk pertama kalinya kita mengenal dan sampai sedekat ini. Walau sebelumnya kita pernah mengenal. Aku kenal kau dan kaupun begitu. Tapi kita tak saling bicara. Hanya verbal yang mampu melafalkan pertemanan kita saat itu. Namun kini kau torehkan kata yang mampu melafalkan pertemanan kita sampai pada ujung hati ini. Pengkhianatan yang mengantarkan aku pada kau. Seperti yang kita ketahui dan kita yakini bersama bahwa setiap kejadian pasti memiliki alasan. Dan kini aku temukan alasan itu. Pengkhianatan yang membuatku menjadi mengenalmu. Mengantarkan aku untuk menjadi diri sendiri dan mengizinkanku menjajaki apa yang sebenarnya sudah kujadikan pilihan hidupku sejak awal. 

Sejak kejadian kelas itu, awalnya aku tak mengerti mengapa kau begitu sedih menceritakan sebuah kisah biru di hadapan kelas. Aku menangis. Entah aku cengeng atau memang kisahmu yang mampu membuat gempa dalam rongga mata yang menumpahkan tsunami air mata tak berkesudahan. Aku tak pernah tahu begitu banyak tangan Tuhan mencoba mengujimu. Tak kulihat itu sedikitpun dari sorot matamu. Membuatku berkesimpulan bahwa kau memang tangan malaikat yang ingin menolong manusia-manusia seperti aku untuk menjejak tanah. Tawamu, kawan. Menutupi segala luka dari tangan titah Tuhan. Membuatmu seakan tegar menjadi sebuah pohon yang kuat diterpa angin malam, walau sebenarnya kau rasakan dingin yang merasuk. 

Membuatku tertampar hingga tersungkur lewat kisah birumu. Menjelagakan diriku pada satu masa ketika aku sibuk mencari hingga tak menjejak tanah lagi. Kau seperti memberikan jawaban atas semua tanya yang tak pernah ku temukan jawabannya. Kau seperti gerbang yang mengantarkan aku pada muara dimana aku akan melebur pada alam. Berhenti meronta, meminta, dan hanya percaya. Mengingatkan aku pada tugas utama seorang anak pada kedua orang tuanya. Kau menjadikan pembelajaran hidup sekaligus pembelajaran jiwa yang haus ini. Pengantar kedewasaan yang haru. 

Terima kasih, hanya kata itu yang mampu mewakili segala ronta dalam hatiku. Tak mampu lagi kata mengungkapkan bagaimana berartinya kau dalam pertanyaan-pertanyaanku. Biarkan saja air mataku yang mengantarkan rasa ini untuk bisa kau mengerti mengapa kejadian ini cukup membuatku berjelaga. Tetaplah tersenyum dan mewujudkan mimpimu. Mimpi yang membuatku percaya bahwa mentari masih akan terbit di ujung pelupuk matamu ketika matamu itu terbuka. Terima kasih telah menjadikan aku temanmu dalam waktu hampir tiga tahun ini. Sedikit lagi sampailah kita pada gerbang dunia yang sudah terbuka sedikit dan siap menjebloskan kita pada dunia nyata. Aku akan selalu belajar darimu untuk menjadi yang bernama dalam dunia. Jika kita sudah di jalan kita masing-masing. Tulisan ini setidaknya pernah menjadi bukti bahwa aku pernah memiliki salah satu tangan malaikat di bumi ini. 
Dariku, Setiyo Prutanto.

Sabtu, 16 November 2013

KRITIK BELENGGU PATRIARKHI DALAM MINNARES VAN DE DUIVEL

Oleh: Amalia Husna dan Setiyo Prutanto 

Minnares van De Duivel (2002) adalah sebuah buku kumpulan cerita karya Naima El Bezaz. Buku ini terdiri dari tujuh cerita yang keseluruhan ceritanya dibalut dengan tema jin dan ilmu hitam. Cerita-cerita dalam buku ini dibangun dengan latar kota Marakech dan Archadour. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Contact di Amsterdam dan berhasil menjadikan Naima El Bezaz menjadi salah satu penulis mahsyur di Belanda. Naima El Bezaz tidak serta merta terlena pada cerita berbalut ilmu hitam saja, namun melalui ilmu hitam tersebut ia mencoba meneriakkan kritik dari perempuan yang terbelenggu oleh budaya patriarkhi. Di dalam buku ini tidak akan ditemukan kisah rumah tangga yang romantis dan berakhir bahagia. Pembaca justru akan menemukan ilmu hitam sebagai sebuah kritik dari perempuan sebagai korban belenggu patriarkhi.

Cerita ini adalah salah satu cerita dari ketujuh cerita yang tergabung manis dalam buku Minnares van De Duivel . Dari judulnya, pembaca akan mengira bahwa cerita ini berkaitan dengan hal-hal mistis. Cerita ini berkisah tentang Lalla Rebha yang mengalami pengalaman mistis sewaktu masa kecilnya. Semenjak kejadian itu hidup Lalla Rebha seketika berubah. Dari seorang gadis Maroko yang ceria menjadi seorang yang lebih suka menyendiri. Hal itu juga membentuk Lalla Rebha menjadi seorang peneluh. Naima El Bezaz menceritakan kisah ini menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Dengan gaya penceritaan ini pembaca seolah-olah dapat menjadi dalang kisah ini dan mengetahui pikiran dari masing-masih tokoh.

Rasakan Ilmu Hitam Secara Langsung 
Cerita ini diawali ketika Lalla Rebha hidup bersama Farzi, jin yang ditemuinya ketika ia menginjak usia 10 tahun. Lalu alur cerita berganti menjadi flashback, ketika Lalla Rebha untuk pertama kalinya bertemu Farzi dengan jalan kesurupan yang menimpanya. Perpindahan alur ini ditandai dengan pemisah yang jelas, terlihat dalam kalimat: ‘Toen Lalla Rebha net tien jaar was geworden, werd haar ziel geclaimd door de djinns.’ El Bezaz juga mampu menceritakan kejadian kesurupan Lalla Rebha tersebut dengan menggunakan kata-kata yang mampu membuat pembaca seakan-akan hadir langsung dalam kejadian dan dapat merasakan apa yang Lalla Rebha rasakan. ‘Lalla Rebha kon zich niet beheersen, ze gilde, en schreeuwde. De imam ging door en las, langzaam en de nadruk leggend op elk woord, het koranvers.’ 

Dua Kaum yang Terkekang
Selain peristiwa mistis yang dialami Lalla Rebha, El Bezaz juga menguak realita-realita budaya patriarkhi dimana perempuan yang menjadi korban. El Bezaz menceritakan hal tersebut melalui apa yang dialami tokoh-tokoh perempuan dalam cerita ini. Berawal dari tindakan yang dilakukan oleh ayah Lalla Rebha terhadap istrinya. ‘Haar vader trok zijn vrouw de slaapkamer in en deed de deur op slot.’ Apa yang dilakukan ayah Lalla Rebha tersebut menggambarkan posisi perempuan yang tertindas dan tidak dapat melawan belenggu penguasa patriakhi, laki-laki. Di dunia ini ada dua jenis kaum yang tertindas, ada yang menerima saja tanpa melakukan perlawanan dan ada juga yang memberontak dan berteriak. Ibu Lalla Rebha, Itto merupakan contoh dari golongan yang pertama. Di samping itu, Naima El Bezaz juga menggambarkan golongan kaum tertindas yang berteriak dan memberontak melalui tokoh Lalla Rebha dan Nourlaila. Manusia memiliki batas. Begitu juga dengan kesabaran yang dimiliki oleh kedua tokoh ini untuk pasangan mereka masing-masing. Kedua tokoh ini pada akhirnya balik menyerang pasangannya dengan menggunakan ilmu gaib. Ilmu gaib di sini dapat dilihat sebagai wujud pemberontakan dan kritik terhadap budaya patriakhi yang sudah lama mengakar. Kedua tokoh ini seperti tokoh perempuan yang ada di dalam cerita Sang Ratu karya Intan Paramaditha, yaitu Dewi. Perempuan ini merupakan tipikal istri yang patuh dan tidak mudah curiga pada akhirnya berani mengebiri suaminya setelah mengetahui suaminya berselingkuh dan bercumbu dengan perempuan lain.

Simbol Budaya Patriakhi
Farzi juga dapat dijadikan simbol penguasa patriakhi. Farzi, jin laki-laki yang berasal dari Persia, selalu membantu Lalla Rebha. Tanpa Farzi, Lalla Rebha bukan apa-apa dan hanya akan menjadi perempuan korban budaya patriakhi yang tak mampu memberontak. Simbol ini dapat mengantarkan pembaca pada satu kesimpulan bahwa sekuat apapun perempuan dalam budaya patriarkhi, laki-laki selalu lebih unggul.

Minnares van De Duivel karya Naima El Bezaz menghadirkan kisah-kisah perempuan yang terbelenggu oleh budaya patriakhi. Apa yang dialami Itto merupakan cerminan kaum perempuan yang tidak yang tidak melawan kekuasaan penguasa patriakhi. Selain itu, dua kisah perempuan lainnya yang ada dalam cerita ini memberikan gambaran kepada pembaca bahwa perempuan korban budaya patriarkhi juga dapat melakukan pemberontakan. Perlawanan kaum perempuan ini adalah sebagai sebuah kritik terhadap budaya patriakhi yang selama ini mengakar. Kritik tersebut diwujudkan Naima El Bezaz dalam bentuk ilmu hitam. Naima El Bezaz berhasil mengubah paradigma masyarakat bahwa perempuan yang awalnya menjadi objek budaya patriarkhi dapat mengambil alih kendali walau dengan jalan yang sulit. Inilah dunia perempuan yang tak mudah, selalu tak mudah.

Kamis, 07 November 2013

Bukan Tentang Aku dan Kamu

Tepat pada kemarau Agustus tiga tahun lalu, kita bertemu di tengah meradangnya matahari. Kita bersua di tengah padang dengan penuh sejarah kemerdekaan. Kita bercanda, tertawa, dan bercengkrama bersama meranggasnya dedaunan yang seakan haru melihat kebersamaan kita. Awal sebuah perjalanan panjang menuju jenjang dunia nyata di ujungnya. Berkelana kita untuk beberapa tahun ke depan. Berjelaga bahwa dunia mimpi masa sekolah sudah lama berlalu. Berganti dengan mimpi yang siap menjadi nyata. Ingatkah tentang itu semua kawan? Ini bukan tentangku, kamu. Tapi ini tentang kita.

Satu cinta. Satu asa. Satu cerita. Sederhana yang memberi makna. Pengantar kedewasaan yang haru. Penuh dengan tawa, canda, tangis, peluh, bahkan pengkhianatan. Berjuang melawan tahap demi tahap pelahap tidur lelap kita. Tak jarang setiap gulita malam tak menakutkan lagi untuk kita mengarunginya. Berjuang membunuh monster yang bernama tugas. Berkejaran silih berganti pada setiap kesempatan untuk mengalahkan deadline. Asa kita, yang sampai saat ini masih bisa membuat kita masih bertahan menempati kediaman ini. Walaupun banyak kawan kita yang tidak sudi menempatinya. Begitu banyak cerita dan cita dalam setiap perjalanan ini, yang membuat sebaris tulisan ini tak cukup untuk menggambarkannya, apalagi menceritakannya. Cerita-cerita yang selalu membuai kita hingga lupa akan waktu. Semua pertanyaan awal sejak kita bertemu, akan kita temukan semuanya beberapa jengkal dari mata kita. Sudah tidak terlalu jauh, kawan.

Relakah jika waktu tanpa sadar telah mengantar kita ke ujung perjalanan ini? Inilah kenyataannya kawan, kita harus berpisah, walaupun bukan untuk saat ini. Sebentar lagi jarak itu akan datang, tanpa kompromi apalagi negosiasi. Tanpa sadar empat tahun itu kini hampir tiba. Kita akan menjadi apa yang kita mau. Kita akan menjadi penguasa, kawan. Bukan seorang manusia yang diajar, melainkan seorang manusia yang mungkin akan mengajar di muka dunia ini. Jalan masing-masing yang sudah menunggu kita sebentar lagi pada sebuah gerbang yang bernama hidup. Jalan yang akan menjadikan kita bernama tepat pada satu purnama. Jalan yang akan menemukan kita kembali di persimpangan untuk kembali bercerita, bercengkrama, memeluk rindu dengan cerita yang indah dari masing-masing dari kita. Cerita yang indah bagaikan dongeng pengantar tidur yang dulu hanya sempat kita dengar. Namun cerita itu nantinya sudah menjadi milik kita.


 Untuk kalian, Sastra Belanda 2010 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Kalian bukan hanya teman, tapi kalian nafas ini. Kalian bukan hanya sekadar cita dan asa, tapi sekaligus menjadi cinta. Kalian bukan saja pengantar mimpi menjadi nyata, tapi kalian pengantar kedewasaan yang berperasaan. Bukan hanya melodi dalam detak jantung, tapi udara yang memompa lewat rongga di dada. Terima kasih untuk waktu hampir empat tahun ini.

Minggu, 06 Oktober 2013

Menulis, Cinta dan Ketakutan

Sudah lama tak saya sambangi laman tulisan pribadi tunggal saya ini. Agak sedikit rindu untuk menuliskan drama-drama kehidupan saya di sini. Tak banyak cerita yang bagus untuk di bagikan disini. Walau memang sesungguhnya saya bangun tempat ini hanyalah untuk tempat sampah. Tempat segala rasa tercurahkan yang tak pantas dicurahkan di kehidupan nyata. Namun rasanya tak adil saja jika serta merta saya hanya menjadikannya hanya sebagai tempat sampah yang hanya rela dijejali berbagai macam materi yang memuakkan. Maka saya perlu juga menyaring mana yang harus masuk dalam tempat ini. Saya ingin lewat tulisan yang saya tulis di sini, dia juga seperti mendapat makanan lezat yang siap disantap. Memberikannya nyawa, sehingga dia bisa berperasaan dan ada. Bukan hanya selembar layar kosong tanpa isi.

Menulis, membutuhkan banyak sekali pertimbangan dan keberanian yang besar. Ketika menulis banyak perang yang terjadi di sini. Banyak gejolak-gejolak atau bahkan ledakan-ledakan yang menyertainya. Sama seperti membuka kenangan lama. Menuliskan kehidupan nyata ke dalam suatu wadah bernama rasa ini sangat indah. Banyak air mata, tawa seringai, dan gumaman kecil yang menyertainya. Bahkan tak sedikit keringat yang mengucur sebagai sebuah perjuangan mengingat-ingat kehidupan itu dan kemudian menjejalnya masuk ke tempat ini. Menulis juga sebuah pembiakkan diri saya. Membuat nyawa saya bertambah satu pada setiap tulisan yang saya tulis. Belum lagi menentukan hal apa yang ingin saya curahkan dalam lembar ini. Seperti seorang dokter bedah yang ingin membedah pasiennya. Saya dokternya dan kisah kehidupan saya pasiennya. Sebagai seorang dokter saya tidak boleh takut melihat darah, jantung, dan seisinya. Sama seperti menulis, saya tak boleh takut terhadap apa yang saya ingin tulis. Entah itu kisah sedih terluka atau bahagia terdera.

Masuk lebih dalam lagi, tentang apa yang ingin saya tuliskan pada kesempatan kali ini. Sebelumnya saya ingin bertanya pada siapapun yang membaca lembar ini. Pernahkah kau merasa jatuh cinta ketika kau takut untuk terjatuh? Ya, setidaknya pertanyaan itu mewakili perasaan yang ingin saya bagikan pada lembar ini. Rasanya seperti kau ingin lepas bebas tapi kau masih ingin memeluk belenggu tirai penjaramu. Seperti kau ingin terbang tapi kau takut akan terpaan angin. Kau ingin hangat tapi tak sanggup kau dekatkan wajahmu pada api unggun. Kau ingin melihat cahaya tapi kau malu pada mentari. Dilema tak berkesudahan. Tak ada jawaban pasti atasnya. Saya ingin memulai apa yang sebenernya ingin saya mulai, tetapi entah mengapa ada bayangan hitam yang menghalau saya untuk tetap berada pada peraduan emas ini. Tak ada yang mampu menjawab cerita ini. Saya ingin mencinta, tapi belum siap terluka. Itu intinya. Selain itu, saya juga belum diberi kesempatan untuk memeluk yang namanya cinta itu. Banyak yang menghampiri saya, tetapi hanya seperti orang-orang di halte saja. Ada yang datang, ada yang pergi juga. Hanya singgah. Bukan untuk mereka miliki. Dan saya menjadi satu bagian dari halte ini. Saya seperti penjaja asongan. Apa yang saya jual? Hati. Berharap orang-orang itu menghampiri tapi bukan untuk sekadar melongoknya saja. Ada keinginan hati kecilnya untuk membeli apa yang saya jual. Jika ada akan saya bereskan semuanya beserta kepingan-kepingan kecilnya dan akan saya bungkus rapi untuknya. Dengan apa membayarnya? Janji. Janji untuk menjaga hati rapuh ini. Entah siapa. Saya hanya akan menunggu pembeli itu.

Kado Hari Jadi

Tanggal 23 September 2013 adalah hari jadiku yang ke-21. Masih dengan harapan-harapan yang sama. Dengan sepasang kaki kecil yang sama tanpa sepasang kaki yang lain. Bersama orang-orang terbaik yang sama. Kakak yang selalu memberi kejutan yang selalu tak mengejutkan saya. Keluarga yang mulutnya tak henti berdoa untukku. Teman yang selalu memberikan kejutan, walau kali ini agak sedikit gagal. Terima kasih untuk engkau manusia-manusia terbaik-Nya. Sudah sudi memberikan sepenggal cerita di hari jadiku. Selamat ulang tahun juga untukku. Semoga mimpi-mimpi itu masih terus menjadikan api semangat dalam hidup ini.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Cinta telah hilang

Baru saja kuceritakan kisah jenis adam yang lain di laman ini. Namun kisah itu sudah limbung, hilang tenggelam terbawa arus ego yang sangat mematikan. Ketika aku menuliskan lagi cerita yang telah hilang ini, hati ini sedang perih seperih-perihnya. Tepat pada minggu yang lalu, cinta ini belum hilang. Malah sedang berbunga dan bergejolak menunggu terbakar. Di jalan yang sama, di waktu yang sama aku lewati jalan ini bersamanya. Namun hari ini, kulewatinya sendiri. Entah bagaimana rasanya perih ini menghujam hatiku seperti aspal panas yang berpantulan dengan terik matahari siang ini.

Kesatria yang lain ini beda dari sebelumnya. Dia ingin merdeka, tak suka di belenggu, apalagi belenggu luka dan kenangannya. Sangat kulihat jelas dari jurus perangnya. Aku juga tahu kesatria ini sedang berjuang, mencari. Berjuang menemukan obat untuk menyembuhkan lukanya. Berjuang mencari kedamaian untuk berdamai dengan fikirannya dan mulai menerima ini semua. Kesatria yang sempat singgah di kediamanku, tapi tidak untuk dia miliki. Bercerita sedikit tentang hidupnya, dan akupun belajar sedikit pelajaran tentang hidupnya. Cerita singkat yang indah di awalnya, namun sedikit pahit di akhirnya. Cerita yang membuatku berjanji untuk membuktikan padanya bahwa masih ada cinta yang nyata di dunia ini, sayangnya kau tak sudi.

Ini semua salahku. Salahku tak menyediakannya tempat yang indah dan nyaman. Salahku yang tak mau membiarkan waktu yang menjawab semua aliran deras egoku. Salahku yang selalu memberondongnya dengan tembakan-tembakan cemburu yang seharusnya belum pantas ditembakkan. Mengurungnya di kediamanku seolah dia akan memilikinya, padahal ini hanya persinggahannya saja. Cinta buta.

Kini aku harus kehilangan lagi jenis kesatria yang lain. Dia sudah pergi jauh sekarang, meninggalkan aku sendiri tanpa pesan, tanpa sebuah harap apalagi celah. Dia sudah membenciku sekarang, menganggapku gila. Jika kau baca laman ini, ketahuilah aku memang gila, gila karena membuktikan bahwa cinta ini nyata. Gila karena kau begitu indah bagai oasis padang pasir yang aku kira bisa menghilangkan dahagaku. Indah namun semu.

Aku keluar dari permainan ini, kembali pulang, kembali memijak tanah. Aku pulang tanpa dendam dengan segala kekalahan ini. Kalah dengan tidak membawa hatimu. Kalah karena tidak bisa membuktikan bahwa cinta ini nyata. Dan ketahuilah bahwa aku pernah berjuang untuk membuktikan cinta ini, cinta yang kau anggap gila. Aku sangat ingin kau tahu.

Sang waktu antarkan aku kembali pulang pada satu jalan yang membentang, janjikan aku agar aku tak tersesat. Ketika aku sampai di rumah akan ku simpan cinta ini di sebuah toples kaca dan akan kusiram dengan pasir agar menjadi kristal yang bisa kujumpai setiap waktu. Setiap ku lihat cinta yang sudah mengkristal itu akan ku katakan di depannya: Terima kasih untuk semuanya, perih ini, tawa ini, dan semua yang telah terlewati dalam waktu singkat ini.

Senin, 19 Agustus 2013

Adakah ini cinta?

Kutemukan lagi secercah petunjuk cinta pada adam ini. Adam yang tidak kuat sayapnya. Ada luka di sana. Luka yang pernah dibuat insan lain yang menusuk dan merasuk jiwanya. Luka yang belum sembuh. Menunggu untuk kembali bisa terbang bebas, walaupun kau masih sanggup terbang walau tak sebebas dulu. Cerita yang hampir mirip dengan kesatria abad 21-ku dulu. Tapi adam ini tidak terlena dalam sakitnya. Adam ini sedang berjuang. Entah Tuhan mengirimku ini untukmu. Entah Tuhan hanya ingin menjadikanku persinggahan untukku, tapi tidak untuk engkau miliki. Lagi-lagi waktu yang sanggup menjawabnya dan bertahta di atas segalanya.

Apakah ini cinta? Merasuk hingga perih ke dalam jantung. Menghembuskan asmanya di setiap hela nafas yang ku hirup. Terlintas dalam berbagai garis waktu dan dimensi. Berjelaga hingga dalam lelap. Ada di segala penjuru ruangku, bahkan di ujung pelupuk mataku ketika terbuka di pagi hari. Hiruk pikuk dalam fikirku. Ingin selalu di peluknya, sentuhan kulitnya.

Jika iya, izinkan aku memiliki cinta itu. Jangan hanya cahaya yang menyilaukan tapi tak bisa aku genggam. Berikan aku cinta itu bernama, pada satu cahaya purnama.

Senyum itu. Terkutuklah insan yang telah tega menyakiti sayapmu, hingga hanya tinggal getir senyum yang terlukis di wajahmu. Jika saja membunuh insan lain itu bukan hal yang dilarang dalam hukum hidup kita, pasti sudah ku bunuh insan itu. Rasakan pedihnya pedangku menusuk jantungnya. Rasakan perihnya tersayat seperti yang kau sayatkan di sayap adamku. Namun, tak akan ku balas itu dengan pedangku. Tugasku bukan seberani itu. Tugasku sekarang hanyalah menjaga adam yang sakit ini. Melindunginya, memberinya obat untuk luka dan perihnya. Membuktikan kalau aku benar-benar mencintainya, bukan hanya kata-kata pujangga. Sudah ku menangkan taruhan ini, denyut nadi ini setiap detiknya hanya namanya. Taruhan yang tak bisa kuingkari lagi hasilnya. Sudah cukup meradang. Kalau aku berani mengingkarinya entah seberapa radang lagi yang akan menghiasi ruang ini. Satu lagi, menunggu. Menunggu luka itu mengering dan lenyap sehingga kau bisa terbang kepadaku suatu hari nanti.

Izinkan aku yang hanya selangkah di bibir jurangmu, namun terasa jauh untuk masuk ke dalamnya. Entah bagaimana lagi caraku untuk membuat kau percaya bahwa ini bukan main-main. Cinta ini nyata. Dan lewat aku Tuhan membuktikan bahwa kau berharga. Bahwa kau berhak merasakan cinta yang baik. Baca hatiku, andai saja kau sudi, rasakan nadiku. Rasakan setiap nafas yang hanya ada asmamu di sana. Rasakan setiap gerak yang kulakukan hanya untuk kau. Genggam tanganku, isi sela jariku dan rasakan aliran api cinta yang berkobar ini hanya untukmu. Ya, untukmu saja.

“Dan kamu hanya perlu terima dan tak harus memahami, dan tak harus berfikir. Hanya perlu mengerti aku bernafas untukmu. Jadi tetaplah disini dan mulai menerimaku.” (Noah ft Momo Geisha –Cobalah Mengerti)

Senin, 12 Agustus 2013

Open eyes, Get real!

Akhirnya masih ada sedikit waktu untuk kembali membuka laman tercinta ini. Laman yang isinya sebagian cerita hidup saya, yang saya bagikan kepada siapapun yang dengan suka rela membacanya. Berisi berbagai rasa yang tak henti-hentinya silih berganti merasuki setiap langkah hidup saya.

Masih dalam momen lebaran, masih ada sedikit rasa rindu pada Ramadhan. Namun masih dengan suka cita menyambut kemenangan Idul Fitri. Kembali saya dengan pengalaman baru tentang cinta yang berbeda dari tahun sebelumnya. Bukan hanya kembali fitri, tetapi ada satu pelajaran berharga yang selalu saya dapatkan, dan tenang akan selalu saya bagi di laman ini. Selain sibuk mencari segepok uang untuk memenuhi semua ego materi saya, saya juga pernah sibuk mencari sesuatu yang belum saya temukan hingga sekarang. Cinta. Sangat feminin? Bodo amat. Sekecil apapun itu pasti kita butuh cinta. Setidaknya untuk membuat kita nyaman, aman. Walaupun saya gak munafik saya juga tidak bisa hidup tanpa seks dan uang.

 Langsung pada inti pelajaran saya. Kembali saya diperkenalkan oleh jenis adam yang baru saya temui sekarang. Dulu dalam kurun waktu 2 bulan ke belakang saya sangat memujanya. Tapi sekarang mungkin melihat fotonya saja sudah membuat isi perut saya sedikit bergejolak. Tipe adam yang seperti Dewa dalam film Clash of The Titans. Adam yang selalu mendamba pujaan orang-orang sekitarnya, tak bisa hidup tanpanya. Jika saya ingat obrolan semalam dengan teman-teman terbaik saya, secara penampilan sih adam yang satu ini seperti ingin mencapai puncak tertinggi tapi sayangnya agak sedikit gagal. Don’t be yourself intinya. Sedikit banyak obrolan itu membuka mata saya sekarang. Sudah cerita tentang seperti apa jenis adam yang satu ini. Tak baik membicarakannya.

 “Aku dan rumahku adalah persinggahan yang harus ia tempuh, tapi bukan untuk ia miliki.” (Guruji, Madre, Dewi Lestari) 
Satu kesalahan terbesar dalam waktu ini adalah saya memilihnya. Padahal ada sebuah pepatah bahwa hati ini bukan memilih tetapi dipilih. Saya dengan berani-beraninya memilihnya. Hal ini hanya membuat hati saya sakit yang tak berkesudahan. Tapi apa daya, saya yang memilih. Bahkan sakit itupun sangat saya nikmati selama ini. Itu dulu, ketika mata saya belum terbuka. Semakin saya fikirkan ada beberapa hal yang tidak bisa saya tuliskan di laman ini (cukup saya saja yang tahu) yang membuat saya harus kembali memijak tanah, berhenti berangan-angan. Tak akan ada hal bisa saya petik bila saya selalu memilihnya. Sehingga saya memutuskan untuk berhenti. Walaupun harus dengan sedikit perang panas di antara kita. Setidaknya bisa membuat kita masing-masing memeriksa kekurangan diri kita. Untung saja belum saya bagi laman ini untuknya. Laman tercinta yang saya bagi pada orang yang akan memasuki hidup saya, karena sebagian hidup saya ada di sini. Mungkin alam saja sudah memberi tanda bahwa adam itu bukan untuk saya. Saya cinta tanda alam, walau kadang tak terbaca oleh saya. Selanjutnya, biar alam dan waktu saja yang akan membawa hati saya kemana, ke perasaan yang mana. Biar alam dan waktu jualah yang akan menge-nol-kan lagi segala tentang kau.
“Bangun dari ilusi, keluar dari permainan, kembali memijak tanah.” (Madre, Dewi Lestari) 

“Lepaskan saya seperti saya melepaskan kamu. Hanya dengan begitu kamu nggak pernah kehilangan saya. Kamu gak pernah kehilangan apapun.” (Guruji, Madre, Dewi Lestari)
Untuk adamku, maaf bila kini kau tak lagi bertahta di hati ini. Pergilah, berlarilah sesuka hatimu kini. Saya sudah cukup sampai di sini memiliki kau. Ketahuilah bahwa dulu ada seseorang yang sangat mencintaimu dengan tulus namun harus mati karena berusaha membuktikan bahwa ada cinta yang nyata. Jika kau baca tulisan ini, ingat karma itu masih ada di dunia ini. Jangan salahkan saya jika karma itu memukul keras depan wajahmu. Bukan menakuti. Ini hukum alam. Get real!

Sabtu, 08 Juni 2013

IK(eluarga)SEDA. Panti Asuhan. Hidup

Malam ini dihiasi dengan rinai hujan yang seakan menghiasi hatiku dirundung kesyukuran yang tak terhingga mahalnya. Berkaca pada satu panorama indah dalam bumi ini. Yang mungkin sedikit terabaikan, yang sebenarnya bisa memberikan makna baru dalam hidup. Sedikit ingin mengkritik hati ini, dan mengkritik kau yang selalu kurang saja dalam hidupmu. Lihat adikku ini, ciptaan Tuhan yang lain. Bukan kau yang sedang sibuk dengan smartphonemu. Bukan kau yang berlomba-lomba untuk jadi yang nomor satu dalam pergaulanmu. Bukan kau yang selalu mendongak keatas merindukan bulan. Bertahan. Hanya itu yang adikku lakukan sekarang. Bertahan hidup dengan segala yang Tuhan berikan saat ini dengan segala yang kekurangan yang tidak kita miliki. Mereka tak pernah mengeluh, apalagi meminta seperti itu. Hanya bersyukur yang bisa mereka lakukan. Mereka tak pernah berharap menjadi yang utama, apalagi bernama. Mereka hanya butuh semangat. Hanya itu yang membuatnya bertahan hidup. Mereka memang tak sempurna secara fisik, tapi secara hati mereka sama denganku, denganmu, dengan kita.

Untuk adik di Panti. 
Dik, izinkan aku mengirimkan surat kecil ini untukmu. Entah bagaimana caranya kalian bisa membaca suratku. Aku hanya ingin bercerita sembari tak lupa mengadahkan tanganku pada pencipta kita. Tentang hidupku, apalagi hidupmu. Jangan pernah bersedih, dik. Hidupmu indah. Kadang hidup normal sepertiku tak menjamin bahagia di dunia ini. Tetap semangat. Tuhan punya cara lain dalam memberikan makna pada kita. Aku ingin berterima kasih padamu. Lewat hidup kalian, lewat cerita kalian aku bisa bersyukur dalam hidupmu. Lewat senyumanmu, aku bisa melihat bahwa kebahagiaan kecilmu masih ada. Aku percaya itu. Teruslah tersenyum dik. Teruslah bersinar mata itu. Teruslah ramaikan dunia ini dengan cekikikanmu. Hanya dengan itu aku semakin percaya bahwa kau masih bisa merasakan bahagia. Hidupmu bukan hina, melainkan makna. Satu makna yang sangat terpancar dari raut ronamu: bersyukur. 
Dik, kata penjagamu kau tak cacat secara perasaan, walau banyak keterbatasan fisik yang kau miliki. Izinkan aku berbagi denganmu. Biarkan hatiku berbicara dengan hatimu, bukan dengan mulut, mata, telinga. Dari hati ke hati. Sampaikan salamku untuk nama-nama ini yang sudah mengantarkan aku padamu. Hingga aku dapat satu pelajaran hidup yang sangat berharga. Sampaikan pada mereka kalau aku sangat mencintai mereka, selain keluargaku. Buatku mereka adalah rumah kedua. Mereka ajarkan aku tentang cara bersyukur dengan cara yang bijaksana, lewatmu. Perlahan dan tak disengaja. Aku dapat merasakan maknanya. Nama-nama ini yang mengajarkan aku pelajaran yang tak aku dapat di tempat lain, bahkan di sekolah sekalipun. 
Dik, lewat mereka juga aku belajar tentang teman, hidup, keluarga, dan rumah. Walau harus ku terpa hujan, ku lewati jalan penuh kubangan. Akan kulakukan untuk kembali pulang pada mereka. Bersama mereka hatiku kembali berdendang. Nafasku kini kembali berirama. Sampaikan pada mereka, bukan hanyalah sebuah tradisi. Bagiku mereka adalah keluarga. Bukan hanya kumpulan tanpa arti, tetapi satu yang berarti dan memberi arti. 
Untukmu Chika Annisa, Debby Dyah Septiorini, Riska Risdiani, Wilyanti Angelina, Yoan Agnes Mamangkey, Albi Pradhyatama, Usha Widya Rochmatika, Widya Tri Yusma, Dwi Ardini Pratiwi, Melati Salamatunnisa Oktaviani, Simon Josua, Windy Pujiatmiko, Geraldi Ramadhan, Hernanda Prasetia.

Dariku, Setiyo Prutanto. 
(Malam temaram yang baru diguyur hujan di Panti Sosial & Wisma Tuna Ganda Muslimin, Palsigunung)

Senin, 03 Juni 2013

Pujangga cinta tak bernama

Jika malam dirundung muram, carilah pujangga untuk melepaskan dahagamu pada satu cinta tak berdermaga. Cinta tak berdermaga yang membuatmu lambung di atas kapalmu, hingga pusaran angin menerjang tanpa ampun ditengah pekat biru. Turunkan jangkar emas kapalmu. Temukan dia, biarkan dia menyanyikan sebaris nada yang akan menghilangkan dahagamu pada cinta tak berdermaga. Menghilangkan tanyamu pada seribu tanda tanya yang menggerogoti tawamu. Cinta yang tak berdermaga, tak bernama, namun terasa ada.

Ceritakan pula padanya, betapa sakit cinta tak bernama ini. Seketika pujangga itu akan merubah dirinya menjadi tabib. Melantunkan syair-syair mantra yang mampu menghilangkan perihmu. Mendongengkanmu dengan berbagai cerita indah khas negeri dongeng yang selalu berakhir bahagia. Pujanggamu akan memberikan celah agar kau lupa akan sakitmu. Seperti antibiotik. Hanya meredam, bukan menyembuhkan. Menyejukkan perihmu, menghisap seluruh lelahmu dalam mencari cinta tak bernama ini. Temukan dia, kurung dia dalam sangkar emas yang kau punya. Jadikan dia penawar racunmu. Jika sesekali kau jatuh atau lelah mengarungi lautan untuk cinta tak bernama itu. Tanyakan semuanya padanya, berikan semua barisan kata-katamu padanya. Dia tak akan pernah lelah mendengarmu. Selalu mendendangkan nada dengan gitar manisnya untuk menemani perihmu. Menjagamu dalam setiap lelahmu.

Namun jangan tanyakan padanya kepada siapa cinta tak bernama ini menjadi bernama. Jangan tanyakan padanya dimana dermaga tempat kau akan melabuhkan cintamu. Dia takkan pernah bisa menjawab. Pujanggamu bukan Tuhan. Tuhan saja belum mau menjawab keluh kesahmu. Pujanggamu tak lebih hebat dari-Nya. Jika kau lelah istirahatlah. Keluhkan semuanya pada pujanggamu. Tapi jangan mohon untuk menjawab pertanyaan itu. Kau akan membuatnya mati, terkikis oleh cerita sedihmu mencari cinta tak bernama itu. Hingga kau tak punya tempat lagi untuk kau beristirahat, menghibur laramu dengannya. Wahai kau, berjelagalah dalam peluk pujanggamu. Peluk malam ini dengan segala kekosonganmu. Buka pintu hatimu pada setiap nama yang menjanjikan cintamu menjadi bernama. Jika kemudian ada lelah menghinggapi daun pintu hatimu, tutuplah. Berdoa semoga masih ada yang sudi menyambangi pintumu.

Untuk cinta yang tak bernama.

Jengah

Aku jengah. Begah. Tempat mahsyurku kini terusik, tak senyaman dulu. Aku ingin hingar. Bersama ombak yang menggelegar. Di depan gerbang kerjaan Neptunus. Melepaskan segala kepenatan ini. Bising kota ini sudah tidak mampu lagi membunuh jengahku. Malah membuatnya semakin melankoli dalam waktu aku mengarunginya. Menjadi tak berdaya di tengah berbagai nada-nada megah pada setiap sudut kotaku. Aku ingin selangkah lebih maju. Tak mampu lagi ku melewati fase ini. Berat.

Kamis, 23 Mei 2013

Kenangan

"Aku menyimpan beberapa rahasia besar dan hanya pada malam yang sepi dan panjang aku bisa membebaskan mereka."

"Banyak lembar ingatan yang tak berani aku sentuh, karena melankoli yang muncul bisa meledak dan tak ada kekuatan diriku untuk meredamnya."

"Membuka kenangan lama yang terhampar di belakang memberikan makna baru dalam hidup. Memberikan apresiasi baru terhadap keberhasilan ataupun kegagalan saat ini. Kita selalu bisa kembali ke masa lalu. Kenangan itu, betapapun pahitnya, selalu bisa dikenang dan ditempatkan kembali di ruang yang tepat di hati kita. Dan, biarlah memori beristirahat di sana. Biarlah kita kunjungi suatu saat." 

(taken from Iwan Setiawan. 9 Summers, 10 Autumns)

Senin, 29 April 2013

Kota ini

Aku cinta kota ini. Semua ornamennya membuatku syahdu dalam sengat matahari yang tak pernah ragu membakar kotaku. Bau angus kendaraan umumnya sangat akrab menusuk hidung bagai parfum kelas dunia barat yang memesona. Keringat yang selalu bercucuran menjadi hiasan dan alasan hakiki mengapa kotaku disebut kota metropolitan, kota yang tak pernah tidur. Tak lupa juga dendangan melodi penyanyi jalanan yang merdu membuat semakin syahdu kotaku. Siapapun yang mendengar petikan gitarnya atau pukulan gendangnya terasa terbuai untuk mengelana ditengah teriknya kotaku. Memberi warna tersendiri selain alunan lagu dari pemutar musik elektronik bernilai jutaan itu. Suara alam ini lebih indah dari teknologi apapun itu. Namun tak jarang juga pria-pria bebas yang kadang meresahkan hatiku dan seluruh aku yang tinggal di kotaku. Menjadikan ritme tersendiri dalam mengarungi kotaku. Memberikan rasa menggelitik tersendiri.

Kotaku tak pernah merasa sepi. Tiap detiknya sejak matahari masih mengintip malu di ufuk timur dan tenggelam enggan di ufuk barat, aku dan aku lainnya selalu menyambangi kotaku bahkan sampai titik penghujungnya.

Kotaku tak pernah berhenti. Selalu bermimpi bersama raja-raja penguasa yang selalu berjanji untuk membuatnya menjadi lebih baik.

Kotaku. Teruslah berjalan. Sama sepertiku, masih terus berjalan hingga kini untuk menemukan yang satu. Walau lelah tapi yakin. (Suatu sabtu siang terik, di atas kopaja sepanjang jalan Antasari menuju Depok)

Rectoverso

Kadang aku ingin menjadi CICAK DI DINDING. Melindungi manusia dari gigitan nyamuk. Dengan tulus selalu terjaga walau manusia sering mengabaikannya. Sama sepertiku, tetap di sini mencintaimu. Walau aku tak pernah kau perhitungkan dalam fikiranmu. Namun, aku tetap di sini, berada ditempatku. Di dinding. Tidak kemana-mana.

Walaupun cintamu juga HANYA ISYARAT. Isyarat yang memberi tanda untukku tetap berada di sini. Isyarat yang sudah membuatku merekah tiap kau panggil namaku. Ketika kau ucapkan kata-kata indah dalam setiap hariku. Tanpa harus kau aku miliki.

Kadang kau juga suka melakukan CURHAT BUAT SAHABAT denganku. Cukup membuatku bahagia jika kau mau membagi separuh pengalaman harimu denganku.

