Februari ini, agak sedikit lembab dengan butiran hujan yang tak lelahnya menyirami bumi. Sepertinya hujan sedang jatuh cinta pada bumi. Segalanya tercurahkan lewat rinainya. Tak terasa berapa tenaga yang dicurahkannya.
Tiba didalam satu renungan saya. Teringat satu pelajaran hidup yang sampai sekarang belum pernah bisa saya tamatkan, saya taklukan. Percaya. Apa arti percaya itu? Atau hanya sebuah piranti untuk dibohongi. Suatu kata yang memang tepat untuk dikhianati. Menjadi seorang yang bodohkah bila kita percaya? Menjadi keledai yang terbaring dalam lumpur dengan berbagai kenistaan darinya. Saya bingung apa yang harus saya kenakan dengan seragam ini? Hanya seperti dongeng penghias tidur. Seperti ucapan selamat malam raja pada umatnya. Nyanyian sang singa untuk para warga hutan yang takut akan gelap. Walaupun tiap malam saya coba belajar tentang ini. Membuat saya semakin terlihat bodoh. Seperti bodohnya orang jatuh cinta. Membuat terasa nyeri diulu hati. Tertusuk, merasuk.
Orang bilang saya manis. Tak semanis yang dikatakan sang puan itu. Hanya menjadi sebuah sarkasme yang terasa duri untuk dikecap maupun ditelan. Dengan berbagai kebahagiaan yang puan itu tahu. Didalam ini, masih ada tanda tanya besar. Tanda tanya yang menyeruakkan apa itu percaya. Yang memang pada hakikatnya memang berakhir kebohongan atau justru berakhir kebahagiaan. Kembali pada pilihan. Percaya, jujur, dan setia apakah menjadi suatu kewajiban atau pilihan? Hanya penilai hati yang berkuasa itulah yang bisa menjawabnya.
Minggu, 26 Februari 2012
Kamis, 09 Februari 2012
Jawaban Terburu Memburu
Terburu dan Memburu. Setidaknya membuat saya tertampar karena perasaan ini yang seperti setan. Asing dan menjerat saya kuat. Membuat saya sangat tidak bisa berfikir jernih. Merasakan tamparan hebat akibat rasa asing setan itu. Rasa yang membuat saya mengelilingi malam sendiri tanpa tujuan. Menyambangi peraduannya yang sangat sulit saya tebak kejadian apa yang terjadi didalamnya. Peraduan yang mahsyur lengkap dengan gemerlap lampu merah menyala dan biru haru sebagai penyeimbangnya, lengkap pula dengan bidadari-bidadari malamnya. Membuat saya ingin berteriak didepannya bahwa saya sangat menyayanginya, saya takut kehilangannya. Kalau perlu membuat peraduan itu runtuh sehingga saya bisa melihatnya menyeruak keluar dan memeluknya dengan erat. Menjatuhkan semua rasa ini untuk dibagi dua. Saya tak sanggup menanggungnya sendiri.
Teringat berbagai komentar salah seorang teman saya. Bahwa hanya keluargalah yang memiliki cinta yang besarnya takkan ada tandingnya. Tak terkecuali dia, kamu, ataupun kalian. Merasa tertampar ketika mendengarnya. Tolol. Sempat berfikir untuk lebih memilihnya dibanding keluarga sendiri. Menangis. Sesak yang tak ada habisnya. Walaupun ini sudah berakhir sesaknya susah terobati. Membuat saya sepertinya harus pergi kepuncak gunung yang konon katanya udaranya sangat sejuk dan masih alami untuk dihirup. Setidaknya untuk mengurangi sesak ini. Teringat pula komentar darinya, dengan wajah geramnya yang membuat saya tertunduk malu dan meringkuk dipeluknya. Komentarnya atas keposesifan saya. Takutnya saya akan kehilangannya. Walaupun dia tidak berjanji untuk tidak menyakiti hati saya, setidaknya dia mencoba untuk menjaga hatinya untuk saya. Saya ingin lama dengannya. Tak mau cepat seperti terdahulu, yang saya rasakan hanya perihnya saja. Berjanji saling Percaya. Percaya, salah satu pelajaran tingkat dewa lagilah yang harus saya pelajari. Andai saja pelajaran ikhlas dan percaya itu ada ujiannya mungkin saya tidak akan pernah lulus ujian tersebut. Atau mungkin kalaupun lulus hanya mendapat nilai sekadarnya saja.
Tiba pada saat saya berfikir sejenak. Kamu dan Keluarga. Dua harta yang sangat mahal harganya. Dua harta dengan kadar kecintaannya masing-masing. Tak bisa disatukan hanya bisa dijaga agar cinta itu tidak berkurang. Dua bejana yang isinya sama sama penuh, yang tanpa saya sadari tidak bisa saya memlilih untuk mengurangi isi keduanya ataupun memecahkan salah satunya. Untuk kalianlah saya hidup saat ini, KAMU dan KELUARGA. I Love you, Pak Suman, Ibu Sarmiyem, Mbak Purwaningsih, dan kamu YP♥
Teringat berbagai komentar salah seorang teman saya. Bahwa hanya keluargalah yang memiliki cinta yang besarnya takkan ada tandingnya. Tak terkecuali dia, kamu, ataupun kalian. Merasa tertampar ketika mendengarnya. Tolol. Sempat berfikir untuk lebih memilihnya dibanding keluarga sendiri. Menangis. Sesak yang tak ada habisnya. Walaupun ini sudah berakhir sesaknya susah terobati. Membuat saya sepertinya harus pergi kepuncak gunung yang konon katanya udaranya sangat sejuk dan masih alami untuk dihirup. Setidaknya untuk mengurangi sesak ini. Teringat pula komentar darinya, dengan wajah geramnya yang membuat saya tertunduk malu dan meringkuk dipeluknya. Komentarnya atas keposesifan saya. Takutnya saya akan kehilangannya. Walaupun dia tidak berjanji untuk tidak menyakiti hati saya, setidaknya dia mencoba untuk menjaga hatinya untuk saya. Saya ingin lama dengannya. Tak mau cepat seperti terdahulu, yang saya rasakan hanya perihnya saja. Berjanji saling Percaya. Percaya, salah satu pelajaran tingkat dewa lagilah yang harus saya pelajari. Andai saja pelajaran ikhlas dan percaya itu ada ujiannya mungkin saya tidak akan pernah lulus ujian tersebut. Atau mungkin kalaupun lulus hanya mendapat nilai sekadarnya saja.
Tiba pada saat saya berfikir sejenak. Kamu dan Keluarga. Dua harta yang sangat mahal harganya. Dua harta dengan kadar kecintaannya masing-masing. Tak bisa disatukan hanya bisa dijaga agar cinta itu tidak berkurang. Dua bejana yang isinya sama sama penuh, yang tanpa saya sadari tidak bisa saya memlilih untuk mengurangi isi keduanya ataupun memecahkan salah satunya. Untuk kalianlah saya hidup saat ini, KAMU dan KELUARGA. I Love you, Pak Suman, Ibu Sarmiyem, Mbak Purwaningsih, dan kamu YP♥
Rabu, 08 Februari 2012
Terburu Memburu
Perasaan apa yang sedang saya rasakan ini? Baru saat ini saya rasakan perasaan memburu yang dimata yang lain bisa disebut perasaan yang terburu. Memang rasa ini memburu, tak mau lepas mengikat tubuh saya. Membuat saya kadang menjadi kuat, tetapi lebih sering membuat saya lemah. Membuat saya tidak nafsu untuk melakukan aktifitas apapun. Makan, selain memang sariawan saya yang semakin sakit digunakan untuk mengunyah. Dan akhirnya hanya diam sendiri dan menangislah yang mampu saya lakukan. Banci, pengecut, lari dari kenyataan. Aaaaah sindiran dan sarkasme yang sudah sering saya terima seakan menjadi camilan saya sehari-hari.
Awal dari cerita ini mungkin jatuh cinta. Saya memang benci fase hidup yang satu ini. Kau bertindak seolah-olah membutuhkan saya, mendorong paksa diri saya untuk masuk dalam kehidupan kau. Dan ketika saya sudah masuk kebagian paling dalam itu, merasuk disetiap sudutnya, mengakar seprti pohon tua. Mengapa kau menganggapku hanya seperti berdiri didepan pintumu saja? Seakan kau tak menginginkanku. Setelah saya merasa bahwa nafas ini hanya berhembus seiring asmamu. Setelah saya bertekad untuk lebih memilih kau dibanding keluarga. Apa lagi sekarang? Merelakan kau pergi. Jangan harap saya bisa. Saya pernah berkata dengan hati ini. Saya mau kau yang terakhir. Yang menemani saya disaat saya mengejar kata kesuksesan itu. Dan nanti disaat mentari sudah saya genggam dan hanya kaulah yang tetap berada disamping saya. Ada kau disaat saya membuka mata dipagi hari, dan kau juga disaat mata ini lelah. Cuma kau yang aku lepaskan dan aku relakan suatu hari nanti untuk seseorang yang diberi nama oleh Tuhan sebagai JODOH.
Saya takut kehilangan dirimu untuk yang lain. Saya hanya rela kau pergi dengan seseorang yang bernama jodoh itu. Yang Tuhan kirimkan hanya untukmu. Menjaga hidupmu sampai mati, yang kau lihat disaat tutupan matamu yang terakhir. Memang bukan saya. Saya sadar itu. Tapi izinkan saya menjadi salah satu yang terbaik yang pernah kau miliki dalam arungan dan pelayaran kehidupanmu.
Saya tidak mau rasamu untuk saya berkurang sepeserpun. Karena rasa ini semakin kuat setiap hari. Semakin mengakar. Saya tidak mau kau berubah karena rasa memburu ini. Mengertilah kasih, rasa ini memang datang dari hati yang memburu dan terburu untuk kau sambangi.
Awal dari cerita ini mungkin jatuh cinta. Saya memang benci fase hidup yang satu ini. Kau bertindak seolah-olah membutuhkan saya, mendorong paksa diri saya untuk masuk dalam kehidupan kau. Dan ketika saya sudah masuk kebagian paling dalam itu, merasuk disetiap sudutnya, mengakar seprti pohon tua. Mengapa kau menganggapku hanya seperti berdiri didepan pintumu saja? Seakan kau tak menginginkanku. Setelah saya merasa bahwa nafas ini hanya berhembus seiring asmamu. Setelah saya bertekad untuk lebih memilih kau dibanding keluarga. Apa lagi sekarang? Merelakan kau pergi. Jangan harap saya bisa. Saya pernah berkata dengan hati ini. Saya mau kau yang terakhir. Yang menemani saya disaat saya mengejar kata kesuksesan itu. Dan nanti disaat mentari sudah saya genggam dan hanya kaulah yang tetap berada disamping saya. Ada kau disaat saya membuka mata dipagi hari, dan kau juga disaat mata ini lelah. Cuma kau yang aku lepaskan dan aku relakan suatu hari nanti untuk seseorang yang diberi nama oleh Tuhan sebagai JODOH.
Saya takut kehilangan dirimu untuk yang lain. Saya hanya rela kau pergi dengan seseorang yang bernama jodoh itu. Yang Tuhan kirimkan hanya untukmu. Menjaga hidupmu sampai mati, yang kau lihat disaat tutupan matamu yang terakhir. Memang bukan saya. Saya sadar itu. Tapi izinkan saya menjadi salah satu yang terbaik yang pernah kau miliki dalam arungan dan pelayaran kehidupanmu.
Saya tidak mau rasamu untuk saya berkurang sepeserpun. Karena rasa ini semakin kuat setiap hari. Semakin mengakar. Saya tidak mau kau berubah karena rasa memburu ini. Mengertilah kasih, rasa ini memang datang dari hati yang memburu dan terburu untuk kau sambangi.
Langganan:
Postingan (Atom)