Rabu, 06 Januari 2016

Mencintaimu Sekadarnya

“Jangan berlebihan. Kalau mencintai orang itu sekadarnya, kayak aku sayang sama kamu sesuai porsinya.” 
(dikirim melalui aplikasi Whatsapp, dari seorang yang bertahta kini di hatiku) 

Sore ini hujan sepertinya sedang menuangkan amarahnya pada bumi. Digempurnya bumi dengan butirannya yang sebesar biji jagung yang cukup perih jika terkena kulit muka. Selepas jam sibuk di kantor, aku sempatkan untuk mampir di warung kopi era abad 21 di salah satu pusat perbelanjaan yang mewabah seperti virus di kota ini. Warung kopi yang menjadi salah satu lambang bonafid kota ini. Tak jauh beda dengan warung kopi abad 19 dulu, hanya saja menu kopinya berasal dari seberang dengan menu camilan pisang goreng dengan berbagai macam variasi. Aku masih memilih tempat duduk favoritku, dekat jendela menyaksikan orang-orang itu menghamburkan uang mereka di balik kaca tempatku berada. Sambil menikmati kopiku, tak kusentuh sedikitpun smartphone tempat kita meneguk rindu itu, menikmati waktu menggerogoti kita, tempat ku menarikan jemariku untuk membalas jutaan pesanmu. Aku rela mengeluarkan uangku hanya untuk menikmati segelas kopiku saja, bukan untuk menikmati jaringan internet tanpa kabel yang sangat memuaskan di warung kopi ini.

Teringat aku pada sebuah kalimat yang kau tulis untukku. Bagaimana caraku untuk mencintaimu sekadarnya? Jika yang aku tahu hanya mencintai dengan setulus hati. Bagaimana aku tahu seberapa banyak porsi yang pantas dalam mencintaimu? Jika yang aku tahu mencintaimu seperti bebas mengambil berbagai macam makanan sampai perut meledak dalam restoran berlabel all you can eat. Jika saja mencintaimu seperti membuat masakan, akan aku tumpahkan semua garam yang aku punya untuk membuatmu menjadi berasa. Takkan cukup kata sekadarnya untuk menyatakan cintaku untukmu saat ini.

Dalam keresahan yang sama, keresahan yang membuatmu ingin teriak atau mungkin menangis. Aku merasakan hal yang sama. Tak kau ucapkan cerita itu dari bibirmu yang ingin aku cumbui setiap detiknya. Aku memang tidak pernah merasakan apa yang kau rasakan, jangan kira aku tak bisa merasakannya. Jika saja waktu dan ruang ini berpihak pada kita, aku ingin memelukmu erat dan membisikan di telingamu bahwa aku ada di sini untukmu, aku merasakannya. Jika kau ingin membasahi bahuku dengan airmatamu, lakukanlah. Aku milikmu sepenuhnya sekarang. Andai kau tahu itu semua. Semua yang tak mampu aku katakan karena matamu yang menahan ini semua dalam keresahan.

Di balik resahmu, ada aku yang juga memiliki keresahan lain. Aku tak cukup hati untuk menambah resahmu dengan resahku. Aku hanya ingin pelukmu, dekapmu, ciummu mendarat di keningku. Aku hanya ingin membagi resah ini denganmu, lewat dekapan yang seakan mengirimkan resahku menjadi terbagi denganmu. Biarkan dua resah yang melanda kita menjadi bahagia atau menjadi yang lain. Entah apa namanya.

Kuteguk kopiku untuk yang terakhir kali. Aku bergegas pergi dari warung kopi ini. Tak bisa aku merenungkan kalimatmu di tempat ini. Tak kutemukan jawaban atas makna kalimatmu. Ku lanjutkan lagi pencarian makna kalimat itu dalam perjalananku ke rumah. Di atas motor bebekku, masih merenungkan hal yang sama, memikirkan hal sedari tadi aku cari artinya. Ditemani daftar putar lagu dari smartphoneku yang sudah kusiapkan juga di warung kopi tadi. Memikirkan ini menjadi aku kembali berimajinasi. Imajinasi ini seharusnya tak akan dalam fikirku, tak ada korelasinya dengan apa yang ingin aku cari jawabnya. Imaji yang membawaku bagaimana kau pernah berbagi tawa dengannya, cerita yang pernah indah pada masanya. Dekapmu tempat ternyamanku yang mungkin pernah menjadi tempat ternyamannya juga dulu. Tak terasa mataku panas dibuatnya, bukan karena asap debu jalanan kota ini. Sekarang sudah malam, mungkin debu itu sudah terbawa angin yang malam ini memang cukup dingin setelah diguyur hujan. Aku menangis seperti anak kecil dengan membawa sepeda motorku seperti anak kecil pulang bermain yang telah dijahili temannya sewaktu bermain tadi sore.

Sampai aku dirumah, sampai cerita ini tumpah dalam komputer lipatku aku masih belum menemukan jawabnya. Jika ada cara membuat aku mengerti tentang kalimatmu, mari dekatkan pada wajahku.

Pada intinya, aku mencintaimu dengan setulus hati, bukan sekadarnya. Andai saja kau mengerti.