Minggu, 28 Desember 2014

Bahasa Alam

Aku mendengar bahasa alam dimana-mana. Aku tahu alam berbahasa dengan indahnya. Satu-satunya bahasa titah tangan Tuhan yang paling indah dan merdu dibandingkan dengan bahasa belahan dunia manapun. Hanya ada satu cara menerjermahkan dan memahami bahasa itu, hanya perlu percaya dan menerima.

Pada saat ini telah banyak aku rasakan bahasa alam itu, bahasa yang mengisyaratkan bahwa tempatku bukan di sini. Di sini hanya menjadikanku makhluk dungu yang hanya bisa diam ketika ditusuk hidungnya dan dicambuk pantatnya. Menjalani hidup tetapi seperti mati. Di sini tidak menjadikanku merdeka, berdaya, apalagi bermakna. Aku ingin bernafas, ingin hidup dengan lincah sebisa apapun yang aku mau. Tempat ini memang indah hanya saja kurang tepat untuk aku. Bukan aku yang selama ini aku kenal jika sudah masuk tempat ini. Aku hanya bisa menjerit lewat kertas dan pensil. Tak mampu aku teriakan semua yang aku rasa lewat bahasa. Aku tidak nyaman.

Entah apa yang aku cari, ku tunggu, dan aku harap di sini. Bahasa alam ini seakan memerintahkan aku untuk beranjak dari tempat ini. Mencari sarang lain yang lebih indah, lebih membuatmu menjadi merdeka. Namun hal yang aku tahu mencari tempat lain itu tidak mudah. Aku harus kembali melewati rentetan jalan panjang dan melelahkan, dibutuhkan beberapa tetes keringat dan beberapa untaian tenaga untuk mendapatkannya, belum lagi harus dibumbui rasa kecewa jika tempat tersebut direbut oleh sesama pencari suaka. Belum lagi bahasa alam yang lain yang memerintahkan aku untuk tetap di sini demi satu pasang senyum indah yang seakan membiusku untuk lebih mementingkan senyum itu tetap berada di sana dibanding kebahagiaanku sendiri. Senyum dari orang tuaku. Sangat aku akui aku juga tidak akan pernah membunuh senyum itu dengan kotornya tanganku. Tapi satu hal yang harus mereka ketahui dan aku tak mampu mengutarakannya, aku ingin terbang.

Kini aku merasa seperti berada di tepi jurang yang aku buat sendiri. Entah mana yang harus aku pilih, terjun dan merasakan dinginnya dasar jurang itu? Atau tetap berada di tepi ini dengan hawa panasnya yang seakan membakar seluruh rasa dan aku tak mampu kemana-mana. Sehingga perlahan mati dalam kata dan nada, tapi bernafas namun tersengal di ulu hatimu. Kecuali jika aku mampu membuat keputusan besar dengan pikiran matang sehingga aku tidak membunuh sepasang senyum itu dan tidak membunuh jiwaku sendiri. Tuhan, berikan aku jalan itu.

16.12.2014 
Today I feel so tired. I just take a rest. I don’t know what I do, what I feel. Can I fall into your chest? I want to sleep. After that when I open my eyes I hope that all is gone. Gone likes air. I just tired for this situation. Sorry mom and dad, I can’t be strong. I can’t :(
(catatan kecil di buku tulis bersampul tempat yang sebenarnya aku inginkan)

Jumat, 10 Oktober 2014

Surat untuk Neptunus (lagi)

Dear Neptunus,
Hai, apa kabarmu di laut biru di sana? Pasti indah. Hanya ada birunya laut dan tarian-tarian hewan lautmu yang bersanding dengan arus halus dan gelombang laut. Setelah sekian lama aku ingin bercerita sesuatu padamu lewat surat elektronik yang aku simpan di nyawa keduaku ini, nus. Sekitarku sudah tak mampu lagi menampung segala gundah dan perasaan ini. Aku sadar mereka juga masih punya masalah mereka masing-masing. Tak ingin aku bebankan mereka dengan cerita cengengku ini. Aku harap kau mau membacanya.

Sebenarnya aku tak tahu harus memulai cerita ini dari bagian mana. Ceritanya hanya tentang keadaanku saat ini. Sebelumnya aku ingin menanyakan satu hal padamu, nus. Pernahkah kau merasa jadi satu tumpuan untuk seseorang atau sesuatu? Tetapi kau belum mampu untuk melakukan itu. Untuk pertanyaan itu aku yakin kau pernah. Rakyatmu di laut sana perlu kekuatanmu untuk mengatur laut agar tetap biru, mengatur semuanya agar gelombang tetap indah dan tidak merusak, mengatur tarian-tarian berjuta rakyatmu di laut sana. Aku belum bisa, nus. Aku belum bisa menjadi tumpuan kedua orang tuaku. Mereka sudah tua. Aku satu-satunya harapan mereka. Entah ini masalah finansial, spiritual, atau hal lainnya. Berikan aku sedikit kekuatanmu untuk melewati ini. Tuhan kadang seakan tak menjawab apa yang aku pinta. Aku selalu bercerita juga padanya pada sepertiga malam yang terakhir. Aku hanya ingin satu. Satu yang menjadikanku berguna. Ilmuku bermanfaat, membuatku bermanfaat juga untuk orang lain, terutama kedua orang tuaku. Aku tidak pernah mengharap tahta apalagi mahkota. Apa itu sulit?

Aku kini merasa seperti ada pada fase harapan kedua. Setelah harapan pertama sudah terkikis oleh gelombang semangat yang menggebu di awal. Namun belum aku lihat pencerahan dalam harapan kedua ini. Aku mencoba bangkit kembali pada fase ini, mengumpulkan pundi-pundi semangatku untuk melawan segala asap jalanan dan teriknya mentari untuk menjadi bermanfaat. Tak kudapatkan hasil di ujung perjalanan itu. Kadang aku ingin menangis, nus. Tapi aku tak tahu menangisi apa. Aku juga ingin menyalahkan siapa, akupun tak tahu. Aku bukan Tuhan, bukan tugasku juga untuk menentukan siapa yang salah dan benar. Seperti harapanku pada semua kotak-kotak hidupku. Aku hanya butuh jawaban. Untuk keduanya bertemu memang yang dibutuhkan hanya waktu.

Kini aku lelah, nus. Aku ingin sendiri di dalam kamarku. Aku kunci diriku untuk semuanya. Aku hanya ingin tertidur pulas. Kemudian ketika aku bangun nanti aku sudah lupa akan semua ini, berharap kekuatanmu sudah kau bagi padaku. Setelah aku lalui banyak jalan, harapan, bahkan hampir terkena pengkhianatan. Entah harus pada siapa lagi aku harus menggantungkan harapan ini. Bisakah aku hidup hanya dengan harapan? Memang yang aku punya hanya harapan, nus. Aku masih percaya kalau semua ada masanya. Mungkin ini hanya fase terberat untuk sampai pada masa itu. Sama seperti hukummu di laut, setelah ada badai pasti ada gelombang tenang dan birunya laut akan kembali indah. Di darat, setelah hujan deras akan ada pelangi, dan aku selalu percaya itu.

Salam hangat,
Agen Neptunus.

"Saya ingin bisa berhenti. Entah itu jawaban atau kesimpulan, tapi saya menanti sesuatu yang bisa membuat saya berhenti berlari. Berhenti mencari." -Zarah, PARTIKEL (Dewi Lestari).

