Sabtu, 08 Juni 2013

IK(eluarga)SEDA. Panti Asuhan. Hidup

Malam ini dihiasi dengan rinai hujan yang seakan menghiasi hatiku dirundung kesyukuran yang tak terhingga mahalnya. Berkaca pada satu panorama indah dalam bumi ini. Yang mungkin sedikit terabaikan, yang sebenarnya bisa memberikan makna baru dalam hidup. Sedikit ingin mengkritik hati ini, dan mengkritik kau yang selalu kurang saja dalam hidupmu. Lihat adikku ini, ciptaan Tuhan yang lain. Bukan kau yang sedang sibuk dengan smartphonemu. Bukan kau yang berlomba-lomba untuk jadi yang nomor satu dalam pergaulanmu. Bukan kau yang selalu mendongak keatas merindukan bulan. Bertahan. Hanya itu yang adikku lakukan sekarang. Bertahan hidup dengan segala yang Tuhan berikan saat ini dengan segala yang kekurangan yang tidak kita miliki. Mereka tak pernah mengeluh, apalagi meminta seperti itu. Hanya bersyukur yang bisa mereka lakukan. Mereka tak pernah berharap menjadi yang utama, apalagi bernama. Mereka hanya butuh semangat. Hanya itu yang membuatnya bertahan hidup. Mereka memang tak sempurna secara fisik, tapi secara hati mereka sama denganku, denganmu, dengan kita.

Untuk adik di Panti. 
Dik, izinkan aku mengirimkan surat kecil ini untukmu. Entah bagaimana caranya kalian bisa membaca suratku. Aku hanya ingin bercerita sembari tak lupa mengadahkan tanganku pada pencipta kita. Tentang hidupku, apalagi hidupmu. Jangan pernah bersedih, dik. Hidupmu indah. Kadang hidup normal sepertiku tak menjamin bahagia di dunia ini. Tetap semangat. Tuhan punya cara lain dalam memberikan makna pada kita. Aku ingin berterima kasih padamu. Lewat hidup kalian, lewat cerita kalian aku bisa bersyukur dalam hidupmu. Lewat senyumanmu, aku bisa melihat bahwa kebahagiaan kecilmu masih ada. Aku percaya itu. Teruslah tersenyum dik. Teruslah bersinar mata itu. Teruslah ramaikan dunia ini dengan cekikikanmu. Hanya dengan itu aku semakin percaya bahwa kau masih bisa merasakan bahagia. Hidupmu bukan hina, melainkan makna. Satu makna yang sangat terpancar dari raut ronamu: bersyukur. 
Dik, kata penjagamu kau tak cacat secara perasaan, walau banyak keterbatasan fisik yang kau miliki. Izinkan aku berbagi denganmu. Biarkan hatiku berbicara dengan hatimu, bukan dengan mulut, mata, telinga. Dari hati ke hati. Sampaikan salamku untuk nama-nama ini yang sudah mengantarkan aku padamu. Hingga aku dapat satu pelajaran hidup yang sangat berharga. Sampaikan pada mereka kalau aku sangat mencintai mereka, selain keluargaku. Buatku mereka adalah rumah kedua. Mereka ajarkan aku tentang cara bersyukur dengan cara yang bijaksana, lewatmu. Perlahan dan tak disengaja. Aku dapat merasakan maknanya. Nama-nama ini yang mengajarkan aku pelajaran yang tak aku dapat di tempat lain, bahkan di sekolah sekalipun. 
Dik, lewat mereka juga aku belajar tentang teman, hidup, keluarga, dan rumah. Walau harus ku terpa hujan, ku lewati jalan penuh kubangan. Akan kulakukan untuk kembali pulang pada mereka. Bersama mereka hatiku kembali berdendang. Nafasku kini kembali berirama. Sampaikan pada mereka, bukan hanyalah sebuah tradisi. Bagiku mereka adalah keluarga. Bukan hanya kumpulan tanpa arti, tetapi satu yang berarti dan memberi arti. 
Untukmu Chika Annisa, Debby Dyah Septiorini, Riska Risdiani, Wilyanti Angelina, Yoan Agnes Mamangkey, Albi Pradhyatama, Usha Widya Rochmatika, Widya Tri Yusma, Dwi Ardini Pratiwi, Melati Salamatunnisa Oktaviani, Simon Josua, Windy Pujiatmiko, Geraldi Ramadhan, Hernanda Prasetia.

