Sabtu, 11 November 2017

Kebumen: 460 km dari Jakarta

Di penghujung kemarau musim ini, ku antarkan raga dan fisikku pada salah satu kota kecil di pulau ini. Perjalanan ini tak semudah seperti sebelumnya, dihiasi oleh berbagai momok dan berbagai pertikaian hebat untuk sampai pada tiba waktunya. Sepekan sebelum kulangkahkan kaki untuk pergi ke kota dengan jarak sejauh 460 km dari pusat ibukota negara ini. Banyak rasa yang berkecamuk dalam dada ini. Ketakutan tentang wajah sang ibu yang harus terbaring lemah di rumah sakit. Menahan air mata untuk tidak jatuh dihadapannya sembari menahan betapa aku sangat butuh peluk dan uluran tangannya untuk menemaniku di saat sulit ini. Merasa seperti air mata ini yang hanya sanggup meluapkan segala rasa di hati saat ini. Perjalanan tentang penghujung kemarauku segersang itu, sesepi pohon dengan ranting kering menggugurkan daun yang terbakar matahari. Rasanya aku ingin sudahi segala rasa ini, merasa bahwa kau tak pernah ada dalam setiap kisah ini. Rasanya ingin ku selesaikan saja perjalanan yang sudah tinggal kujalani beberapa hari lagi. Sore itu jawaban tentang cerita kemarau ini dimulai, jadwal operasi ibuku ditunda karena tekanan darahnya yang tidak bisa stabil dan dokterpun tak sanggup mengambil langkah lanjutan untuk memberikan tindakan pada ibuku. Ku raih smartphone ku untuk memberi kabar ini, entah kabar baik atau buruk. Menurutku memang sudah jalannya untuk aku tetap menjalani perjalanan di ujung kemarau ini. Sebelum sore pada harinya aku tuntaskan dahulu tanggung jawabku terhadap sang ibu, menemaninya mengunjungi dokter, mengkuatkannya, serta menuntunnya langkah demi langkah untuk membuatnya semangat melewati masa sulit ini. Memberi kalimat-kalimat tentang kekuatan untuk melawan penyakitnya, sampai kapanpun jangan pernah kalah dengan penyakit itu. Setelah mentari perlahan turun di ufuk barat untuk bergantian dengan bulan menemani sang bumi, ku kuatkan tekad untuk menemui pujaanku di sana. Seteguh turunnya mentari ku hampiri pula pujaan yang akan menemaniku beberapa hari ke depan. Dekapnya yang aku rindukan, uluran tangannya yang mampu membendung air mata dan menguatkanku melewati kemarau yang tak mudah ini. Sore ini rinai hujan pun turun mengantarkan awal perjalanan ini ke sebuah stasiun di bilangan Jakarta Pusat. Ku tengok di jendela mobil yang basah dengan air hujan seakan menggambarkan gemuruh hatiku menyambut perjalanan ini yang sebelumnya sudah diujung kegagalan. Sore itu bertepatan dengan Tahun Baru Islam dihiasi dengan arak-arakan obor khas satu syura. Setelah sampai stasiun ku lanjutkan perjalanan ini dengan menaiki kereta untuk sampai pada kota kecil bernama kebumen itu. Di dalam kereta, hanya wajahnya yang ku amati. Lelahnya untuk membuat aku kuat, bahagia. Perjuangannya seketika terlintas dalam air muka itu. Tak terasa tengah malam sudah datang dengan gelap dan sunyinya di luar kereta sana, hanya suara roda kereta yang beradu dengan besi baja rel saja yang berjuang untuk kereta ini sampai dari satu kota ke kota lainnya. Ku sandarkan kepalaku di bahunya. Bahu tempatku rehat sejenak untuk beristirahat dengan perkara-perkara yang tak mudah belakangan ini sampai pada kota yang akan membawa cerita baru di ujung kemarau ini. Belum genap cahaya mentari memaparkan senyumnya di langit bumi, sampailah aku di kota kecil ini. Dengan kata lain, tepat pada bada subuh dan disambut dengan merdunya suara adzan dari surau khas pulau jawa. Terasa syahdu di telinga, ingin ku peluk dirinya yang kunikmati parasnya bersama suara adzan subuh ini. Pagi ini semua pertanyaan tentang keraguan itu terasa sirna seperti tertinggal bersama krikil krikil rel kereta yang mengantarkanku sampai sini. Aku siap untuk berpetualang denganmu, jauh dari rumah, jauh dari keluarga. Aku siap untuk menghabisi tawa, peluh, lelah dan memori kamera dengan senyum dah tawa kecil kita di kota ini. Kuhabiskan waktuku di kota kecil milik orang ini dengan mengunjungi situs sejarah yang megah di masanya, ku telusuri puluhan kilometer jalan-jalan kota ini menuju pada beberapa bibir pantai bertemu dengan bentuk air yang lain yang membuat hati terasa tenang, selain rinai hujan malam itu. Sembari berdoa ditengah gemuruh semangat gelombang ombak yang seakan bernyanyi dan berlarian mengejar daratan berpasir yang aku pijak kini. Seperti semangat sang ombak, seperti itulah juga seketika aku kelu melihat begitu banyak perjuanganmu untuk membuat aku bahagia. Deburan yang seketika merefleksikan betapa buihnyapun menggambarkan apa yang selama ini kau lakukan hanya untukku, yang tak pernah kusadari adanya. Perjuangan tentang orang-orang yang selalu berjuang untukku, bukan tentang kau saja yang kini berjalan beriringan di sampingku di tepi pantai ini. Tentang ibu yang sedang berjuang sendiri dengan rasa sakitnya, tentang kakak yang mungkin harus kuat melihatku tidak sesempurna dulu. Tentang aku yang tak sempurna harus bersanding di sampingmu yang maha lebih dariku. Perjalanan untuk menuju ke pantai yang tak mudah, banyak krikil krikil, jalan rusak dan tanjakan curam seketika terbayar ketika aku melihat ombak itu, ketika aku mendengar deru ombak yang seakan menyambutku riuh. Belum lagi angin kemarau yang membuat hitam kulit. Angin yang seolah menarikan tarian selamat datang dan mengajakku ikut menari ketika menyentuh kulitku. Ku lihat dan ku amati semua dari gerbang bibir pantai ini. Kota ini mengajariku banyak hal dalam perjalanan kemarau ini. Bukan hanya mentari musim ini yang membuat mataku terasa hangat. Begitu banyak cerita juga membuat mata terasa hangat dan tak jarang membuatku meneteskan air mata untuk sampai pada perjalanan detik ini. Membuatku tersadar satu hal bahwa tugas kita di sini adalah menguatkan satu sama lain. Wahai kalian, ibu, kakak, dan kau yang tanpa sadar telah memberikan aku hidup saat ini, memberikan tenaga untuk aku berjuang melawan semua sakit dan lukaku kemarin. Terima kasih telah melengkapi hidupku yang rapuh dan kurang sana sini. Terima kasih telah membuatku utuh sekaligus bahagia yang tak terdera. Menjadikan aku bermakna dan bisa berdiri tegak sampai waktu ini. Aku cinta kalian, tetap sehat dan kuat untuk tetap menuntun aku yang sebenarnya rapuh ini. Tak akan habis berjuta kata untuk menggambarkan lengkapnya hidupku dengan kalian. Sampai aku kembali ke kotaku, satu hal yang ingin aku bawa pulang. Aku merasa sudah lengkap dengan menemukan jawaban atas segala pertanyaan pertanyaanku.