Rabu, 24 September 2014

Depok, 23 September 2014, Malaikat Tanpa Sayap

Pernah melihat malaikat tanpa sayap yang menempel di punggungnya? Saya punya beberapa penawaran untuk membuktikan kalau malaikat tanpa sayap itu ada. Bukti ini nyata, tanpa rekayasa. Saya alami sendiri, saya rasakan sendiri uluran tangannya untuk jiwa saya.
1. Angky Ridayana
Perempuan ini berasal dari bagian tengah pulau Jawa. Jauh-jauh datang ke Depok untuk mengisi cawan kosong ilmunya di Universitas yang dengan bangga membawa nama negara kita tercinta ini, Indonesia. Datang dengan seribu harapan dan asa untuk masa depan yang lebih indah dari hari ini atau kemarin. Aksen ngapak yang selalu ia gunakan untuk memberi kami tawa, membuat kami terhibur. Punya mimpi yang tinggi, memacu juga saya untuk berani bermimpi.
2. Amalia Husna
Perempuan ini lahir di Jakarta. Menggunakan jilbab dalam kesehariannya. Alim, tetapi berfikiran terbuka. Bisa dikatakan kloningan saya. Beberapa sifatnya ada pada saya, mungkin karena alasan golongan darah kami yang sama, AB. Sosok perempuan islami masa kini, dengan pikiran global yang menjadikannya terlihat pintar dan tidak kolot seperti perempuan islami yang hanya mengharap imam datang untuk hidupnya, kemudian hidupnya aman. Tawanya yang selalu menenangkan kami kalau bahagia itu masih ada dan masih akan bisa kita rasakan esok dan seterusnya.
3. Berlindha Wimbardhani
Perempuan ini yang saya tahu tinggalnya di Tangerang, berasal dari keluarga Jawa, tepatnya Yogyakarta. Ditinggal sang ibu untuk ke surga, hanya mempunyai ayah. Lewatnya, ia meneruskan mimpi saya untuk menulis skripsi. Bangga bercampur bahagia melihat senyumnya yang sumringah ketika ia telah berhasil menyelesaikan skripsinya dan bisa bersanding dengan kami untuk Wisuda UI di Balairung. Perempuan ini memberikan arah untuk saya bisa kuat dalam menjalani hidup, mengejar cita, membuktikan pada dunia kalau kita bisa menaklukannya. Lewatnya pula yang mengajarkan saya bersyukur untuk saya selalu bersyukur masih mempunyai ibu.
4. Novia Rakha
Perempuan ini terlihat seperti orang asli Jakarta. Kebalikan Berlindha Wimbardani, ditinggal sang ayah untuk ke surga, hanya mempunyai ibu. Perempuan ini juga mengajarkan saya untuk bersyukur masih memiliki ayah. Sifatnya yang ceplas-ceplos, terbuka, periang menjadikannya saya cinta pada perempuan yang satu ini. Dia tidak suka basa-basi, semuanya ia bicarakan pada orang yang bersangkutan. Sifat ini yang membuat saya merasa aman berteman dengannya. Saya tahu salah saya dan bisa memperbaikinya. Jarang ditemui tipe ini pada masa kini. Periang, bahkan sayapun tak pernah melihat sedikitpun gundah dan duka di air mukanya. Walaupun saya tahu ada gemuruh di hatinya, ia tutup itu semua dengan senyumnya, semangatnya, tawanya. Saya dibuatnya terpukau dengan cerianya sekaligus mengajarkan saya bagaimana bahagia walau kenyataannya tak sama.
5. Retno Herny Rahayu
Perempuan ini berasal dari keluarga Jawa. Sifatnya agak sedikit moody. Suka dengan olahraga, lebih baik disuruh melakukan olahraga ekstrim dibanding masuk ke rumah hantu. Sangat penakut, tidak suka dibentak. Perempuan ini juga mengajarkan saya untuk bermimpi, berani bermimpi setinggi yang kita mau. Sangat cinta dengan negara-negara Eropa, khususnya Jerman dan Spanyol. Kalau itu bukan sebuah negara saya yakin dia sudah menaklukkannya dari kemarin. Pekerja keras, apapun pernah ia lakukan dalam linimasa pengalaman kerjanya. Tipikal orang yang memohon kalau waktu satu hari kalau bisa lebih dari 24 jam.
6. Usha Widya Rochmatika
Perempuan ini hampir sama seperti Angky Ridayana. Dia berasal dari Solo, jauh-jauh merantau ke Depok juga untuk menuntut ilmu. Sangat suka olahraga seperti Retno Herny Rahayu. Pembawaannya yang santai mengajarkan saya untuk selalu santai dalam menjalani hidup, jangan tergesa tetapi pasti. Lucky bastard nomor satu di jagat raya, keberuntungannya tidak diragukan lagi. Tempat saya berbagi cerita. Perempuan ini minim akan ekspresi. Sangat sederhana.

Itulah beberapa penawaran saya mengenai malaikat tanpa sayap yang saya tahu. Satu hal yang sama ada pada mereka semua adalah mereka mampu menerima saya apa adanya sebagai teman. Mereka tidak pernah menghakimi saya, menilai saya sebagai produk yang salah. Memberikan hadiah kecil yang sangat berarti ketika saya berulang tahun kemarin pada tanggal 23 September. Seperti keluarga kedua saya, di saat keluarga inti saya hanya memberikan ucapan selamat tanpa bingkisan apalagi lilin untuk ditiup dan memanjatkan doa.



Terima kasih untuk segalanya, selama ini. Barisan kata ini sebenarnya tidak cukup untuk mengungkapkan betapa sempurnanya kalian menjadi salah satu teman terdekat saya. Barisan kata ini juga tidak akan cukup menggambarkan apalagi menuliskan betapa banyak terima kasih untuk semua yang telah kalian berikan untuk saya. Kalian adalah keluarga kedua, bukan lagi sahabat. Akan saya tempuh banyak cara, akan saya lewati jutaan belokan jalan dengan berbagai medan dan halang rintang, akan saya keluarkan berapa banyak materi yang saya punya hanya untuk kembali pada kalian. Terima kasih telah menjadi teman saya, cinta saya, tawa saya, keringat saya, canda saya, tangis saya, semangat saya, semuanya.

Untukmu, 
Angky Ridayana, Amalia Husna, Berlindha Wimbardani, Novia Rakha, Retno Herny Rahayu, Usha Widya Rochmatika. Love! ♥
" 'Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
'Cause I give you all of me
And you give me all of you." (John Legend - All of Me)

Selasa, 12 Agustus 2014

Bagaimana mencintaimu?

Bagaimana aku menunggu kehadiranmu?
Tanyakan saja pada bulan yang menanti fajar atau pada fajar yang menanti malam untuk silih berganti menjaga hari.
Atau tanyakan saja pada bintang di malam hari yang selalu mengharapkan kedatangan sinar matahari untuk dipantulkan dan menjadikannya ada.
Seperti itulah aku menunggumu.

Bagaimana aku mencintaimu kemudian?
Tanyakan saja pada lebah yang menghisap nektar bunga setiap pagi. Nektar yang menjadikannya hidup atau membuahkan sesuatu yang baru, yang disebut madu yang manis.
Atau tanyakan pada bunga matahari yang selalu menghadap arah datangnya sang fajar hanya untuk meyakinkan bahwa sinar tersebut selalu datang untuk menemani hidupnya.
Seperti itulah aku mencintaimu.

Teruntukmu, rupawan yang tak ku ketahui siapa.
(ditulis pada hari Rabu senja, 6 Agustus 2014 setelah menulis perbaikan jurnal)

Selasa, 10 Juni 2014

?

Kata orang atau kitab kita diciptakan berpasang-pasangan. Adam dan Hawa. Kodrat adam jatuh cinta pada hawa dan sebaliknya seperti seharusnya pada semua diktat hukum yang ada di muka bumi ini. Bisa jelaskan pada saya pada sebuah cinta adam dengan adam lainnya? Atau hawa dengan hawa lainnya?

Jelaskan juga pada saya tentang mereka di belahan dunia lain yang menemukan pasangannya, bukan adam dengan hawa. Adam dengan adam, hawa dengan hawa. Apa mereka memang diciptakan untuk berpasangan seperti janji itu? Mereka juga ciptaan-Nya. Cinta itu juga ciptaan-Nya. Saya pun ciptaan-Nya. Bantu saya untuk menjawab semua pertanyaan yang sekilas bergumul dalam pikiran saya ketika melihat adam ciptaannya yang begitu menyilaukan dalam kilatan cahayanya berhadapan dengan wajahku.

Kalau memang jawabannya, iya. Saya juga mau. Saya tidak minta hal yang rumit, seperti cinta berukiran rumit. Saya minta yang sederhana. Seorang adam yang diciptakan untuk saya. Adam yang selalu ada di setiap saya membuka mata untuk menantang mentari. Seorang yang katanya adalah sepenggal tulang rusuk saya, saya mau datang darinya, bukan dari hawa. Saya hanya ingin satu, bukan seribu. Satu yang ada di belahan dunia ini, tak usah menyebrang ke belahan lainnya. Mau berbagi separuh hidupnya denganku. Hidupnya, sehatnya, dan sakitnya yang juga akan menjadi bagian dari saya. Satu yang siap menantang semua yang menghadang dengan kapalnya, saya yang akan jadi awaknya. Melawan semuanya. Adakah satu untuk saya?

Wahai kalian penilai hati dan hakim atas kaumnya sendiri, jika kau nilai ini sebagai pemberontakan dan penyalahan kodrat dari segala rentetan hukum yang ada silahkan tutup saja laman ini. Ini bukan permohonan, bukan pula provokasi ataupun persuasif terhadap kaum yang masih dianggap tabu di belahan dunia ini, tidak seperti di belahan dunia lain. Kaum ini justru dirayakan, dinilai dan dihargai seperti layaknya aku, kau, mereka, dan kalian yang sama-sama manusia. Ini hanya sebuah tulisan ungkapan pikiran yang bergumul pada otak seorang adam yang mencintai adam. Bukan untuk dihujat atau dikasihani tapi butuh dibantu untuk bisa menemukan jawaban atas pertanyaan tanpa ujung.

Minggu, 08 Juni 2014

Sekarat

Ruangku kini luas, tapi aku merasa tak leluasa. Hatiku sepi, otakku beku. Berbagai kata kini hanya terbelenggu dalam imajiku saja, tak bergairah untuk meronta seperti dulu. Sudah lama tak ku kunjungi rumahku yang satu ini, karena memang aku tak tau harus membawa buah tangan apa jika ingin mampir ke sini. Rumahku ini bukan persinggahan saja, tak mau aku hanya sekadar mampir disini.

Aku sekarat. Kata-kata yang dulu bergemuruh, kini seakan mampet. Tak mau mengalir keluar seperti air. Aku tak bisa bernafas dengan kata-kataku sendiri. Aku tak merasakan nafas selain udara. Ada bagian rongga paru-paruku yang sesak tanpa udara lain yang kusebut kata itu. Aku kini hanya seperti manusia biasa. Manusia yang bisa bernafas, makan, tidur, dan bermimpi. Aku berada dalam dimensi nyaman diriku sendiri. Aku bungkam, tak mampu berteriak lantang. Hanya mengamati dan merasakan tanpa bisa menuliskan. Semua rasa seakan beku di otak dan di ulu hatiku. Rasa yang tak mampu menjadi cair mengalir menjadi kata-kata yang indah sekaligus lezat untuk makanan rumah ini. Bukan aku saja yang sekarat, rumah ini usang tanpa semua perasaan yang meluap menjadi kata-kata itu.

Rumah ini juga sekarat. Aku tak memberinya makan rutin seperti kurun waktu itu. Aku takut tempat ini menjadi ganas, mencari makanan di tempat lain. Rumahku bisa saja berubah menjadi monster karena tak ku beri rasa. Semua rasa yang bisa membuatnya sedikit jinak. Cukup makanannya saja yang penuh dengan rasa. Seakan ingin kututup saja rumah ini dengan kain putih. Aku bingung bagaimana cara berbagi lagi. Izinkan aku untuk menjadi bungkam sebentar saja, biarkan aku hanya memahami rasa yang setiap hari aku rasakan, tanpa harus aku bagikan.

Aku ingin tidur. Melepas semua piranti hati. Menyibak semua nyeri, mencucinya dengan tawa hingga luka dan perih itu akan dimulai dari awal lagi. Sejenak beristirahat dari semua perasaan yang mendera. Ingin menjadi tuna cinta, tuna rasa, dan tuna peka.
Aku ingin tuli. Tak mau aku dengar semua tawa, tangis, canda, dan segala suara baik yang bergermuruh, berbisik, berteriak, atau bahkan terisak. Beristirahat untuk tidak mendengar semua pernyataan, gombalan cinta, pengkhianatan, cibiran, penilaian orang lain.
Aku ingin buta. Aku tak mampu lagi melihat semua sekelilingku penuh dengan sandiwara bahagia, haru, sedih, marah, maupun terluka. Aku sudah muak melihat semuanya, tanpa aku bisa merasakannya. Aku hanya bisa menjadi penonton setianya.
Izinkan aku beristirahat sejenak dari semua hiruk pikuk itu. Menutup aku hanya untuk aku saja. Menghentikan waktu untuk tetap berada di masa ini. sehingga aku tak perlu menggunakan jatah waktuku untuk istirahat ini. Harapanku, ketika aku bangun dari tidur ini ada sesuatu yang bisa aku bagi, ada sesuatu yang bisa aku hirup selain udara. Entah apa itu.

Senin, 14 April 2014

Ruang

Manusia terkadang lupa bahwa setiap orang memiliki ruang pribadi yang sangat sakral untuk dimasuki oleh siapapun, termasuk keluarganya. Ruang dimana orang tersebut bisa menjadi apapun yang sesuai dengan kehendak hatinya. Ruang yang memberikan segala tempat dunia dimana orang tersebut merasa nyaman dari dunia luar dan mahkluk lain. Ruang yang ketika orang tersebut berada di dalamnya tak boleh ada satupun yang mengganggunya. Ruang bagi siapapun pemiliknya mampu berbuat apapun, senyaman mungkin yang mereka inginkan. Ruang yang esa, hanya orang tersebut saja yang menjadi puannya.

Sebagai pasangan, kita seringkali juga egois. Tanpa sadar kita sering ingin memiliki ruang tersebut. Padahal kita sudah mampu memiliki hatinya, raganya, bahkan jalan hidupnya. Itu semua sangat kurang bila kadang kita berfikir bisa memiliki ruang tersebut. Tak sedikit pasangan yang sering mengakhiri hubungannya karena ruang satu ini. Dimana semuanya tidak bisa mengalahkan ego untuk saling memiliki. Berjuang untuk memiliki yang sebenarnya sangat tidak mungkin dan mustahil untuk dimiliki. Jalan peranglah sebagai salah satu jalan untuk mendapatkannya. Seperti perang yang sesungguhnya, perang ini pun seringkali tidak berbuah manis, apalagi tahta. Mungkin yang ada hanya petaka, bencana, dan tangis.

Ruang ini yang sekarang saya coba mengerti keberadaannya. Ruang yang sedang saya perjuangkan untuk saya mengerti isinya, saya cerna keadaannya. Sehingga saya bisa mengertinya, bukan hanya soal puannya saja. Mungkin bisa menjadi satu jalan untuk saya siap menjalankan apa yang namanya sebuah hubungan. Jalan yang membuat saya merasa lega bernafas, bergerak, menari bahkan menjadi raja dalam hubungan saya sendiri nantinya.

Selasa, 25 Februari 2014

Seorang Anak

Malam ini seketika hujan. Deras sekali. Saat aku lihat seorang anak manusia dengan tangannya sendiri dan dengan pilihannya sendiri mengubur dalam-dalam mimpinya. Mimpi yang menurut hati kecilnya adalah sebuah mimpi yang sangat ingin ia wujudkan. Dihiasi dengan gemuruh raja-raja petir di awan yang menambah semarak meriah gemuruh dalam hati anak itu.

Miris aku melihatnya. Sementara anak-anak di sisi lain masih berkeringat sibuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Ia malah asik sibuk dengan menguburnya dalam-dalam. Aku sangat tahu, dari wajah kecilnya ia bukan mengalah pada keadaan. Realita yang memaksanya untuk menelan pilihan pahit itu. Pilihan yang sekaligus menjadi pendewasaan sang anak. Ada kalanya semua tidak harus diperjuangkan, tetapi juga ada yang harus direlakan untuk pergi. Ada kala dimana kita harus mengubur dalam-dalam mimpi hanya untuk berhadapan dengan yang namanya realita. Jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah ikhlas. Pelajaran berharga untuk lebih mengerti hidup. Hidup yang bukan hanya ada pesta, namun diramaikan pula oleh bencana.

Seseorang bijak pernah berkata pada anak itu. Jalanmu bukan pada mimpimu ini. Masih ada banyak jalan lain yang belum kau ketahui dan menunggu untuk kau sibak belukarnya. Hidup bukan hanya bagaimana meraih mimpi, namun juga bagaimana melepas mimpi. Deretan kalimat klise yang mengantarkan sang anak pada gerbang penguburan mimpi sang anak malam ini. Ditambah lagi dengan alam yang seakan tak mendukungnya untuk tetap mewujudkan mimpi itu. Alam yang memberinya isyarat untuk ia berhenti sekarang, walau tak dipungkiri bahwa alam juga ikut merintih lewat hujannya menyaksikan drama penguburan ini.

Engkau yang membaca tulisan ini jangan pernah mengikuti jejak anak itu, anak yang dengan jari-jari kecilnya harus rela mengubur dalam-dalam mimpinya melainkan bukan mewujudkannya. Biarkan cukup anak itu saja yang merasakannya sendiri. Entah meradang dalam penyesalan atau malah semakin lega untuk bermimpi yang lain. Hanya waktu yang tahu nanti. Tunggu saja karena waktu tak pernah berdusta.

***
Untuk saat ini, sang anak mengerti apa yang pernah dikatakan oleh seorang bijak sebelum penguburan mimpinya. Apa mimpi sang anak itu? Sebenarnya sederhana saja. Sesederhana senja yang menguningkan bumi pada sore hari. Ia hanya ingin menulis. Menulis dengan berbagai macam patron, nilai, aturan, belenggu dan segala ornamen dan senjata yang menghiasinya. Menulis dengan pertanggungjawaban jiwa dengan penghakiman di akhir kalamnya. Menulis memang mimpi kecil sang anak yang sekarang harus ia kubur dalam-dalam. Mungkin memang bukan di kertas berjeruji itu ia menulis. Sang anak mengerti. Ia masih bisa menulis di sini, di laman elektronik yang tak punya penguasa ilmu. Ia bisa menulis semua yang ingin ia tulis, ia teriakkan, ia caci maki, dan ia hujat. Di sini tak ada penguasa ilmu yang bisa mengikatnya dan mencambuknya seperti pencari kata yang lain. Kata apapun bisa bermakna di sini. Menyerah saja pada alam yang memberinya makan, biar alam yang menghakiminya, bukan penguasa ilmu itu. Biarkan kata-kata ini pula yang menyeruak dan merobek siapa sebenarnya sang anak itu. Membongkar hingga sampai ulu hati, sampai pada perasaan sang anak. Menemukan bahwa sang anak yang aku amati dan aku lihat hingga hari ini adalah seorang yang amat ku kenal. Aku.

Rabu, 12 Februari 2014

Mencari Tanda Tanya

Aku sepi. Sudah berulang kali aku berteriak sepi. Walau ku akui keadaanku sekarang sudah menjadi lebih ringan dengan tidak mengidam-idamkan para penguasa hati. Namun sesuatu mengusikku. Seperti bisikan dan kecamuk yang bergemuruh. Aku memang cinta sepi, tapi barangkali bukan seperti ini. Sepi yang membuatku lega yang aku cinta. Bukan sepi yang mencekam dan seakan membuat diri ini ingin meronta demi mengisi kekosongan itu.

Aku lelah. Aku sudah lelah mencari jawaban akan tanda tanyaku. Tanda tanya yang beranak tanya. Tanya yang tak berhenti pada satu jawaban. Satu jawaban yang malah membawaku pada satu tanda tanya lain, dan tanda tanya lainnya. Tak kutemukan jawaban final untuk tanda tanya itu.

Aku mencari. Mencari cinta di setiap ruang, tempat, segala seluk beluk dan penjuru kota ini. Tak kutemui ia dimanapun, aku hanya menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan itu namun semu. Bisa aku rasakan, aku cumbu, bahkan aku getarkan sampai seluruh penjuru kamar penjara ini tetapi tak bisa aku peluk, apalagi aku miliki. Bukan ini yang aku cari dan ingin aku temukan jawabannya. Meski aku harus mengakui akupun menikmati kebahagiaan semu ini. Apakah ini yang harus aku nikmati sampai jenuh itu datang? Sampai jenuh itu yang kemudian memaksaku untuk kembali mencari jawaban atas tanda tanya yang beranak tanya.

Aku ingin bukan cinta yang berukiran rumit. Bukan cinta yang beratapkan langit. Aku ingin cinta seperti parit. Sempit namun pasti menuju muara. Laut adalah tujuannya. Masih adakah cinta seperti itu saat ini? Mari dekatkan pada wajahku, biar aku bakar dengan segala gejolak cinta ini. Sebelum terlambat dan jika masih ada.

Rabu, 22 Januari 2014

Kawan

Hai kawan, sepertinya rundungan awan kelabu tak menyurutkan sedikit pun senyum di bibirmu. Hujan rintik yang syahdu pun tak mampu meluluhkan semarak di hatimu. Bahkan jingga itu tetap menyala meski kenyataan memaksanya untuk menjadi padam. Masih aku ingat tawa renyahmu ketika kau menyambutku di daun pintu rumahmu.

Kau memang memberikan pelajaran tentang seorang anak pada orang tua, terutama ayah. Kau balas air tuba dulu itu dengan air susu. Kasih sayang yang tak terhingga untuk ayah tercintamu membelalakkan mata bahwa pada zaman ini malaikat dengan sayap dan tangan suci mungilnya itu masih ada. Kau hadirkan selalu tawa canda untuknya. Menemani setia pada setiap pintanya.

Kawan, kau bukan hanya pelita untuknya. Kau juga menjadi nafas yang ia hirup kini. Bahkan kau juga kakinya. Menjadi yang kuat untuk menopang semua bebannya. Kau ini perempuan, tapi hatimu sekuat baja. Aku saja yang laki-laki tak mampu untuk itu. Aku selalu mengagumi senyum yang kau tarik pada setiap ujung bibirmu yang membuat orang di luar tak menyadari lukamu. Ayahmu harus bangga punya anak sepertimu.

Kawan, teruslah tersenyum. Jadilah yang terkuat untuk ayahmu. Hanya kobaran semangat yang ada dalam ragamu yang mampu membuatnya bertahan, atau bahkan membuatnya lebih baik dari sekarang. Aku yakin itu. Cintamu untuknya yang seakan menguatkan sendi, urat, otot, dan nadi dan berusaha tetap berkerja untuk hidup. Jika kau lelah nanti, ada kami disini teman-temanmu yang akan menjadi kuat untukmu.

Untuk Novia Rakha.

Selamat Tahun Baru 2014

Hai, semua penghuni laman elektronikku tercinta. Maaf aku lupa mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014. Aku terlalu sibuk dengan kehidupan nyataku. Sedikit luput dari ingatanku bahwa aku punya nyawa lain di tempat ini yang lupa aku beri makan. Kalian pasti merindukan tulisanku kan? Tenang santapan nikmat berbanjiran kata-kata akan masih tetap jadi makanan setia kalian. Aku masih akan tetap menulis. Menulis juga menjadi nafasku untuk meneruskan hidup. Mengutarakan apa yang tak bisa ku lisankan di dunia nyata. Tertawa, menangis, bahagia yang tak bisa kubagikan pada alam sekitarku. Dan di tempat inilah, bersama kalian menjadi jawaban tempat akan semua keluh kesah itu.

Satu lagi, doakan aku ya. Aku ingin menulis lebih banyak. Tangan yang berkejaran diatas keyboard laptop lebih lama, otak yang berfikir lebih keras, mata yang membaca lebih banyak. Aku ingin mengerjakan skripsi untuk tugas akhir kuliahku. Doakan selesai tengah tahun ini ya.

Selamat Tahun Baru 2014 untuk Neptunus, Kesatria, Putri Menara, Adamku, dan semua nama yang pernah menghuni laman ini yang tak cukup bila aku sebutkan satu-persatu. 

Selamat Tahun Baru 2014 juga untuk semua teman dunia nyataku, IKSEDA, NLX yang juga sempat menghuni laman ini