Selasa, 25 Februari 2014

Seorang Anak

Malam ini seketika hujan. Deras sekali. Saat aku lihat seorang anak manusia dengan tangannya sendiri dan dengan pilihannya sendiri mengubur dalam-dalam mimpinya. Mimpi yang menurut hati kecilnya adalah sebuah mimpi yang sangat ingin ia wujudkan. Dihiasi dengan gemuruh raja-raja petir di awan yang menambah semarak meriah gemuruh dalam hati anak itu.

Miris aku melihatnya. Sementara anak-anak di sisi lain masih berkeringat sibuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Ia malah asik sibuk dengan menguburnya dalam-dalam. Aku sangat tahu, dari wajah kecilnya ia bukan mengalah pada keadaan. Realita yang memaksanya untuk menelan pilihan pahit itu. Pilihan yang sekaligus menjadi pendewasaan sang anak. Ada kalanya semua tidak harus diperjuangkan, tetapi juga ada yang harus direlakan untuk pergi. Ada kala dimana kita harus mengubur dalam-dalam mimpi hanya untuk berhadapan dengan yang namanya realita. Jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah ikhlas. Pelajaran berharga untuk lebih mengerti hidup. Hidup yang bukan hanya ada pesta, namun diramaikan pula oleh bencana.

Seseorang bijak pernah berkata pada anak itu. Jalanmu bukan pada mimpimu ini. Masih ada banyak jalan lain yang belum kau ketahui dan menunggu untuk kau sibak belukarnya. Hidup bukan hanya bagaimana meraih mimpi, namun juga bagaimana melepas mimpi. Deretan kalimat klise yang mengantarkan sang anak pada gerbang penguburan mimpi sang anak malam ini. Ditambah lagi dengan alam yang seakan tak mendukungnya untuk tetap mewujudkan mimpi itu. Alam yang memberinya isyarat untuk ia berhenti sekarang, walau tak dipungkiri bahwa alam juga ikut merintih lewat hujannya menyaksikan drama penguburan ini.

Engkau yang membaca tulisan ini jangan pernah mengikuti jejak anak itu, anak yang dengan jari-jari kecilnya harus rela mengubur dalam-dalam mimpinya melainkan bukan mewujudkannya. Biarkan cukup anak itu saja yang merasakannya sendiri. Entah meradang dalam penyesalan atau malah semakin lega untuk bermimpi yang lain. Hanya waktu yang tahu nanti. Tunggu saja karena waktu tak pernah berdusta.

***
Untuk saat ini, sang anak mengerti apa yang pernah dikatakan oleh seorang bijak sebelum penguburan mimpinya. Apa mimpi sang anak itu? Sebenarnya sederhana saja. Sesederhana senja yang menguningkan bumi pada sore hari. Ia hanya ingin menulis. Menulis dengan berbagai macam patron, nilai, aturan, belenggu dan segala ornamen dan senjata yang menghiasinya. Menulis dengan pertanggungjawaban jiwa dengan penghakiman di akhir kalamnya. Menulis memang mimpi kecil sang anak yang sekarang harus ia kubur dalam-dalam. Mungkin memang bukan di kertas berjeruji itu ia menulis. Sang anak mengerti. Ia masih bisa menulis di sini, di laman elektronik yang tak punya penguasa ilmu. Ia bisa menulis semua yang ingin ia tulis, ia teriakkan, ia caci maki, dan ia hujat. Di sini tak ada penguasa ilmu yang bisa mengikatnya dan mencambuknya seperti pencari kata yang lain. Kata apapun bisa bermakna di sini. Menyerah saja pada alam yang memberinya makan, biar alam yang menghakiminya, bukan penguasa ilmu itu. Biarkan kata-kata ini pula yang menyeruak dan merobek siapa sebenarnya sang anak itu. Membongkar hingga sampai ulu hati, sampai pada perasaan sang anak. Menemukan bahwa sang anak yang aku amati dan aku lihat hingga hari ini adalah seorang yang amat ku kenal. Aku.

Rabu, 12 Februari 2014

Mencari Tanda Tanya

Aku sepi. Sudah berulang kali aku berteriak sepi. Walau ku akui keadaanku sekarang sudah menjadi lebih ringan dengan tidak mengidam-idamkan para penguasa hati. Namun sesuatu mengusikku. Seperti bisikan dan kecamuk yang bergemuruh. Aku memang cinta sepi, tapi barangkali bukan seperti ini. Sepi yang membuatku lega yang aku cinta. Bukan sepi yang mencekam dan seakan membuat diri ini ingin meronta demi mengisi kekosongan itu.

Aku lelah. Aku sudah lelah mencari jawaban akan tanda tanyaku. Tanda tanya yang beranak tanya. Tanya yang tak berhenti pada satu jawaban. Satu jawaban yang malah membawaku pada satu tanda tanya lain, dan tanda tanya lainnya. Tak kutemukan jawaban final untuk tanda tanya itu.

Aku mencari. Mencari cinta di setiap ruang, tempat, segala seluk beluk dan penjuru kota ini. Tak kutemui ia dimanapun, aku hanya menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan itu namun semu. Bisa aku rasakan, aku cumbu, bahkan aku getarkan sampai seluruh penjuru kamar penjara ini tetapi tak bisa aku peluk, apalagi aku miliki. Bukan ini yang aku cari dan ingin aku temukan jawabannya. Meski aku harus mengakui akupun menikmati kebahagiaan semu ini. Apakah ini yang harus aku nikmati sampai jenuh itu datang? Sampai jenuh itu yang kemudian memaksaku untuk kembali mencari jawaban atas tanda tanya yang beranak tanya.

Aku ingin bukan cinta yang berukiran rumit. Bukan cinta yang beratapkan langit. Aku ingin cinta seperti parit. Sempit namun pasti menuju muara. Laut adalah tujuannya. Masih adakah cinta seperti itu saat ini? Mari dekatkan pada wajahku, biar aku bakar dengan segala gejolak cinta ini. Sebelum terlambat dan jika masih ada.