Selasa, 23 Juni 2015

Surat Kecil

Untukmu, SPC Group
Menjadi bagian dalam dirimu sebenarnya adalah mimpi terbesarku saat ini. Ku jadikan sebagai salah satu pencapaian kecil dalam hidup. Sampai saat ini masih belum bisa dijelaskan betapa bersoraknya hati bisa berada di sini. Sebenarnya tak pernah kuketahui apa yang akan ada di hadapanku nanti, apa yang akan aku hasilkan dengan tarian jemariku diatas papan kunci komputer, akan ada bentuk barisan kata-kata yang akan aku coretkan dalam bertumpuk-tumpuk kertas putih itu. Dengan kebulatan tekad dan segala tetes peluh keringat yang mengantarkan aku sampai di sini. Aku ingin belajar mengenalmu lebih jauh.

Aku jatuh cinta pada tempat ini, tempat yang selalu aku pandangi ketika melihat lambang emas cairnya ada di penjuru tepi jalan raya terik ibukota ini. Emas cair yang selalu menyilaukan mata, dibuat terpesona dengan tulisan berjumlah tujuh huruf kecil yang rendah hati dengan latar biru tua sebagai simbol kenyamanan. Dulunya aku hanya bisa melihatnya sambil tersenyum, lalu berkata dalam hati ‘Aku ingin menjadi bagiannya suatu saat nanti’. 

Ketika ada saatnya, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Aku ikuti setiap tahapnya dengan segala daya dan upaya. Kunantikan kabarnya dalam setiap tahapnya dengan setia bak menunggu sepucuk surat cinta atau sebaris kabar burung merpati dari seorang kekasih. Mengapa aku bilang seperti kabar dari seorang kekasih? Karena setelah mendapat kabar darinya aku akan tersenyum sendiri dan membayangkan apa yang akan aku dapatkan di kemudian hari nanti. Hariku akan diselimuti oleh awan biru nan cerah yang akan membuat berseri terus menerus walau senja datang mengantar malam siap menggantikan siang.

Hari itu tepat pada tanggal 13 April 2015. Sebuah panggilan di layar telepon genggamku yang menjadi jawab atas segala mimpi. Sebuah panggilan untuk awal jalan yang aku inginkan. Selain terik yang menghiasi hari itu, aku dapatkan jawaban atas mimpi siang terik kelas pinggir jalanku itu. Pada saat yang sama aku ambruk dalam peluk ibuku, tak henti air mata membanjiri kelopak mata. Kedua, kulakukan hal sama pada ayahku. Kuucapkan terima kasih yang sulit sekali aku hitung berapa banyaknya tenaga, keringat, tawa, dan tangis mereka mengantarkan aku sampai pada detik ini. Kuucapkan terima kasih atas segala detil perjuangan mereka untuk bisa menghadiahkan aku pendidikan yang cukup untuk bekalku memenangkan engkau. Segala perjuangan yang dalam seribu malam takkan cukup untuk menjabarkannya pada beberapa bundel kertas. Selanjutnya aku berterima kasih pada semesta, pada Tuhanku atas segala yang telah diberikan saat ini. Menjawab segala apa yang aku minta dalam doaku, dalam doa sepertiga malam yang terakhir.

Teruntukmu SPC Group, terima kasih telah menjadikanku bagian dalam dirimu. Dengan berbagai semarak dan meriahnya hati, aku siap untuk berkarya dalam setiap sendi-sendi kegiatanmu. Aku siap untuk menjadi satuan terkecil untukmu, untuk menjadi penjaja karyamu. Aku ingin menjadi sesuatu yang berarti dan memberi arti. Dengan segala pasi dan dedikasi, izinkan aku berbuat yang terbaik untukmu. Untuk hatiku, orangtuaku, bank ini, dan negeriku. Spirit memakmurkan negeri dengan sikap proaktif dan disiplin!

“Aku bagian terkecil darimu, izinkan aku menjadi sesuatu yang berarti dan memberi arti.” 

Dari satuan terkecil darimu.
Setiyo Prutanto

Minggu, 08 Februari 2015

Gerbang, Kau, dan Waktu



Pada saat ini kau antar aku pada satu gerbang dimana segalanya terasa ada. Gerbang dimana segalanya terasa percaya, indah, megah. Kau genggam tanganku dan kau giring aku dalam jurang yang aku buat sendiri. Kau antar aku melewati tangga menuju dasar jurang itu. Mengantarkan aku hingga aku ingin berteriak, menangis, bahkan tertawa hangat. Menjadikanku seketika tak mengerti apa arti air mata ini. Kau juga yang mengenalkan aku mencintai dengan megahnya, untuk pertama kalinya aku bisa menumpahkan luapan air mataku di depan seseorang yang kini esa di hatiku.

Kau kenalkan aku pada cinta yang dulu pernah mati. Menghidupkan ku kembali bagai kau meniupkan kembali roh dalam tubuhku yang selama ini tertutup kabut. Kau menghujaniku segala yang pernah hilang dulu. Rindu yang kini menhujani tubuhku dengan ributnya. Asmara kita yang meledak-ledak bagai letusan gunung berapi. Lavanya memanaskan tubuh kita. Membuat jurang kita menjadi bercahaya. Panas membara. Bukan jurang yang dasarnya dingin dan menyelimuti sampai sekarat.

Kau memerdekakan aku dengan cinta yang aku buat. Bukan menjadikan aku ada tapi terasa tak bermakna. Kau hidupkan kembali bagaimana indahnya mencintai dan dicintai. Aku merasakan bahagia tak terdera dan cinta yang merdeka. Kau bebaskan aku pada satu kebebasan cinta mutlak. Senyummu yang seakan meyakinkan aku kembali akan cinta. Senyum yang semakin menarikku untuk masuk lebih dalam merasakan hangatnya hingga aku tenggelam dalam gelap yang indah.

Waktu, dan lagi-lagi engkau yang berpihak atas segalanya. Aku ingin tetap berada di waktu ini, dan apabila memang kau harus tetap maju antar aku ke dimensi waktumu yang lain tapi aku tetap seperti ini, berada seperti ini dengannya. Aku sangat mencintainya. Tolong berpihaklah pada kami. Kalau bisa kau buat aku beku namun sekelilingku tetap berputar. Untuk saat ini aku rela beku jika memang ini semua menurutmu tidak akan sama pada detik waktu yang lain.

Minggu, 11 Januari 2015

Jurang dan Mencinta

Pada saat ini izinkan aku mempertanyakan beberapa hal yang sebenarnya sudah pernah aku tanyakan beberapa waktu yang lalu. Pertanyaan yang muncul dari sepotong lirik lagu yang mengusikku untuk membicarakannya pada halaman pribadiku ini.

How can I love when I am afraid to fall? ( Christina Perri – Thousand Years) 

Terjemahan harfiahnya kira-kira: Bagaimana aku bisa jatuh cinta di saat aku takut terjatuh? Bagaimana mencari jawabannya, sulit bukan? Jatuh cinta seperti kata seorang penulis kawakan yang saya idolakan, Dee Lestari adalah seperti menggali jurang kita sendiri. Jurang dingin yang dibangun dengan tangan kita sendiri. Jurang yang sangat dingin dasarnya, yang dapat membuat kau sekarat atau bahkan sampai mati. Lupa akan dunia yang sebegitu maha luasnya ini menjadi sendu karena satu cinta yang telah membunuh warna dalam hidupmu. Dan kau diibaratkan berdiri di tepinya, menunggu untuk limbung atau merdeka. Kedua pilihan itu ada esa ditangan orang yang kau cinta. Hanya dengan tangannyalah yang mampu menentukan apakah kau harus merasakan dinginnya dasar jurang itu atau malah merdeka dengan kobaran api asmara yang kalian berdua hasilkan. Tapi tenang itu bukan hasil akhirnya. Hasil akhirnya kembali lagi pada tangan si pembuat jurang itu, mau bangkit melawan dinginnya dasar jurang itu atau memeluk dingin itu hingga kelu atau hingga kau mati.

Jatuh cinta juga bisa diibaratkan seperti meruntuhkan dinding benteng yang kita buat selama ini. Seperti keadaanku sekarang, benteng yang aku telah bangun bertahun-tahun ini untuk membekukan diri dari cinta runtuh begitu saja oleh rayuan manis seseorang. Menjadikanku takut untuk mendekam merasakan dingin dan warna di mataku seketika hilang dan yang tinggal hanya abu-abu. Aku takut itu. Memberi satu-satunya hati yang sudah tak kuketahui lagi bentuknya di dunia nyata ini pada seseorang yang berjanji sudi menjaganya, tapi waktu bisa saja tidak demikian. Aku sudah nyaman dengan benteng yang aku bangun selama ini, menjadikan aku kesatria yang kuat dibalut baju besi namun lunak di dalamnya seperti daging kepiting. Saking kuatnya aku bisa membunuh siapapun yang akan berada di sisiku. Namun jika aku lemah, cinta bisa membunuhku seperti tikus got yang kepergok mencuri makanan di dapur dengan sentuhan hangat racunnya yang mematikanku perlahan. Kadang aku berfikir apakah aku harus jadi kesatria yang kuat atau lemah. Aku tidak bisa menjadi di antaranya.

