Selasa, 16 Agustus 2016

Kota Apel

Siang itu ketika ku bergegas meminta izin dengan atasanku untuk meninggalkan kantor setengah hari dan dua hari ke depan, ada kegembiraan yang hadir mengiringi langkah kakiku. Dengan semangat bagai matahari yang menyorot lantai 23 di sebuah gedung perkantoran di jantung ibukota ini, ada aku dengan semangat untuk menghampiri cintaku diujung jalan sana, di sebuah stasiun megah di ibukota ini. Sengaja aku mulai bergegas dari siang karena aku tak ingin terlewatkan momen ini walau hanya sedetik, walaupun jadwal keretaku akan berangkat beretepatan dengan rehatnya matahari membakar hari ini.

Setelah terbakar matahari di jalan, aku sampai di sebuah gedung tempat ular-ular besi itu menumpahkan muatannya atau memasukkan muatannya. Aku memilih menunggu di sudut ruang tunggu stasiun ini, sendiri. Melihat orang lalu lalang dengan semangat dan air muka bahagia mengunjungi pusat ibukota negara ini. Aku menemukan kebahagiaan lain, aku akan melewati tiga hari ke depan dengan seseorang yang istimewa. Seketika terputar semua yang telah dia lakukan untuk kebahagiaanku. Jungkir balik melakukan apapun untuk membahagiakanku. Orang yang tak pernah lelah meyakinkanku bahwa cintanya nyata, walau kadang selalu kuragukan jika ku bangun dari mimpi indah yang nyata ini.

Di kota kecil sejuk di Jawa Timur ini, di kota dimana apel berbuah segar aku menemukan satu rentang waktu dimana aku bisa puas melihat senyumnya, mengamati sorot matanya, bahkan menikmati peluknya. Dengan pemandangan Gunung Panderman yang hijau, aku bahagia bersamamu, aku jatuh cinta kembali kepadamu, entah untuk yang ke berapa kalinya. Ditengah alun-alun kota wisata Batu malam hari dan ramai akau merasakan bagaimana hangatnya tangan menggenggam tanganku dan hangatnya bibirmu mencium keningku. Pelukmu yang tiap malam mengantarkanku pada nyaman dan akhirnya kita terlelap melahap malam. Tak akan aku ceritakan detil bagaimana perjalanan ini memberikan bahagia yang tak terdera untukku. Tiga hari yang memberikan ku makna untuk selalu bahagia dan bersyukur memilikinya.

Kita harus kembali pulang, rentang waktu itu sudah kita simpan dalam potret-potret kita kemarin. Sudah kita simpan pula dalam memori kita. Memori-memori indah yang mengantarkan kita kembali pulang. Aku masih bisa melihat teduh wajahnya ketia ia terlelap. Wajah yang selelau berusaha keras jungkir balik untuk membuatku bahagia. Terima kasih yang bisa aku ucapkan, sembari berdoa semoga kita selalu bahagia bersama walau banyak tembok dan gunung yang menghalangi matahari terbit kita. Jangan pernah berkurang apalagi berhenti mencintaiku. Aku sayang padanya dan biarkan kenangan kota kecil Malang ini yang menjadi saksi bagaimana perjuanganmu untuk membahagiakanku sampai pada tahap sukses.

Malang, terima kasih untuk kesejukanmu menghiasi tiga hari kami. Kamu, terima kasih untuk segalanya. Dari aku yang cintaimu yang akan selalu cinta.

Canda

“Koh, minta angpaonya dong? Kan hari ini hari imlek”, seruku dengan nada antusias. “Kewajiban ngasih angpao itu cuma buat yang udah nikah aja. Aku kan masih single.” ,jawabnya dengan santai. “Trus gimana dong?”, tanyaku merajuk. “Ya udah tunggu aja aku kalau udah nikah. Hehe.” Hening

Malam ini yang masih dihiasi dengan rinai hujan sisa derasnya menjelang adzan maghrib tadi. Sebuah latar syahdu dimana kau menyajikan semua canda yang gembira, setidaknya untukmu. Candamu perih disini, membuatku kelu di ulu hati, tercekat seperti ingin mati.

Ada satu hal yang tak akan kau mengerti sampai kapanpun, tentang aku dan tentang perasaan ini. Sama halnya seperti ungkapan untuk mencintaimu sekadarnya. Semua tidak semudah itu. Hal yang tidak akan kau mengerti karena kau bukan aku. Memintamu mengerti tentang ini semua adalah tindakan jahat yang sama dengan meminta hidupku hanya untukku. Setidaknya kau mengerti resah ini, bukan untuk kau pahami.

Ada bayang yang sebenarnya aku lupakan sejenak, aku tutupi dengan kain hitam agar dia tidak menakutiku dan menggertakku dengan hingar bingarnya. Bayang dimana aku akan ada pada hari dimana tugas kita untuk menjalani kidung cinta ini sudah selesai. Berakhir atas nama takdir. Bukan karena ada yang menyakiti satu sama lain. Tugasku untuk ada di sampingmu memang sudah habis. Masaku untukmu cukup sampai di sini. Andai saja waktu berkata lain, ah sudahlah sama seperti candamu yang kelu untuk jadi candu.