Dariku, Setiyo Prutanto. 
(Malam temaram yang baru diguyur hujan di Panti Sosial & Wisma Tuna Ganda Muslimin, Palsigunung)

Senin, 03 Juni 2013

Pujangga cinta tak bernama

Jika malam dirundung muram, carilah pujangga untuk melepaskan dahagamu pada satu cinta tak berdermaga. Cinta tak berdermaga yang membuatmu lambung di atas kapalmu, hingga pusaran angin menerjang tanpa ampun ditengah pekat biru. Turunkan jangkar emas kapalmu. Temukan dia, biarkan dia menyanyikan sebaris nada yang akan menghilangkan dahagamu pada cinta tak berdermaga. Menghilangkan tanyamu pada seribu tanda tanya yang menggerogoti tawamu. Cinta yang tak berdermaga, tak bernama, namun terasa ada.

Ceritakan pula padanya, betapa sakit cinta tak bernama ini. Seketika pujangga itu akan merubah dirinya menjadi tabib. Melantunkan syair-syair mantra yang mampu menghilangkan perihmu. Mendongengkanmu dengan berbagai cerita indah khas negeri dongeng yang selalu berakhir bahagia. Pujanggamu akan memberikan celah agar kau lupa akan sakitmu. Seperti antibiotik. Hanya meredam, bukan menyembuhkan. Menyejukkan perihmu, menghisap seluruh lelahmu dalam mencari cinta tak bernama ini. Temukan dia, kurung dia dalam sangkar emas yang kau punya. Jadikan dia penawar racunmu. Jika sesekali kau jatuh atau lelah mengarungi lautan untuk cinta tak bernama itu. Tanyakan semuanya padanya, berikan semua barisan kata-katamu padanya. Dia tak akan pernah lelah mendengarmu. Selalu mendendangkan nada dengan gitar manisnya untuk menemani perihmu. Menjagamu dalam setiap lelahmu.

Namun jangan tanyakan padanya kepada siapa cinta tak bernama ini menjadi bernama. Jangan tanyakan padanya dimana dermaga tempat kau akan melabuhkan cintamu. Dia takkan pernah bisa menjawab. Pujanggamu bukan Tuhan. Tuhan saja belum mau menjawab keluh kesahmu. Pujanggamu tak lebih hebat dari-Nya. Jika kau lelah istirahatlah. Keluhkan semuanya pada pujanggamu. Tapi jangan mohon untuk menjawab pertanyaan itu. Kau akan membuatnya mati, terkikis oleh cerita sedihmu mencari cinta tak bernama itu. Hingga kau tak punya tempat lagi untuk kau beristirahat, menghibur laramu dengannya. Wahai kau, berjelagalah dalam peluk pujanggamu. Peluk malam ini dengan segala kekosonganmu. Buka pintu hatimu pada setiap nama yang menjanjikan cintamu menjadi bernama. Jika kemudian ada lelah menghinggapi daun pintu hatimu, tutuplah. Berdoa semoga masih ada yang sudi menyambangi pintumu.

Untuk cinta yang tak bernama.

Jengah

Aku jengah. Begah. Tempat mahsyurku kini terusik, tak senyaman dulu. Aku ingin hingar. Bersama ombak yang menggelegar. Di depan gerbang kerjaan Neptunus. Melepaskan segala kepenatan ini. Bising kota ini sudah tidak mampu lagi membunuh jengahku. Malah membuatnya semakin melankoli dalam waktu aku mengarunginya. Menjadi tak berdaya di tengah berbagai nada-nada megah pada setiap sudut kotaku. Aku ingin selangkah lebih maju. Tak mampu lagi ku melewati fase ini. Berat.