Rabu, 27 Maret 2013

Ini Cinta?

Ini bukan tentang cinta yang indah. Bukan pula cerita cinta di serial yang selalu berakhir bahagia. Bukan pula cinta antara kau dan aku, dia, mereka.
Cinta ini tak diberi nyawa, tetapi hidup hingga menusuk jantung.
Cinta ini tak diberi mulut, tetapi berbicara bahkan memberontak.
Cinta ini tak diberi kromoson DNA, tetapi berkembangbiak.
Cinta ini tak diberi kekuatan, tetapi menggerogoti tubuh kuat ini.
Cinta ini tak diberi tangan, tetapi menyentuh segala batas.
Cinta ini tak diberi arah, tetapi tahu harus kemana.
Cinta ini tak diberi kunci, tetapi menjaga tetap ditempatnya.
Cinta ini tak digenggam, tetapi menggenggam kuat seluruh janji.
Cinta ini tak bergelombang, tetapi riaknya merdu mengusik jiwa yang sepi.
Cinta ini tak berawan, tetapi hujan selalu jatuh dalam ceritanya.
Cinta ini tak terlihat, tetapi terasa, meradang, bahkan mematikan.

Bertemu kembali

Nus, aku ingin bercerita. Cerita tentang cerita klasik yang aku kira sudah mati ternyata cerita itu masih hidup, nus. Berdenyut dalam nadi jantung ini, mendesir dalam aliran darah di hati, dan merajai segala memori di dalam otak. Aku pikir aku munafik bila telah berhasil membunuh cerita ini. Malah dengan nafasku nafas cerita ini bisa berhembus. Dengan segala gesekan dan gerakan mampu mengembangbiakkan virusnya. Benar-benar tak aku mengerti mengapa cerita ini ternyata masih hidup, bukan mati. Menggerogoti bagai benalu dalam hati.

Aku bertemu lagi dengannya. Entah mengapa aku berani mengambil langkah gila ini. Kesatria abad 21 yang pernah menemaniku. Hati ini masih berdesir. Mata ini tak pernah lelah menatap semua geraknya. Ujung mataku pun tak berhenti mengawasi semua fisiknya. Tangan ini masih mengalirkan listrik yang seketika mengalirkan hawa hangat lewat jabatannya. Dan jantung ini masih mendetakkan seluruh asmanya. Apakah kau merasakan hal yang sama kesatriaku?

Aku ingin menjadi jalanan. Setia dengan sinar lampu jalan yang temaram namun cukup menerangi sisi gelapnya. Tak berharap kembali membantu orang-orang terhubung dengan segala jaringan kehidupannya. Setia berpadu dengan jutaan bahkan miliaran putaran roda-roda laju waktu yang menggilas keadaanmu. Terlentang terbentang dengan pasrah. Walaupun mungkin lelah terjaga sepanjang waktu. Tak pernah berpikir untuk meringkuk karena dengan itu akan banyak murka di atasmu.

Barangkali ini cinta. Sesakit inikah mencintaimu. Lepaskan aku bila memang kau memilih dirinya atau segala kenangan busukmu. Aku tak ingin menjadi benalu dalam hidupmu. Biarkan ku cari jalanku sendiri. Ikhlaskan aku untuk bisa merasakan cinta-cinta yang lain. Titah aku atau mungkin seret aku untuk pergi dari duniamu. Bantu aku untuk bisa menjemput cinta yang baru. Cinta yang mengenalkan padaku lagi tentang rasa kecewa, bahagia, tangis, bahkan tawa. Aku lelah mengharapmu. Tak kulihat lagi cinta yang dulu pernah kita puja bersama. Terlalu sakit untuk aku rasakan sendiri. Terlalu berat bila cinta ini kubawa sendiri. Larungkan aku kelaut. Seperti aku melarungkan perahu kertasku. Antar aku pulang. Bawa aku kembali ke pangkuan Neptunus. Sampaikan dengan pesan untuk temui aku dengan cinta yang bisa membuatku hidup. Bukan cintamu yang membuatku mati. Jika kau baca laman ini aku harap lupakan aku, temukan aku dengan cinta baru. Temui aku dengan memaafkan. Ajarkan aku bagaimana cara mengantarmu pada cinta yang kau mau. Beritahu aku jalan dimana kau bisa pergi keluar dari segala pengaruh diriku. Berikan aku alasan untuk tidak mencintaimu lagi. Bunuh aku dengan cinta ini jika memang itu yang membuatmu bahagia. Dan yang terakhir buatkan kita jalan yang berbeda. Aku ingin berjalan di jalanku! Dan kau bebas melakukan apapun di jalanmu! Di jalan kita masing-masing.