FIRASAT lagi-lagi menahan aku untuk tetap di sini. Mencintaimu. Entah tak pernah ku tahu alasannya. Menunggu rupawanku sadar bahwa cintanya telah hidup di sini. Sudah bercampur dengan darah dan asaku.

Hingga nanti akhirnya MALAIKAT JUGA TAHU siapa yang paling esa mencintaimu. Cintaku layak diuji dan aku yakin aku yang akan jadi juaranya. Tanpa pamrih. Tanpa alasan. Tanpa perkara. Dan yang lebih penting tanpa pilihan.
(inspired by Rectoverso)

Rindu Candu

Tanyakan pada randu
mengapa hati ini merindu
Tanyakan pada bintang
mengapa rindu ini meradang

Rindu ini menyiksa hati
Siksanya terasa ingin mati
Entah apa yang selalu ku nanti
Tak pernah ku temukan yang pasti

Bebaskan aku pada satu purnama
pada satu cinta yang bernama.

Senin, 01 April 2013

Leuke Dromen

Als ik afgestudeerd ben, zal ik meteen een baan zoeken. Ik wil op een kantoor werken. Ik hou van schrijven. Dus wil ik als schrijver op een uitgeverij werken. Ik wil mijn ouders trots op mij zijn. Ik wil graag op mijn 30ste trouwen en ik woon in een groot huis met mijn vrouw. Ik wil drie kinderen hebben.

 Als ik op mijn 60ste gepensioneerd ben, wil ik naar alle landen in de wereld gaan. Dan geniet ik van mijn leven op die tijd. Ik wil een eigen uitgeverij hebben. Dus als ik dood ga, geef ik die uitgeverij aan mijn kleinkinderen.

Rabu, 27 Maret 2013

Ini Cinta?

Ini bukan tentang cinta yang indah. Bukan pula cerita cinta di serial yang selalu berakhir bahagia. Bukan pula cinta antara kau dan aku, dia, mereka.
Cinta ini tak diberi nyawa, tetapi hidup hingga menusuk jantung.
Cinta ini tak diberi mulut, tetapi berbicara bahkan memberontak.
Cinta ini tak diberi kromoson DNA, tetapi berkembangbiak.
Cinta ini tak diberi kekuatan, tetapi menggerogoti tubuh kuat ini.
Cinta ini tak diberi tangan, tetapi menyentuh segala batas.
Cinta ini tak diberi arah, tetapi tahu harus kemana.
Cinta ini tak diberi kunci, tetapi menjaga tetap ditempatnya.
Cinta ini tak digenggam, tetapi menggenggam kuat seluruh janji.
Cinta ini tak bergelombang, tetapi riaknya merdu mengusik jiwa yang sepi.
Cinta ini tak berawan, tetapi hujan selalu jatuh dalam ceritanya.
Cinta ini tak terlihat, tetapi terasa, meradang, bahkan mematikan.

Bertemu kembali

Nus, aku ingin bercerita. Cerita tentang cerita klasik yang aku kira sudah mati ternyata cerita itu masih hidup, nus. Berdenyut dalam nadi jantung ini, mendesir dalam aliran darah di hati, dan merajai segala memori di dalam otak. Aku pikir aku munafik bila telah berhasil membunuh cerita ini. Malah dengan nafasku nafas cerita ini bisa berhembus. Dengan segala gesekan dan gerakan mampu mengembangbiakkan virusnya. Benar-benar tak aku mengerti mengapa cerita ini ternyata masih hidup, bukan mati. Menggerogoti bagai benalu dalam hati.

Aku bertemu lagi dengannya. Entah mengapa aku berani mengambil langkah gila ini. Kesatria abad 21 yang pernah menemaniku. Hati ini masih berdesir. Mata ini tak pernah lelah menatap semua geraknya. Ujung mataku pun tak berhenti mengawasi semua fisiknya. Tangan ini masih mengalirkan listrik yang seketika mengalirkan hawa hangat lewat jabatannya. Dan jantung ini masih mendetakkan seluruh asmanya. Apakah kau merasakan hal yang sama kesatriaku?

Aku ingin menjadi jalanan. Setia dengan sinar lampu jalan yang temaram namun cukup menerangi sisi gelapnya. Tak berharap kembali membantu orang-orang terhubung dengan segala jaringan kehidupannya. Setia berpadu dengan jutaan bahkan miliaran putaran roda-roda laju waktu yang menggilas keadaanmu. Terlentang terbentang dengan pasrah. Walaupun mungkin lelah terjaga sepanjang waktu. Tak pernah berpikir untuk meringkuk karena dengan itu akan banyak murka di atasmu.

Barangkali ini cinta. Sesakit inikah mencintaimu. Lepaskan aku bila memang kau memilih dirinya atau segala kenangan busukmu. Aku tak ingin menjadi benalu dalam hidupmu. Biarkan ku cari jalanku sendiri. Ikhlaskan aku untuk bisa merasakan cinta-cinta yang lain. Titah aku atau mungkin seret aku untuk pergi dari duniamu. Bantu aku untuk bisa menjemput cinta yang baru. Cinta yang mengenalkan padaku lagi tentang rasa kecewa, bahagia, tangis, bahkan tawa. Aku lelah mengharapmu. Tak kulihat lagi cinta yang dulu pernah kita puja bersama. Terlalu sakit untuk aku rasakan sendiri. Terlalu berat bila cinta ini kubawa sendiri. Larungkan aku kelaut. Seperti aku melarungkan perahu kertasku. Antar aku pulang. Bawa aku kembali ke pangkuan Neptunus. Sampaikan dengan pesan untuk temui aku dengan cinta yang bisa membuatku hidup. Bukan cintamu yang membuatku mati. Jika kau baca laman ini aku harap lupakan aku, temukan aku dengan cinta baru. Temui aku dengan memaafkan. Ajarkan aku bagaimana cara mengantarmu pada cinta yang kau mau. Beritahu aku jalan dimana kau bisa pergi keluar dari segala pengaruh diriku. Berikan aku alasan untuk tidak mencintaimu lagi. Bunuh aku dengan cinta ini jika memang itu yang membuatmu bahagia. Dan yang terakhir buatkan kita jalan yang berbeda. Aku ingin berjalan di jalanku! Dan kau bebas melakukan apapun di jalanmu! Di jalan kita masing-masing.

Kamis, 14 Maret 2013

Rehat

Nus, aku sangat lelah. Aku ingin istirahat. Meluruskan kakiku di atas butiran pasirmu. Menghela jutaan partikel nafas ke udara yang akhir-akhir ini aku sesak dengan udara disekitarku. Merasakan betapa lembutnya usapan angin lautmu. Aku ingin terlelap. Berharap ketika ku terjaga lagi semuanya menjadi hal baru. Aku lelah berlari, mencari, bahkan mencaci. Semua ini kulakukan melulu tentang cinta. Mengejar kupu-kupu yang harus berterbangan di dalam perutku. Hal ini melulu mengenai jatuh cinta. Sangat aku akui aku ingin merasakan hal itu. Beri aku kesempatan itu, nus. Sekali saja.

Sekarang rasanya aku ingin sendiri saja. Walau ku benci sendiri, namun rasanya sendiri membuatku nyaman kini. Tak terasa tergopoh-gopoh berlari kesana kemari mencari dan mencaci. Sendiri rasanya membuatku bisa bernafas. Lepas dari berbagai tuntutan-tuntutan yang ingin aku capai. Mungkin saja di tepi pantai yang sepi ini ada orang tersasar yang dikirim untuk menemaniku singgah. Sendiri membuatku aman. Sendiri juga menghilangkan lelahku. Meregangkan tubuhku. Tak perlu ku berlari mencari bayangan itu, tak perlu ku kesana kemari menggenggamnya supaya tak lepas. Aku ingin sendiri, beristirahat. Entah berapa lama.

Hanya Isyarat

Untuk kamu yang pernah ada. Tak usah kumiliki. Dengan kamu pernah ada saja sudah lebih dari cukup buatku. Sampai aku tahu namamu, bisa melihat wajahmu. Berkomunikasi denganmu. Sudah cukup. Setidaknya aku tidak hanya mengagumi punggungmu saja. Kau datang kemudian pergi saja sudah cukup. Aku sudah terbiasa dengan hal itu.

Senin, 04 Maret 2013

(Masih) harus berlari

Nus, aku sedang tak mengerti rasa yang sedang aku rasakan. Abu-abu. Semakin aku coba rasakan semakin sulit aku jelaskan dengan kata-kata, bahkan dengan semua bahasa yang ada di dunia ini tak mampu mendefinisikannya. Rasanya aku benar-benar semakin tak mengerti apa yang sebenarnya aku cari, dan semakin tak tahu apa yang sebenarnya telah hilang. Jalanku juga semakin belukar, nus. Semakin tak bisa kulihat ujungnya. Dengan parangku juga tak mampu membabat belukar ini sehingga jalan untuk menemukan sesuatu yang hilang itu tak bisa terbuka untukku. Semakin gelap ketika ku telusuri jalan belukar ini. Hanya kutemui orang-orang singgah saja di jalanku. Tak pernah ada yang menetap. Entah apalagi yang harus kulakukan, apakah harus menunggu? Wahai penilai hati, temukan hatiku. Genggamlah.

Nus, dengannya aku seperti belum menemukan hidup. Cintaku bukan disana. Radar Neptunusku pun tak mengirimkan peringatan bahwa itu adalah memang tempat dimana aku harus berlabuh. Apa kisah tentang kesatria itu masih menghantuiku? Karena memang lewatnya aku bisa mengenalmu, nus. Mungkin cuma dia yang memiliki dunia yang sama denganku. Ah, sudahlah. Waktu itu sudah berakhir. Harus sangat aku akui bahwa hidup itu berjalan maju. Hanya maju. Hidupku memang maju. Tetapi hatiku belum terselesaikan. Entah tugas mana lagi yang harus kutuntaskan. Entah hutang yang mana lagi yang harus aku lunasi. Aku tak bisa memilih, nus. Aku cuma bisa dipilih. Jika satu-satunya perahu kertas yang aku larungkan kepadamu telah kau baca, berikan aku jalan, nus. Aku sesak dengan sesuatu yang terasa belum terselesaikan ini. Menyandung jalanku untuk maju dari keadaan diam ini.

Hari ini

Nus, hari ini aku sedang menata hati. Pekerjaan yang sangat sering aku lakukan walau dengan rentang waktu yang sangat lama. Melarungkan kenangan memang tak mudah, tetapi aku tak mau terus terjerat gelapnya. Cukup kesatriaku saja yang terjerat kenangannya. Aku tak mau mati terhisap olehnya. Aku mau bebas. Lepas dari belenggu kesatria itu. Cerita usang itu sudah benar-benar usang untukku. Tak ingin lagi kuagungkan kisahnya. Walaupun kadang masih sering terputar di otakku dan membuat aku jatuh dalam bifurkasi (lagi). Tak mampu aku tekan tombol stop untuk menghentikannya.

Aku sedang menata hatiku kembali. Menyiapkan hati untuk siapa yang mau singgah di menara tuaku. Kubereskan semua sisa-sisa harapan yang masih ada. Akan kulelang pada siapa yang mau. Entah itu siapa. Dengan sinar matahari yang masih mengintip diufuk timurnya, ku mantapkan hati untuk melangkah pergi. Keluar dari rasa nyamanku. Aku siap. Aku datang, untuk harapan yang ada sekecil apapun itu. Bangun dari mati. Hidup kedua (lagi). Kesempatan yang mungkin tak didapat oleh kesatriaku. Merasakan hidup. Menikmati apa yang namanya bangkit berdiri. Merasakan betapa perihnya tertatih dengan sisa-sisa luka yang masih menggelitik hati. Aku siap, nus. Walaupun akhirnya aku tak tau masih harus berjalan atau harus kembali pulang. Hanya penilai hati itulah yang menentukan. Dengan ini sambutlah langkah kecilku.

Untuk Engkau

Wahai engkau yang tak tau dimana. Ajarkan aku jalan untuk bisa menemukanmu. Bentangkan jalan itu untuk bisa kulewati. Sibak semua belukar yang menusuk jantung. Menggelapkan awan. Antarkan juga kudamu agar bisa menjadi kendaraanku menuju dirimu. Menjadikannya teman perjalanan yang akan menceritakan siapa tuannya. Perantara untuk mengenal engkau yang tak pernah kuketahui. Beri aku petunjuk jalan untuk aku berjalan, berhenti, berjalan lagi hingga aku tau kapan aku harus singgah. Beri aku nafas untuk melengkapi nafas tersengal ini. Beri aku semua lentera yang kau punya untuk menerangi jalanku. Aku tak ingin tersesat menujumu. Jika aku sudah sampai di depan pintumu, jangan lepas dulu. Bersiaplah kau di daun pintumu, agar aku masih bisa menggunakan sisa nafasku untuk semakin yakin berjalan menujumu. Peluk aku. Tatih aku. Alirkan seluruh hangat tubuhmu ke dalam tubuhku. Izinkan aku terlelap. Rengkuh aku wahai engkau yang sekarang belum aku tahu siapa.

Wahai engkau yang fana. Jangan lupa siapkan pula kudamu kembali. Kalau engkau tak berkenan dengan keberadaanku nanti. Untuk mengantarku pulang. Kembali dari peraduan mahsyurmu. Dalam jalan pulangpun aku tak ingin tersesat. Tersesat membuatku mati. Antarkan aku ke bibir pantai terdekat. Agar bisa kularungkan perahu kertasku untuk membawaku pulang. Menghilang darimu. Jika kau tak sudi dan aku harap kau ingat itu.

“Engkaulah gulita yang memupuskan segala batasan dan alasan
Engkaulah penunjuk jalan menuju palung kekosongan dalam samudera terkelam
Engkaulah sayap tanpa tepi yang membentang menuju tempat tak bernama, tetapi terasa ada

Ajarkan aku Melebur dalam gelap tanpa harus lenyap 
Merengkuh rasa takut tanpa perlu surut 
Bangun dari ilusi, tetapi tak memilih pergi 
Tunggu aku 
Yang hanya selangkah dari bibir jurangmu.” 
(AKAR, Dee Lestari)

Nus,

Neptunus, selamat malam. Sudah lama aku tidak menyapamu. Aku mulai sibuk kuliah lagi, nus. Hal baru, mata kuliah baru, dan teman baru. Mungkin kisah baru. Aku rindu, nus. Aku rindu perasaan yang mampu menghadirkan kupu-kupu terbang di dalam perutku. Aku rindu pada rasa yang membuat hati terasa resah tiap saatnya. Aku rindu perasaan dimana aku tak tenang jauh dari telepon selulerku. Aku rindu perasaan bahwa ada satu pesan singkat yang harus aku jawab setiap menitnya. Ya aku ingin itu nus. Aku gak bisa bikin kata-kata indah sekarang nus. Aku juga gak tau kenapa. Pelabuhanku masih jauh ya nus? Sekalian aku mau tanya hal itu. Aku lelah. Pengen berlabuh. Pengen singgah. Sekedar duduk sambil merasakan sepoi-sepoi angin laut menghempas wajah. Menyentuh pasir dari dekat, yang biasanya hanya bisa aku lihat dari kejauhan aja. Pengen tidur. Capek lari. Lari mencari sesuatu yang sebenernya gak pernah hilang. Dan ada rasa dimana aku udah kehilangan sesuatu tanpa harus tau sebelumnya aku pernah menemukan apa. Singgah. Intinya.

“Dear Neptunus, tahukah kamu kenapa kali ini aku melarung perahu kertasku ke tengah laut? Aku ingin perahu kertasku berlabuh. Aku sangat ingin hatiku berlabuh. Kemanapun itu.” –Kugy, ditengah laut, Perahu Kertas 2.

Jumat, 25 Januari 2013

Peng(aku)an

Ini tentang kisahku. Bila kau muak dengan drama-drama dalam halaman ini tombol berlambang X masih tersedia untuk kau.

Kurangkai kata demi kata di atas kendaraanku dengan segala ornamen malam yang menggelendotiku dan menghantam kendaraanku di segala arah. Angin malam dingin yang selalu membuatku candu untuk memeluknya. Lampu jalan remang yang tak pernah lelah merefleksikan kenangan di setiap pancarannya. Jalan sepi tanpa hiruk pikuk ekonomi kota Jakarta pagi hingga petang yang ingin sekali kurasakan dan kucumbu dinginnya. Dibumbui dengan sedikit gerimis yang mampu menggigilkan hati. Menjadikan suasana ini sangat sempurna.

Aku termenung. Ingatku bahwa selama ini aku terjebak dalam wangi maskulin sang Adam. Jenis makhluk ini yang mampu menghisap seluruh cadangan libidoku. Mampu menghilangkan dahagaku akan sebuah penghilang dahaga bernama cinta, tak jarang aku juga dibuat mabuk olehnya. Makhluk yang aku kagumi dari setiap lekuk kemeja yang membentuk dadanya, yang mampu membuat mata lupa akan kedipnya dan senyum selalu hadir terpanggil disetiap ujung bibirku kala kukagumi pada setiap jahitan celananya. Membawaku pada imaji gila yang seharusnya tak ada, hangat jika ada di dekapnya. Ya, hanya itu yang aku kenali sekarang. Bukan lagi melulu tentang kecantikan dan kelembutan. Aku tergila-gila pada makhluk jenis itu. Aku suka aroma maskulin itu, bukan lagi tentang wangi manis.

Jangan salahkan Adam, jangan salahkan Tuhan, jangan salahkan keadaan, apalagi jangan salahkan aku. Jahat juga bila kau salahkan Bunda. Yang Bunda tahu hanya pernah mengandung berkah bukan salah. Aku yang kini terjebak dalam pesona sang Adam. Banyak jenis makhluk ini yang sudah kutemui di hidupku. Bisa membuatku sepi, menangis. Kadang bisa membuatku tertawa dan menjadi manusia paling tinggi derajatnya dalam hidupnya. Sering memberi warna dalam hidupku. Merah, jingga, biru, bahkan kelabu. Sama sekali tak membuatku membenci makhluk jenis ini, atau setidaknya membuatku menjadi netral. Justru semakin memacuku kedalam pencarian untuk menemukan satu yang mampu memelukku dengan kedua tangannya yang sarat dengan otot. Menjadikanku esa dirongga hatinya. Dekapan hangat dengan aromaterapi maskulin yang memabukkan diriku. Aku tergila-gila padamu Adam, tapi entah Adam yang mana!

Kamis, 03 Januari 2013

Anyer, Tahun Baru 2013


Neptunus,
Aku masih belum percaya aku telah bisa mengunjungi markasmu akhir tahun lalu. Berkat dua orang teman yang meyakinkan jalanku untuk bertemu denganmu, nus. Sama seperti tahun-tahun yang lalu. Aku masih sendiri. Belum diberi kesempatan untuk merasakan pergantian tahun ini berdua. Entah dengan siapa. Sekarang aku masih mencari pelabuhanku, nus. Belum bisa kulihat mercusuarnya. Masih tertutup awan. Aku masih pekat dengan asinnya air laut.

Nus, aku bahagia bisa melarungkan perahu kertasku tengah laut. Tepat didepan gerbang megahmu. Kulepaskan semua cerita tentang kesatria dalam lautmu. Sudah kulepas dirinya. Tak lagi aku kekang dalam bifurkasi imajiku. Sembari kudoakan agar kau bebas menari dalam hidup depanmu. Tidak lagi mengharap kenangan busuk yang bakterinya membuat kau juga ikut membusuk dengan aromanya. Doaku juga semoga tak ada tangis lagi dalam harapmu.

Nus, disisi lain aku punya pengharapan dalam kunjunganku kemarkasmu. Setiap kulihat riak ombak yang gembira itu aku selalu memohon pada Tuhan dan padamu. Beri aku pelabuhan untukku berlabuh. Kemanapun itu. Sudah lelah aku pekat dengan biru dan asin yang membuat tubuhku amis bagai ikan laut. Pelabuhanku yang satu kini sudah jauh. Tak jadi kuhujamkan jangkarku disana. Terlalu sulit aku mengerti sistem perdagangannya. Pelabuhanku yang satu lagi juga semakin kabur kulihat. Seakan tak ingin kusinggahi keberadaannya. Dan kini aku semakin tak mengerti kisah ini. Tak ada gambaran untuk aku bisa menebak akhirnya. Hanya penilai hati itulah yang mampu menemukan jawabannya.

Nus, sekarang sudah 2013. Selamat tahun baru untukmu. Semoga aku bisa mengunjungimu lagi nanti. Malam itu, pergantian tahun. Masih digerbangmu yang megah. Ditemani pekat malam, sedikit gerimis, riak ombak yang seakan ikut bergemuruh menyambut tahun yang baru, dan ledakan-ledakan kembang api yang cukup membangunkanku dari tidur ayamku. Aku ingin berteriak. Sekencang-kencangnya. Aku siap berlabuh. Aku cinta padanya. Satu-satunya pelabuhanku, yang masih tertutup awan. Menjadikanku ingin menangis dan memeluk riak ombak yang memeluk tubuhku bersama malam. Berharap ditengah kegembiraan. Tak berhenti otak ini memutar tentangmu. Menyebutkan namamu. Selain dalam hati juga kuucapkan selamat tahun baru untuk keluargaku dan semesta ini. Menjadikan diri sepi ditengah ramai euforia malam tahun baru. 2013 tahun baru untuk aku masih melanjutkan pelayaranku menuju pelabuhan yang tepat. Selamat tahun baru semesta!

Markas, dua dimensi

Neptunus,
Aku belum diberi kesempatan untuk bisa mengunjungi markasmu. Masih banyak yang harus kulakukan disini. Masih banyak yang minta untuk ditata dan dirapikan kembali. Seperti hati ini. Aku belum sempat melarungkan tubuhku dalam riakmu. Menatap tengah lautmu yang mungkin akan sedikit membuatnya hangat dengan bulir air mata yang membasahinya. Aku belum punya kesempatan melihat semburat jingga matahari menyapa permukaan lautmu dengan emas yang berkilau. Mengantarkan pagi dan malam yang setia menjaga lautmu. Aku ingin melayarkan perahu kertasku yang nyata di depan gerbang markasmu. Yang hanya aku ingin yakinkan bahwa perahu kertasku akan berlabuh. Sama seperti hati ini, yang ingin berlabuh. Kemanapun itu.

Nus, aku ingin berlabuh. Cerita tentang kesatria itu sudah jadi masa lalu. Munafik untukku yang selalu menunggu kehadirannya kembali. Padahal kenyataannya itu mustahil. Kesatriaku mungkin sudah menemukan hidupnya. Yang bila aku baca dari garis waktunya dia lebih memilih mati dalam kenangannya. Itu jalan hidupnya, Nus. Jalanku beda. Lebih mirip seperti cerita cinta Agen Neptunus yang sudah pensiun karena hatinya sudah berlabuh. Kugy. Ingat nama itu kan Nus? Hanya saja adam yang ada dalam dimensiku sekarang agak sulit aku baca gelagatnya. Sekarang hanya ada dua. Namun, tetap saja aku masih menjadi amphibi.

Aku tidak pernah meremehkan kenangan. Kenangan itu kuat, siapapun bisa kalah karenanya. Sama seperti yang terjadi pada kesatriaku. Malam ini adamku yang satu sedang sakit. Dan kutahu kenangannya yang mampu menjamahnya. Bukan aku. Aku sampai saat ini juga tak mengerti tentang rasa apa ini. Rasa yang sedikit ngilu ketika kutahu kau bahagia bersamanya. Masa lalu yang selalu membuai. Ngilu ini cemburu. Entahlah. Yang aku mengerti hanya rasa tidak nyaman yang kini menghiasi seprei tidurku malam ini. Nus, jaga hatinya. Jaga dirinya. Seperti yang diucapkannya padaku. Di dalam dimensi lainku, tak kalah unik. Kutemukan jenis adam yang lain. Tadinya yang menggebu ingin menjadikanku hal berpengaruh dalam hidupnya. Namun, kini berubah. Hanya angkuh yang kurasakan. Entah dimana salahku. Dingin. Sedingin jari ini menuliskan semuanya disini.

Nus, aku ingin berlabuh. Kemanapun itu. Entah dengan adam yang ini, atau yang itu. Aku ingin tinggal. Sudah lelah berlayar. Jika nanti malam atau saat matahari terbenam maupun terbit kau bertemu Tuhan, tanyakan padanya: Kapan aku bisa berlabuh? Haruskah perahuku karam?