Sudah dua kali saya bertemu dengan seseorang yang takut akan kenangannya, masa lalunya. Berenang-renang asik bersama riaknya. Menghirup udara yang serasa menyesakkan dada. Tenggelam dalam lumpur pekat yang gelap. Dan dua kali pula saya gagal memenangkan hatinya. Membuat saya berfikir sebenarnya apa gunanya sebuah masa lalu atau kenangan itu? Hanya untuk disesali dan ditangisi kepergiannya tiap malam hingga mentari pagi yang menjadikannya tiada. Biasanya kenangan itu bermula dari sebuah kesalahan. Untuk itu kita pelajari maknanya, kita pahami ceritanya. Kalau perlu kita buat pelajaran untuk kehidupan kita selanjutnya.
Apakah saya yang berfikiran terlalu tua? Atau mereka yang kurang mengerti tentang hidup? Tak mengerti bahwa hidup ini harus ditatap ke depan, bukannya kita toleh kebelakang. Selain memegalkan leher apabila kita harus berjalan dengan menoleh, itu hanya akan membuat sesak untuk bernafas dan menyumbat nadi untuk mengalirkan darah ke otak maupun ke seluruh tubuh.
Atau saya yang tak menghargai kenangan dan masa lalu itu? Ah tidak, rasanya saya selalu mengingatnya bahkan harus menitikkan air mata ketika kenangan itu tiba-tiba berputar didepan kepala saya dengan tak terpanggilkan. Saya selalu belajar dari kenangan. Untuk karma, cinta, bahkan kasih sayang. Kenangan mengajarkan saya banyak hal. Diantaranya yang paling kita pelajari dari kenangan itu adalah pelajaran tingkat dewa yaitu ikhlas. Mengikhlaskan mereka dengan sebundel atau beruraian ceritanya terbang, atau bahkan menghilang diufuk matahari. Bukan ditangisi, diingat, dan kemudian hanya akan menyakiti orang lain yang tak bersalah dan sama sakeli tak bermain peran didalam kenangan tersebut.
Jumat, 30 September 2011
Minggu, 25 September 2011
23:09:11


Sabtu, 03 September 2011
Ramadhan dan Idul Fitri 1432 H, Petukangan Selatan 2011
Ramadhan dan Idul Fitri ditempat ini kali ini memang sangat berbeda. Tak seperti Ramadhan dan Idul Fitri sebelumnya di Bendungan Hilir, 2010. Walaupun seringkali saya rayakan dengan tiga orang manusia terbaik saya. Banyak cerita yang harus diceritakan disini sehingga dapat saya jelaskan perbedaannya. Namun hati dan jemari ini terasa malas untuk merangkaikan kata-kata sehingga lebih mudah dipahami. Banyak pengalaman dan cerita pahit maupun manis yang saya kecap. Mulai dari saya meninggalkan semua organisasi yang saya ikuti untuk bekerja disuatu perusahaan ternama di Jakarta untuk sedikit membantu keuangan orang tua saya dan mewujudkan segelintir mimpi saya. Yang mungkin apabila saya jelaskan mimpi saya disini hanya sebuah mimpi yang sangat tak berarti namun sangat berharga untuk hidup saya. Karena mimpi itu yang yang membuat saya berani mengambil keputusan untuk meninggalkan organisasi yang saya ikuti pada liburan kali ini. Walaupun ada kemirisan yang terpancar dimata saya ketika melihat jejaring sosial teman-teman saya yang mengikuti organisasi tersebut. Semangat mereka, nafas mereka, dan atmosfer aura mereka yang saya rasakan lewat barisan tulisan mereka. Lewat cerita pengalaman kerja saya diperusahaan tersebut. Saya mendapat begitu banyak pelajaran yang bukan hanya bagaimana melayani berbagai karakter pelanggan yang hilir mudik membuang uang mereka. Saya mendapat pelajaran tentang kerjasama, kasih sayang, teman. Saya menemukan seseorang yang bisa menjadi penambah semangat saya ketika perasaan saya mulai jenuh terhadap rutinitas yang ada. Bukan hanya tentang lelah lalu terbayar. Banyak cerita dan kisah yang sangat membekas dihati saya. Yang pabila saya lihat buku kecil biru catatan saya seperti ada yang mengganjal diujung pernafasan saya. Begitu banyak cerita dalam buku itu. Dan buku itu jugalah saksi bisu perjalanan Ramadhan saya kali ini.
Kemudian mulai dari cerita Ramadhan yang tak biasa dan sangat berbeda ditempat terdahulu. Yang sangat kental dengan semangat Ramadhannya. Yang sangat bergemuruh ketika adzan dan sahur dipagi hari. Lewat langit malam takbir yang menggema begitu syahdu ditelinga. Dengan lantangnya satu masjid dengan masjid yang lain mengumandangkan takbir dan ingin menjadi yang terdepan pada malam itu. Namun, tak itu saja yang saya rasakan pada malam takbir itu. Saya harus mengejar uang saya yang telah hilang ditangan orang yang tak bertanggung jawab. Walaupun dalam pedih saya akui hal itu juga yang menambah syahdu malam takbir itu. Dengan sepinya jalan, dinginnya angin malam dan ramainya pasar tumpah yang membuat kaki sedikit pegal dalam mengayuh sepeda motor yang harus merangkak diluasnya kota Jakarta.