I wonder if I ever cross your mind? For me it happens all the time. (Lady Antebellum – Need You Now) 

Pertanyaan kedua ini kira-kira terjemahan harfiahnya seperti ini: Aku bertanya-tanya apakah aku pernah terlintas di pikiranmu? Untukku itu terjadi setiap saat. Ketika jatuh cinta, aku selalu mempertanyakan hal ini. terlalu posesif kadang ketika aku memikirkan hal ini. Ini kecil tapi menusuk, seperti duri ikan yang tak sengaja tertelan dan mengganjal di tenggorokan. Sakit bukan rasanya? Untuk beberapa orang menanyakan hal ini sama saja seperti bunuh diri dan memenangkan orang yang kau sayang untuk merdeka di atas matimu. Tanyakan saja kembali pada diri kita sendiri apakah kita cukup berharga untuk diingat seseorang, terlebih orang itu adalah orang yang kita sayangi. Untukku memang ketika jatuh cinta otakku seperti disetel ulang untuk hanya memikirkan satu orang, engkau. Pikiran yang dapat membuatku terbuai dalam lamunan tak berujung. Membuatku mati dalam waktu dan beku untuk merasakan sekitarku yang tetap bergerak. Bagaimana mengatur ini supaya tetap berjalan dengan kehidupanku biasanya. Apa memang sudah takdirku untuk mencintai dengan sepenuh hati walau hatiku bentuknya pun mungkin sudah tak utuh lagi karena sudah di hancurkan sedikit demi sedikit oleh pengkhianatan.

Jika memang cinta yang menghidupkan itu masih ada dan jika ada cinta yang mampu mengajarkan aku bernafas sekaligus mencinta dengan baik, aku selalu meminta pada Tuhanku untuk mendekatkannya pada wajahku. Ajarkan aku untuk hidup untuk cinta bukan cinta untuk hidup. Dekatkan aku pada cinta yang digadang-gadang oleh semua pujangga memang indah adanya. Bukan indah seperti topeng yang menutup luka atau derita. Cinta di atas segalanya.

Sabtu, 10 Januari 2015

Aku, Kamu, Kita, Kalian, Mereka, Kami, Semuanya

Pada detik jarum jam yang menggelendotiku pada tempat yang gersang ini aku mengamati satu hal. Satu hal yang entah ini salahku, salahmu, salah kita, salah kalian, salah mereka, atau salah kami. Suatu fenomena yang membuat saya sangat terusik. Membuat saya gerah untuk mengutarakannya pasa seluruh jagat raya. Entah duniaku yang berbeda atau saya yang aneh. Pada tulisan ini saya tidak akan menceritakan fenomena itu dan menghakimi ini salah siapa. Aku hanya ingin memberitahu satu hal:
Aku, Kamu, Kita, Kalian, Mereka, Kami, Semuanya adalah pengamat. Pengamat yang mempunyai tujuan, entah itu baik atau buruk. Pengamat untuk satu sama lain, saling berefleksi satu sama lain. Aku akan melihat dirimu dalam diriku, diri kita dalam diri mereka, diri kalian dalam diri kami. Pengamat yang mempunyai cara masing-masing dalam mengamati suatu hal atau apapun di dunia ini. Tujuan akhirnya hanya dua: Membenci dan menerima. Jika kamu, kita, kalian, mereka, kami sudah mengambil peran untuk membenci, berarti tugasku hanya menerima. Sederhana bukan? Aku tidak pernah memaksa siapapun untuk menerima saya. Silahkan saja membenci. Setiap saya membuka mata pada saat bangun tidur bukan untuk menekan siapapun untuk menerima saya. Saya hanya hidup pada satu titian jalan yang menurut saya benar. Entah saya hidup di satu dunia yang kecil sempit, sedangkan kalian hidup di dunia yang indah dan megah atau justru kebalikannya. Yang saya tahu hanya satu, saya bebas menari-nari dan berjingkrakan di dalamnya. Ini adalah taman bermain saya, bukan neraka yang kalian bangun sendiri. Taman yang dibangun dengan ledakan kembang api yang berwarna-warni, bukan dengan tembok tua yang lusuh. Silahkan ambil peran dan rasakan dunia ini, terserah mau memberi arti atau membenci.

SEMUA ADALAH PENGAMAT. PENGAMAT UNTUK SATU SAMA LAIN, PUNYA CARANYA MASING-MASING, TUJUANNYA BAIK ATAU BURUK YANG PADA AKHIRNYA HANYA ADA MEMBENCI DAN MENERIMA TERGANTUNG PADA KEPENTINGAN MASING-MASING. (STYPRUTANTO)