Selasa, 10 Juni 2014

?

Kata orang atau kitab kita diciptakan berpasang-pasangan. Adam dan Hawa. Kodrat adam jatuh cinta pada hawa dan sebaliknya seperti seharusnya pada semua diktat hukum yang ada di muka bumi ini. Bisa jelaskan pada saya pada sebuah cinta adam dengan adam lainnya? Atau hawa dengan hawa lainnya?

Jelaskan juga pada saya tentang mereka di belahan dunia lain yang menemukan pasangannya, bukan adam dengan hawa. Adam dengan adam, hawa dengan hawa. Apa mereka memang diciptakan untuk berpasangan seperti janji itu? Mereka juga ciptaan-Nya. Cinta itu juga ciptaan-Nya. Saya pun ciptaan-Nya. Bantu saya untuk menjawab semua pertanyaan yang sekilas bergumul dalam pikiran saya ketika melihat adam ciptaannya yang begitu menyilaukan dalam kilatan cahayanya berhadapan dengan wajahku.

Kalau memang jawabannya, iya. Saya juga mau. Saya tidak minta hal yang rumit, seperti cinta berukiran rumit. Saya minta yang sederhana. Seorang adam yang diciptakan untuk saya. Adam yang selalu ada di setiap saya membuka mata untuk menantang mentari. Seorang yang katanya adalah sepenggal tulang rusuk saya, saya mau datang darinya, bukan dari hawa. Saya hanya ingin satu, bukan seribu. Satu yang ada di belahan dunia ini, tak usah menyebrang ke belahan lainnya. Mau berbagi separuh hidupnya denganku. Hidupnya, sehatnya, dan sakitnya yang juga akan menjadi bagian dari saya. Satu yang siap menantang semua yang menghadang dengan kapalnya, saya yang akan jadi awaknya. Melawan semuanya. Adakah satu untuk saya?

Wahai kalian penilai hati dan hakim atas kaumnya sendiri, jika kau nilai ini sebagai pemberontakan dan penyalahan kodrat dari segala rentetan hukum yang ada silahkan tutup saja laman ini. Ini bukan permohonan, bukan pula provokasi ataupun persuasif terhadap kaum yang masih dianggap tabu di belahan dunia ini, tidak seperti di belahan dunia lain. Kaum ini justru dirayakan, dinilai dan dihargai seperti layaknya aku, kau, mereka, dan kalian yang sama-sama manusia. Ini hanya sebuah tulisan ungkapan pikiran yang bergumul pada otak seorang adam yang mencintai adam. Bukan untuk dihujat atau dikasihani tapi butuh dibantu untuk bisa menemukan jawaban atas pertanyaan tanpa ujung.

Minggu, 08 Juni 2014

Sekarat

Ruangku kini luas, tapi aku merasa tak leluasa. Hatiku sepi, otakku beku. Berbagai kata kini hanya terbelenggu dalam imajiku saja, tak bergairah untuk meronta seperti dulu. Sudah lama tak ku kunjungi rumahku yang satu ini, karena memang aku tak tau harus membawa buah tangan apa jika ingin mampir ke sini. Rumahku ini bukan persinggahan saja, tak mau aku hanya sekadar mampir disini.

Aku sekarat. Kata-kata yang dulu bergemuruh, kini seakan mampet. Tak mau mengalir keluar seperti air. Aku tak bisa bernafas dengan kata-kataku sendiri. Aku tak merasakan nafas selain udara. Ada bagian rongga paru-paruku yang sesak tanpa udara lain yang kusebut kata itu. Aku kini hanya seperti manusia biasa. Manusia yang bisa bernafas, makan, tidur, dan bermimpi. Aku berada dalam dimensi nyaman diriku sendiri. Aku bungkam, tak mampu berteriak lantang. Hanya mengamati dan merasakan tanpa bisa menuliskan. Semua rasa seakan beku di otak dan di ulu hatiku. Rasa yang tak mampu menjadi cair mengalir menjadi kata-kata yang indah sekaligus lezat untuk makanan rumah ini. Bukan aku saja yang sekarat, rumah ini usang tanpa semua perasaan yang meluap menjadi kata-kata itu.

Rumah ini juga sekarat. Aku tak memberinya makan rutin seperti kurun waktu itu. Aku takut tempat ini menjadi ganas, mencari makanan di tempat lain. Rumahku bisa saja berubah menjadi monster karena tak ku beri rasa. Semua rasa yang bisa membuatnya sedikit jinak. Cukup makanannya saja yang penuh dengan rasa. Seakan ingin kututup saja rumah ini dengan kain putih. Aku bingung bagaimana cara berbagi lagi. Izinkan aku untuk menjadi bungkam sebentar saja, biarkan aku hanya memahami rasa yang setiap hari aku rasakan, tanpa harus aku bagikan.

Aku ingin tidur. Melepas semua piranti hati. Menyibak semua nyeri, mencucinya dengan tawa hingga luka dan perih itu akan dimulai dari awal lagi. Sejenak beristirahat dari semua perasaan yang mendera. Ingin menjadi tuna cinta, tuna rasa, dan tuna peka.
Aku ingin tuli. Tak mau aku dengar semua tawa, tangis, canda, dan segala suara baik yang bergermuruh, berbisik, berteriak, atau bahkan terisak. Beristirahat untuk tidak mendengar semua pernyataan, gombalan cinta, pengkhianatan, cibiran, penilaian orang lain.
Aku ingin buta. Aku tak mampu lagi melihat semua sekelilingku penuh dengan sandiwara bahagia, haru, sedih, marah, maupun terluka. Aku sudah muak melihat semuanya, tanpa aku bisa merasakannya. Aku hanya bisa menjadi penonton setianya.
Izinkan aku beristirahat sejenak dari semua hiruk pikuk itu. Menutup aku hanya untuk aku saja. Menghentikan waktu untuk tetap berada di masa ini. sehingga aku tak perlu menggunakan jatah waktuku untuk istirahat ini. Harapanku, ketika aku bangun dari tidur ini ada sesuatu yang bisa aku bagi, ada sesuatu yang bisa aku hirup selain udara. Entah apa itu.