Kamis, 14 Maret 2013

Rehat

Nus, aku sangat lelah. Aku ingin istirahat. Meluruskan kakiku di atas butiran pasirmu. Menghela jutaan partikel nafas ke udara yang akhir-akhir ini aku sesak dengan udara disekitarku. Merasakan betapa lembutnya usapan angin lautmu. Aku ingin terlelap. Berharap ketika ku terjaga lagi semuanya menjadi hal baru. Aku lelah berlari, mencari, bahkan mencaci. Semua ini kulakukan melulu tentang cinta. Mengejar kupu-kupu yang harus berterbangan di dalam perutku. Hal ini melulu mengenai jatuh cinta. Sangat aku akui aku ingin merasakan hal itu. Beri aku kesempatan itu, nus. Sekali saja.

Sekarang rasanya aku ingin sendiri saja. Walau ku benci sendiri, namun rasanya sendiri membuatku nyaman kini. Tak terasa tergopoh-gopoh berlari kesana kemari mencari dan mencaci. Sendiri rasanya membuatku bisa bernafas. Lepas dari berbagai tuntutan-tuntutan yang ingin aku capai. Mungkin saja di tepi pantai yang sepi ini ada orang tersasar yang dikirim untuk menemaniku singgah. Sendiri membuatku aman. Sendiri juga menghilangkan lelahku. Meregangkan tubuhku. Tak perlu ku berlari mencari bayangan itu, tak perlu ku kesana kemari menggenggamnya supaya tak lepas. Aku ingin sendiri, beristirahat. Entah berapa lama.

Hanya Isyarat

Untuk kamu yang pernah ada. Tak usah kumiliki. Dengan kamu pernah ada saja sudah lebih dari cukup buatku. Sampai aku tahu namamu, bisa melihat wajahmu. Berkomunikasi denganmu. Sudah cukup. Setidaknya aku tidak hanya mengagumi punggungmu saja. Kau datang kemudian pergi saja sudah cukup. Aku sudah terbiasa dengan hal itu.

Senin, 04 Maret 2013

(Masih) harus berlari

Nus, aku sedang tak mengerti rasa yang sedang aku rasakan. Abu-abu. Semakin aku coba rasakan semakin sulit aku jelaskan dengan kata-kata, bahkan dengan semua bahasa yang ada di dunia ini tak mampu mendefinisikannya. Rasanya aku benar-benar semakin tak mengerti apa yang sebenarnya aku cari, dan semakin tak tahu apa yang sebenarnya telah hilang. Jalanku juga semakin belukar, nus. Semakin tak bisa kulihat ujungnya. Dengan parangku juga tak mampu membabat belukar ini sehingga jalan untuk menemukan sesuatu yang hilang itu tak bisa terbuka untukku. Semakin gelap ketika ku telusuri jalan belukar ini. Hanya kutemui orang-orang singgah saja di jalanku. Tak pernah ada yang menetap. Entah apalagi yang harus kulakukan, apakah harus menunggu? Wahai penilai hati, temukan hatiku. Genggamlah.

Nus, dengannya aku seperti belum menemukan hidup. Cintaku bukan disana. Radar Neptunusku pun tak mengirimkan peringatan bahwa itu adalah memang tempat dimana aku harus berlabuh. Apa kisah tentang kesatria itu masih menghantuiku? Karena memang lewatnya aku bisa mengenalmu, nus. Mungkin cuma dia yang memiliki dunia yang sama denganku. Ah, sudahlah. Waktu itu sudah berakhir. Harus sangat aku akui bahwa hidup itu berjalan maju. Hanya maju. Hidupku memang maju. Tetapi hatiku belum terselesaikan. Entah tugas mana lagi yang harus kutuntaskan. Entah hutang yang mana lagi yang harus aku lunasi. Aku tak bisa memilih, nus. Aku cuma bisa dipilih. Jika satu-satunya perahu kertas yang aku larungkan kepadamu telah kau baca, berikan aku jalan, nus. Aku sesak dengan sesuatu yang terasa belum terselesaikan ini. Menyandung jalanku untuk maju dari keadaan diam ini.

Hari ini

Nus, hari ini aku sedang menata hati. Pekerjaan yang sangat sering aku lakukan walau dengan rentang waktu yang sangat lama. Melarungkan kenangan memang tak mudah, tetapi aku tak mau terus terjerat gelapnya. Cukup kesatriaku saja yang terjerat kenangannya. Aku tak mau mati terhisap olehnya. Aku mau bebas. Lepas dari belenggu kesatria itu. Cerita usang itu sudah benar-benar usang untukku. Tak ingin lagi kuagungkan kisahnya. Walaupun kadang masih sering terputar di otakku dan membuat aku jatuh dalam bifurkasi (lagi). Tak mampu aku tekan tombol stop untuk menghentikannya.

Aku sedang menata hatiku kembali. Menyiapkan hati untuk siapa yang mau singgah di menara tuaku. Kubereskan semua sisa-sisa harapan yang masih ada. Akan kulelang pada siapa yang mau. Entah itu siapa. Dengan sinar matahari yang masih mengintip diufuk timurnya, ku mantapkan hati untuk melangkah pergi. Keluar dari rasa nyamanku. Aku siap. Aku datang, untuk harapan yang ada sekecil apapun itu. Bangun dari mati. Hidup kedua (lagi). Kesempatan yang mungkin tak didapat oleh kesatriaku. Merasakan hidup. Menikmati apa yang namanya bangkit berdiri. Merasakan betapa perihnya tertatih dengan sisa-sisa luka yang masih menggelitik hati. Aku siap, nus. Walaupun akhirnya aku tak tau masih harus berjalan atau harus kembali pulang. Hanya penilai hati itulah yang menentukan. Dengan ini sambutlah langkah kecilku.

Untuk Engkau

Wahai engkau yang tak tau dimana. Ajarkan aku jalan untuk bisa menemukanmu. Bentangkan jalan itu untuk bisa kulewati. Sibak semua belukar yang menusuk jantung. Menggelapkan awan. Antarkan juga kudamu agar bisa menjadi kendaraanku menuju dirimu. Menjadikannya teman perjalanan yang akan menceritakan siapa tuannya. Perantara untuk mengenal engkau yang tak pernah kuketahui. Beri aku petunjuk jalan untuk aku berjalan, berhenti, berjalan lagi hingga aku tau kapan aku harus singgah. Beri aku nafas untuk melengkapi nafas tersengal ini. Beri aku semua lentera yang kau punya untuk menerangi jalanku. Aku tak ingin tersesat menujumu. Jika aku sudah sampai di depan pintumu, jangan lepas dulu. Bersiaplah kau di daun pintumu, agar aku masih bisa menggunakan sisa nafasku untuk semakin yakin berjalan menujumu. Peluk aku. Tatih aku. Alirkan seluruh hangat tubuhmu ke dalam tubuhku. Izinkan aku terlelap. Rengkuh aku wahai engkau yang sekarang belum aku tahu siapa.

Wahai engkau yang fana. Jangan lupa siapkan pula kudamu kembali. Kalau engkau tak berkenan dengan keberadaanku nanti. Untuk mengantarku pulang. Kembali dari peraduan mahsyurmu. Dalam jalan pulangpun aku tak ingin tersesat. Tersesat membuatku mati. Antarkan aku ke bibir pantai terdekat. Agar bisa kularungkan perahu kertasku untuk membawaku pulang. Menghilang darimu. Jika kau tak sudi dan aku harap kau ingat itu.

“Engkaulah gulita yang memupuskan segala batasan dan alasan
Engkaulah penunjuk jalan menuju palung kekosongan dalam samudera terkelam
Engkaulah sayap tanpa tepi yang membentang menuju tempat tak bernama, tetapi terasa ada

Ajarkan aku Melebur dalam gelap tanpa harus lenyap 
Merengkuh rasa takut tanpa perlu surut 
Bangun dari ilusi, tetapi tak memilih pergi 
Tunggu aku 
Yang hanya selangkah dari bibir jurangmu.” 
(AKAR, Dee Lestari)

Nus,

Neptunus, selamat malam. Sudah lama aku tidak menyapamu. Aku mulai sibuk kuliah lagi, nus. Hal baru, mata kuliah baru, dan teman baru. Mungkin kisah baru. Aku rindu, nus. Aku rindu perasaan yang mampu menghadirkan kupu-kupu terbang di dalam perutku. Aku rindu pada rasa yang membuat hati terasa resah tiap saatnya. Aku rindu perasaan dimana aku tak tenang jauh dari telepon selulerku. Aku rindu perasaan bahwa ada satu pesan singkat yang harus aku jawab setiap menitnya. Ya aku ingin itu nus. Aku gak bisa bikin kata-kata indah sekarang nus. Aku juga gak tau kenapa. Pelabuhanku masih jauh ya nus? Sekalian aku mau tanya hal itu. Aku lelah. Pengen berlabuh. Pengen singgah. Sekedar duduk sambil merasakan sepoi-sepoi angin laut menghempas wajah. Menyentuh pasir dari dekat, yang biasanya hanya bisa aku lihat dari kejauhan aja. Pengen tidur. Capek lari. Lari mencari sesuatu yang sebenernya gak pernah hilang. Dan ada rasa dimana aku udah kehilangan sesuatu tanpa harus tau sebelumnya aku pernah menemukan apa. Singgah. Intinya.

“Dear Neptunus, tahukah kamu kenapa kali ini aku melarung perahu kertasku ke tengah laut? Aku ingin perahu kertasku berlabuh. Aku sangat ingin hatiku berlabuh. Kemanapun itu.” –Kugy, ditengah laut, Perahu Kertas 2.