Malam ini air mata ini menetes tiba-tiba. Menetes diantara tumpukan buku yang sedang bergumul denganku. Membasahinya. Aku tak mengerti apa yang sedang menderaku saat ini. Aku seperti berada didalam dua ruang bifurkasi yang berbeda. Ruang masa lalu dan ruang masa kini. Ruang masa lalu yang masih memasung kakiku untuk tetap berada di kegelapannya. Ruang masa kini yang masih mampu memberikanku nafas namun masih saja pekat dengan awan kelabu yang memedihkan mata dan menyesakkan paru. Nus, aku tidak pernah bisa mengerti perasaan apa yang sedang melandaku saat ini.
Neptunus, kemarin aku lewati jalan temaram lengkap dengan cerita kenangan yang seakan terputar kembali dalam imajiku. Tetapi diujungnya tak kulihat kau disana. Kau kemana kesatriaku? Rumah itu bukan kediamanmu lagi. Remangnyapun tak sanggup lagi menata bayanganmu disana. Yang tersisa hanya bau semen basah dan cat cair yang baru saja dikawinkan dengan tumpukan bata bernama dinding. Dinding yang sudah hangat sekarang. Berbeda dengan dinding hatiku dikala itu. Dingin. Membuatku menggigil sampai ingin kutabrakkan kendaraanku agar makin kurasakan dinginnya aspal jalan mencumbu tubuhku. Aku masih mencarimu kesatria.
Neptunus, adam itu kini memenuhi rongga nafasku. Sesak. Membuatku tak dapat menahan air mata ini. Aku memang jelas-jelas jatuh cinta padanya. Hilang kendali bagai kendaraan yang bercerai dengan kopling dan remnya. Hanya berjalan menggunakan gigi maju dan melaju menghampiri ajal, yang hanya dengan itu bisa membuatnya berhenti. Aku merasakan cinta yang tak mungkin. Cinta yang resah. Sementara aku tegas dengan langkah kaki kecilku. Namun, tak kulihat ketegasanmu disana. Yang kulihat hanya tatap ragu dari sorot mata itu. Entah apa yang kau ragukan, entah aku yang terlalu lemah untuk merasakan cinta. Imun tubuhku seakan tak mampu menahan penyakit ini. Seribu tanda tanya yang kini berputar dan berkutat denganku. Hanya Tuhan yang tahu jawab dari resah ini. Hanya dirinyalah yang tau akhir dari cerita ini. Bantu aku, Tuhan.
Neptunus, imajiku ini telah terbagi menjadi tiga. Diantara bifurkasi masa lalu dan masa kini, di dalamnya masih ada cerita masa kini lagi. Di dalamnya kutemui macam Adam yang lain. Macam yang mengingatkanku pada kesatria yang lari itu. Dengan senjata yang sama, Supernova dan Dewi Lestari. Mengingatkanku kembali pada kisah tragis namun romantis antara Dimas dan Reuben. Membuatku kembali ingin menjadi mereka. Menjadikan cinta semu ini memiliki cerita dan memiliki mimpi yang bisa dibagikan. Membuatku kembali membaca lembaran-lembaran kisah Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Membaca keping demi keping tulisan-tulisan yang menyentuh hati dan membuat tersedak. Sehingga ingin kumuntahkan dan kutulis segala tulisan indah itu kedalam laman elektronikku ini.
Neptunus dan Tuhan, bantu aku untuk menjawab ketiga bifurkasi ini. Tak sanggup lagi aku menjadi amphibi. Bukan hanya hidup didua alam, tapi ini tiga alam. Haruskah mati untuk menutup cerita ini? Tidak. Tentu aku tak akan memilih jalan itu. Jalan-Nya jauh lebih indah menurutku.
"Sudah kumenangkan taruhan ini, bahkan dengan sangat adil.
Jauh sebelum kau menyerahkan kertas dan pensil.
Karena rinduku menetas sebanyak tetes gerimis.
Tidak butuh kertas atau corengan garis.
Genggamlah jantungku dan hitung denyutannya.
Sebanyak itulah aku merindukanmu, Putri." -Kesatria-
-Supernova, Dewi Lestari
(Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar