Februari ini, agak sedikit lembab dengan butiran hujan yang tak lelahnya menyirami bumi. Sepertinya hujan sedang jatuh cinta pada bumi. Segalanya tercurahkan lewat rinainya. Tak terasa berapa tenaga yang dicurahkannya.
Tiba didalam satu renungan saya. Teringat satu pelajaran hidup yang sampai sekarang belum pernah bisa saya tamatkan, saya taklukan. Percaya. Apa arti percaya itu? Atau hanya sebuah piranti untuk dibohongi. Suatu kata yang memang tepat untuk dikhianati. Menjadi seorang yang bodohkah bila kita percaya? Menjadi keledai yang terbaring dalam lumpur dengan berbagai kenistaan darinya. Saya bingung apa yang harus saya kenakan dengan seragam ini? Hanya seperti dongeng penghias tidur. Seperti ucapan selamat malam raja pada umatnya. Nyanyian sang singa untuk para warga hutan yang takut akan gelap. Walaupun tiap malam saya coba belajar tentang ini. Membuat saya semakin terlihat bodoh. Seperti bodohnya orang jatuh cinta. Membuat terasa nyeri diulu hati. Tertusuk, merasuk.
Orang bilang saya manis. Tak semanis yang dikatakan sang puan itu. Hanya menjadi sebuah sarkasme yang terasa duri untuk dikecap maupun ditelan. Dengan berbagai kebahagiaan yang puan itu tahu. Didalam ini, masih ada tanda tanya besar. Tanda tanya yang menyeruakkan apa itu percaya. Yang memang pada hakikatnya memang berakhir kebohongan atau justru berakhir kebahagiaan. Kembali pada pilihan. Percaya, jujur, dan setia apakah menjadi suatu kewajiban atau pilihan? Hanya penilai hati yang berkuasa itulah yang bisa menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar