Jumat, 10 Oktober 2014

Surat untuk Neptunus (lagi)

Dear Neptunus,
Hai, apa kabarmu di laut biru di sana? Pasti indah. Hanya ada birunya laut dan tarian-tarian hewan lautmu yang bersanding dengan arus halus dan gelombang laut. Setelah sekian lama aku ingin bercerita sesuatu padamu lewat surat elektronik yang aku simpan di nyawa keduaku ini, nus. Sekitarku sudah tak mampu lagi menampung segala gundah dan perasaan ini. Aku sadar mereka juga masih punya masalah mereka masing-masing. Tak ingin aku bebankan mereka dengan cerita cengengku ini. Aku harap kau mau membacanya.

Sebenarnya aku tak tahu harus memulai cerita ini dari bagian mana. Ceritanya hanya tentang keadaanku saat ini. Sebelumnya aku ingin menanyakan satu hal padamu, nus. Pernahkah kau merasa jadi satu tumpuan untuk seseorang atau sesuatu? Tetapi kau belum mampu untuk melakukan itu. Untuk pertanyaan itu aku yakin kau pernah. Rakyatmu di laut sana perlu kekuatanmu untuk mengatur laut agar tetap biru, mengatur semuanya agar gelombang tetap indah dan tidak merusak, mengatur tarian-tarian berjuta rakyatmu di laut sana. Aku belum bisa, nus. Aku belum bisa menjadi tumpuan kedua orang tuaku. Mereka sudah tua. Aku satu-satunya harapan mereka. Entah ini masalah finansial, spiritual, atau hal lainnya. Berikan aku sedikit kekuatanmu untuk melewati ini. Tuhan kadang seakan tak menjawab apa yang aku pinta. Aku selalu bercerita juga padanya pada sepertiga malam yang terakhir. Aku hanya ingin satu. Satu yang menjadikanku berguna. Ilmuku bermanfaat, membuatku bermanfaat juga untuk orang lain, terutama kedua orang tuaku. Aku tidak pernah mengharap tahta apalagi mahkota. Apa itu sulit?

Aku kini merasa seperti ada pada fase harapan kedua. Setelah harapan pertama sudah terkikis oleh gelombang semangat yang menggebu di awal. Namun belum aku lihat pencerahan dalam harapan kedua ini. Aku mencoba bangkit kembali pada fase ini, mengumpulkan pundi-pundi semangatku untuk melawan segala asap jalanan dan teriknya mentari untuk menjadi bermanfaat. Tak kudapatkan hasil di ujung perjalanan itu. Kadang aku ingin menangis, nus. Tapi aku tak tahu menangisi apa. Aku juga ingin menyalahkan siapa, akupun tak tahu. Aku bukan Tuhan, bukan tugasku juga untuk menentukan siapa yang salah dan benar. Seperti harapanku pada semua kotak-kotak hidupku. Aku hanya butuh jawaban. Untuk keduanya bertemu memang yang dibutuhkan hanya waktu.

Kini aku lelah, nus. Aku ingin sendiri di dalam kamarku. Aku kunci diriku untuk semuanya. Aku hanya ingin tertidur pulas. Kemudian ketika aku bangun nanti aku sudah lupa akan semua ini, berharap kekuatanmu sudah kau bagi padaku. Setelah aku lalui banyak jalan, harapan, bahkan hampir terkena pengkhianatan. Entah harus pada siapa lagi aku harus menggantungkan harapan ini. Bisakah aku hidup hanya dengan harapan? Memang yang aku punya hanya harapan, nus. Aku masih percaya kalau semua ada masanya. Mungkin ini hanya fase terberat untuk sampai pada masa itu. Sama seperti hukummu di laut, setelah ada badai pasti ada gelombang tenang dan birunya laut akan kembali indah. Di darat, setelah hujan deras akan ada pelangi, dan aku selalu percaya itu.

Salam hangat,
Agen Neptunus.

"Saya ingin bisa berhenti. Entah itu jawaban atau kesimpulan, tapi saya menanti sesuatu yang bisa membuat saya berhenti berlari. Berhenti mencari." -Zarah, PARTIKEL (Dewi Lestari).