Sampailah pada satu inti yang paling besar dan dominan yang membuat perbedaan itu sangat jelas terlihat. Iming-iming gaji yang akan saya gunakan untuk mewujudkan mimpi kecil saya dan sedikit membantu beban mereka. Kini telah sirna. Uang tersebut telah jatuh ketangan orang yang tak bertanggung jawab. Sampai detik ini, ketika tulisan ini ditulispun saya masih berharap uang itu kembali. Teringat bagaimana saya mendapatkannya, bagaimana waktu saya yang terlewati dengan berbagai makna dan cerita didalamnya. Airmata inipun rasanya sudah tak pantas lagi mengalir. Sudah sulit rasanya saya mengeluarkan airmata ini. Yang saya butuhkan sekarang hanya teman. Betapa berasanya saya ketika kakak saya harus berangkat kerja, seperti semua memori kebodohan dan kesedihan itu terputar kembali menghiasi pikiran saya. Entah sampai kapan ini akan terus terulang dalam hidup saya. Saya belum ikhlas, begitu juga kedua orang tua saya. Saya butuh teman dan keluarga saya. Setidaknya itu harta saya yang tersisa sekarang. Untungnya keluarga dan teman tidak mudah untuk dicuri.
Kemudian mulai dari cerita Ramadhan yang tak biasa dan sangat berbeda ditempat terdahulu. Yang sangat kental dengan semangat Ramadhannya. Yang sangat bergemuruh ketika adzan dan sahur dipagi hari. Lewat langit malam takbir yang menggema begitu syahdu ditelinga. Dengan lantangnya satu masjid dengan masjid yang lain mengumandangkan takbir dan ingin menjadi yang terdepan pada malam itu. Namun, tak itu saja yang saya rasakan pada malam takbir itu. Saya harus mengejar uang saya yang telah hilang ditangan orang yang tak bertanggung jawab. Walaupun dalam pedih saya akui hal itu juga yang menambah syahdu malam takbir itu. Dengan sepinya jalan, dinginnya angin malam dan ramainya pasar tumpah yang membuat kaki sedikit pegal dalam mengayuh sepeda motor yang harus merangkak diluasnya kota Jakarta.
Sampailah pada satu inti yang paling besar dan dominan yang membuat perbedaan itu sangat jelas terlihat. Iming-iming gaji yang akan saya gunakan untuk mewujudkan mimpi kecil saya dan sedikit membantu beban mereka. Kini telah sirna. Uang tersebut telah jatuh ketangan orang yang tak bertanggung jawab. Sampai detik ini, ketika tulisan ini ditulispun saya masih berharap uang itu kembali. Teringat bagaimana saya mendapatkannya, bagaimana waktu saya yang terlewati dengan berbagai makna dan cerita didalamnya. Airmata inipun rasanya sudah tak pantas lagi mengalir. Sudah sulit rasanya saya mengeluarkan airmata ini. Yang saya butuhkan sekarang hanya teman. Betapa berasanya saya ketika kakak saya harus berangkat kerja, seperti semua memori kebodohan dan kesedihan itu terputar kembali menghiasi pikiran saya. Entah sampai kapan ini akan terus terulang dalam hidup saya. Saya belum ikhlas, begitu juga kedua orang tua saya. Saya butuh teman dan keluarga saya. Setidaknya itu harta saya yang tersisa sekarang. Untungnya keluarga dan teman tidak mudah untuk dicuri.
Catatan malam
*Kadang airmatapun tak cukup melunturkan gelora dalam hati.
Kadang dengan seribu langkah kaki kecil tak cukup mengalahkan pijakan raksaksa.
Kadang dengan detakan detik tak cukup mengungkapkan segala rasa ini.
Kadang dengan satu usapan hangat tak cukup menghapus lara yang pernah singgah menggerogoti hati.
Kadang dengan satu senyuman tak cukup menggantikan rasa pedih yang menyayat.
*Lewat mata, hati, telinga semua berpacu mengucap satu bahasa yang kita sebut cinta. Tak peduli berapa ribu jarum yang siap menusuk suara kita. Tak peduli walau kadang tak bisa dicerna maknanya dengan akal. Semua terasa begitu indah ketika sampai pada sebuah peraduan yang kita sebut kekasih. Namun semua terasa begitu haru bila jalan yang kita rangkaikan tak seindah singgasana raja dunia. Tak ada penyesalan dalam mencinta, yang ada hanya belajar~
*Dengan mencinta aku banyak belajar. Aku belajar pada semua rasa yang diciptakan-Nya. Aku belajar menahan dingin yang merasuk pada malam datang. Aku belajar merangkai ribuan kata menjadi mote indah penghias tubuh. Aku belajar menahan kantuk hanya untuk berceloteh atau sekedar bercanda renyah diberanda mimpiku.
Kadang dengan seribu langkah kaki kecil tak cukup mengalahkan pijakan raksaksa.
Kadang dengan detakan detik tak cukup mengungkapkan segala rasa ini.
Kadang dengan satu usapan hangat tak cukup menghapus lara yang pernah singgah menggerogoti hati.
Kadang dengan satu senyuman tak cukup menggantikan rasa pedih yang menyayat.
*Lewat mata, hati, telinga semua berpacu mengucap satu bahasa yang kita sebut cinta. Tak peduli berapa ribu jarum yang siap menusuk suara kita. Tak peduli walau kadang tak bisa dicerna maknanya dengan akal. Semua terasa begitu indah ketika sampai pada sebuah peraduan yang kita sebut kekasih. Namun semua terasa begitu haru bila jalan yang kita rangkaikan tak seindah singgasana raja dunia. Tak ada penyesalan dalam mencinta, yang ada hanya belajar~
*Dengan mencinta aku banyak belajar. Aku belajar pada semua rasa yang diciptakan-Nya. Aku belajar menahan dingin yang merasuk pada malam datang. Aku belajar merangkai ribuan kata menjadi mote indah penghias tubuh. Aku belajar menahan kantuk hanya untuk berceloteh atau sekedar bercanda renyah diberanda mimpiku.
Langganan:
Postingan (Atom)