Spasi

Sore ini dihiasi dengan rinai air langit. Kini rinainya hanya sebesar gerimis. Seorang mahasiswi muda masih terjebak pada sebuah halte bus. Menunggu bus yang akan mengantar ke sebuah stasiun kereta komuter ke arah Tanah Abang. Ia baru saja menelan berbagai ilmu di kelas tadi. Terlihat dari sisi-sisi wajahnya, ia adalah seorang yang terpelajar. Sekarang pukul 17.00 dan artinya di stasiun Sudirman ia akan kembali berperang dengan penumpang yang selesai mencari uang dalam sendi-sendi ekonomi kota ini. Ia senang melihat sosok mereka, apalagi dengan sosok berbadan tegap memakai kemeja kerja, celana bahan dan sepatu kerja yang mengkilap.

Ketika kereta tiba ia bergegas untuk mendapatkannya. Kereta ini belum sepadatnya rumornya kereta komuter yang sering didengar. Mahasiswi itu masih bisa mengamati bagaimana orang-orang di sini menghabiskan waktunya hingga stasiun tujuannya. Ketika kereta sampai di stasiun Sudirman, ada pemandangan lucu sebenarnya, apalagi ketika pintu otamatis itu terbuka akan ada beberapa orang berlarian seperti peserta Benteng Takeshi di era 90an. Ia melihat pemandangan lain saat itu. Ia melihat sosok yang selama ini sering berkutat dalam fikiran kosongnya. Sosok itu berbadan tegap dengan kemeja kerja, celana bahan dan sepatu mengkilapnya. Ia silau dibuatnya, bukan karena kilap sepatunya. Mungkin seperti ini gambaran Hawa ketika pertama kali melihat Adam. Siapa namanya?

Ada jarak antara ia dan idamannya. Jarak yang membuatnya bisa mengagumi dari sini tanpa ketahuan siapapun dalam kereta ini. Ia sadar kini mereka berbahasa. Ia berbahasa dengan bahasanya, dan rupawan itu dengan bahasanya. Seperti langit dan bumi, mereka terpisah untuk memberikan ruang untuk hidup. Sama seperti kata, mereka membutuhkan spasi agar indah dan bisa dibaca. Mereka terpisah tapi justru indah. Tapi mereka tak begitu.

Perempuan itu dalam jarak ini ingin seperti spasi dalam kata, memberi celah tapi tak memisah. Biarkan saja tetap seperti ini, dalam lubuk hatinya ia tidak ingin memilikinya, ia hanya ingin menikmati rupawan itu disini. Menjadi hiburan tersendiri dalam padatnya kereta ini dari tempatnya kini berdiri. Jika nanti perempuan itu atau rupawannya yang terlebih dahulu melangkahkan kaki dari rangkaian kereta ini. Akan ada spasi dengan jarak yang lebih besar lagi dari spasi yang ada dalam ruang kereta ini. Spasi yang tak berujung. Memisahkan jarak kekekaguman tak terkatakan.

Perempuan Tua dan Kucing Kecil

Pagi ini dengan mentari yang masih mengintip di ufuk timurnya, aku hendak bersiap untuk menuju rumah keduaku untuk menjajakan karyaku disana, menjadikan aku berguna untuk orang lain. Muluk-muluknya berguna untuk negeri. Di teras mungil depan rumahku, ketika aku mulai mengeluarkan sepeda motorku dan menggugahnya dari dingin malam untuk menemaniku berjalan hari ini. Sementara itu, aku lihat seorang perempuan tua dengan seekor kucing kecil yang datang entah darimana di pangkuannya. Kucing kecil itu pulas nyaman tertidur dengan belaian tangan perempuan itu. Aku berfikir bahwa kucing itu merasakan butiran-butiran kasih sayang dari tangannya. Aku mengamatinya lewat muka kucing itu.

Seketika sebuah layar membentang di alam fikirku. Dilayar itu muncul seorang perempuan tua dengan kerutan halus hasil waktu yang bergulir. Kulihat pangkuannya tempat aku dulu menangis padanya, kulihat tangannya yang juga sarat dengan kerutan yang dulu pernah menimangku dahulu. Perempuan itu sudah tak muda lagi, seketika terputar semua tawa, tangis, celoteh pada waktu dulu hingga kini. Perjuangannya untuk memberikan segala tetek bengek yang aku telan hingga kini, apapun itu yang tak bisa aku jelaskan disini. Ku kira tak ada nominal yang dapat menggambarkannya. Layar ini mengingatkan aku pada satu perempuan yang pernah menimangku, membelaiku lembut seperti ia membelai kucing kecil itu.

Layarku tertutup, akupun kembali tersadar aku harus bergegas sekarang. Aku harus mencari beberapa keping-keping koin emas untuk membuat senyumnya tetap berada di ujung bibirnya. Hutangku tak akan pernah terbalas oleh jutaan atau bahkan milyaran koin emas yang aku dapatkan. Jika saja ada beberapa tambahan waktu, aku ingin seperti kucing kecil itu. Aku ingin menyandarkan kepalaku di sana, menangisi dunia yang membuatku sedih atau sekadar membagi tawa dengan indah dunia di sisi lain. Aku ingin merasakan kembali belaian tangannya lagi. Perempuan yang tak lagi muda, namun aku selalu cinta dan ingin senyumnya tak lenyap pada ujung bibirnya. Perempuan yang budinya takkan pernah bisa dibalaskan. Perempuan itulah yang selama ini saya sebut ibu.