Rupawan itu yang saya peluk sekarang. Rupawan itu yang menjadi salah satu alasan saya bisa berdiri sampai hari ini. Dan rupawan itulah juga yang sangat sempurna yang saya miliki sekarang.
Membuat saya semakin kecil. Berkaca kembali. Cermin yang seakan membelenggu saya disetiap sudut jalan temaram ini yang seketika menusuk dan memaksa tubuh saya untuk berhadapan dengannya. Ketika kau ceritakan kisah lalumu yang indah. Ditemani berbagai rupawan lainnya yang kedengaran serasi dan menyejukkan dipandang mata. Rupawan yang bertemu rupawan lainnya. Serasi. Rupawan yang kau peluk dulu. Sangat indah dipandang dengan senjata yang sama indahnya dengan milikmu. Ada juga yang merupakan saudagar kaya yang uangnya mungkin takkan habis sampai turunannya yang ketujuh. Kemudian ada juga mereka yang menjadi pekerja seni. Mulai dari pelantun tembang, sampai peraga busana. Yang notabene mereka adalah sangat rupawan. Terawat. Yang mampu memberikanmu kesan indah, mewah, dan membuat dirimu sedikit berharga dengan materi melimpah itu. Belum lagi rupawan yang tak kau pilih hatinya. Mulai dari yang bergelimangan harta, sampai yang bergelimangan kerupawanan fisiknya. Dan hatinya untukmupun sebanding dengan apa yang saya dikte diatas. Mencintaimu. Menyayangimu.
Mengapa kau pilih saya? Saya tidak bergelimang harta, untuk makan besok sudah tersedia saja sudah lebih dari cukup untuk saya. Saya tak mampu memberikan apa yang mereka pernah berikan dahulu. Saya bukan rupawan yang indah itu. Tak lebih seperti gentong air yang lumutan hasil jeratan partikel-partikel air yang menemani saya setiap hari. Saya bukan siapa-siapa. Yang saya miliki hanyalah hati yang rapuh. Cinta yang besar untuk siapapun yang mau mencintai saya dengan tulus. Saya juga tidak pintar. Yang saya lakukan sekarang hanya berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Saya juga tak mampu memberikanmu cerita indah yang bisa kau kenang selama hidupmu. Menuliskan cerita indah untuk menemanimu dikehidupan lain.
Saya takut sayang. Bukan takut disakiti untukmu. Bukan takut kehilangan cinta itu. Saya takut kamu kalah sama kenangan. Kenangan sampai sekarang masih melekat kuat, terpatri dengan tinta emas dihatimu. Yang mungkin keberadaan saya sekarang sedang berusaha untuk mengikisnya. Takut kalau sebuah piranti itu menjadi jalan kau kembali mencari dia. Dia yang sampai kapanpun takkan pernah kusamai kedudukannya, baik didunia ini ataupun mungkin dihatimu. Kembali mencintainya. Membuat saya terjaga disetiap menitnya, bersiap kalau-kalau memang akan terjadi seperti itu. Entah perasaan ikhlas lagi yang akan saya kecap atau justru perasaan percaya dikemudian hari. Hanya Tuhanlah yang lagi-lagi mampu menghakiminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar