Hari ini tepat hari sabtu. Sabtu yang mungkin menjadi salah satu Sabtu yang indah dalam hidup saya. Diawali dengan memburu waktu bersama sayap-sayap kecil terbaik saya. Bercengkrama, bergumul dengan indahnya kebersamaan dan tawa canda. Diselingi cerita sedih yang datang dari salah satu sayap kecil saya. Menjadi latar suasana dan panorama hati yang sangat indah dalam cinta. Panorama tentang keposesifan yang menuntun seseorang untuk takut kehilangan. Takut cinta sendiri. Sehingga membuat lemah luruh dan lelah semuanya terasa diujung yang sama. Dipelabuhan yang sama. Pelabuhan jenuh. Wahai sayap kecilku, sabarlah sayang. Sayapun pernah merasakan menjadi kamu. Belajarlah dari kesalahan. Belajarlah menyangkarkan burung emasmu didalam sangkar emas yang indah pula. Jangan kau pegang terlalu erat burung emas itu. Niscaya burung itu akan mati digenggamanmu. Kehilangan memang sesuatu yang sangat menyedihkan. Terlebih kita harus memyelipkan kata ikhlas disela-sela ceritanya. Seperti ribuan paku yang menusuk kaki bagi seseorang awam yang tak punya cukup ilmu untuk melakukan sihir. Saya tahu rasanya takut kehilangan. Dan saya mohon itu tidak terjadi padamu sayap kecilku, sayang.
Malam ini cerah. Sang malam sudah berganti. Memilih kecerahan dan angin semilir sebagai temannya dalam mengarungi karunia-Nya. Malam ini kuarungi bersama seseorang yang baru-baru ini masuk dalam hidup saya. Merasuk seperti setan. Yang kehangatannya selalu menjuluri tubuh saya lewat pori-pori ini. Kuhabiskan malam ini dengan menyambangi sang laut. Yang terlihat angkuh dan gelap dengan piranti lampu kuning temaram yang makin mempertegas keangkuhannya. Melihat sang laut yang ujungnya tak tahu seperti apa bentuknya. Sama seperti hatinya, tak pernah saya lihat ujungnya. Pikiran sayapun tertarik untuk menikmati masa lalu. Laut ini kembali menarik saya kebeberapa tahun lalu, kebeberapa bulan lalu. Saya sendiri. Hanya bersama teman-teman saya. Menikmati pantai ini dengan subjektifitas masing-masing. Menarik lagi semakin dalam kedalam ceritanya. Yang saya dengar dia pernah juga mengarungi pantai ini dengan kekasihnya terdahulu. Melempar koin bersama, saling mengucapkan janji suci bahwa itu akan abadi. Kekasih itu melakukan suatu pertunjukkan menarik. Menyimpulkan batang buah ceri dengan lidah. Yang menurut saya sesuatu yang jarang orang bisa lakukan. Terlebih pada hati kecil setiap orangpun akan mendambakan hal yang satu itu. Malam itu seakan laut terbelah dengan nyeri hati saya mendengarnya. Membuat seolah-olah sang angkuh itu bergejolak ikut merasakan ombang-ambingnya hati ini. Jangan tanya pada saya. Sayapun tak tahu mengapa seperti ini. Menjadi cengeng. Andai saja saya bisa berlari. Berlari keujung laut itu. Mengenggelamkan saya didasarnya. Rasanya sulit untuk itu seperti ada gravitasi dalam diri saya yang membuat saya memilih tetap berada disini dengan topeng super tebal supaya sayatan luka ini sedikit tertutupi.
Kembali saya berkaca. Siapa saya? Saya bukan kekasih yang pandai menyimpul batang buah ceri dengan lidah. Saya bukan kekasih yang menggunakan smartphone. Saya bukan kekasih yang bisa selalu bersama. Saya bukan kekasih yang berkulit putih. Saya bukan kekasih yang berbadan proporsional. Saya bukan kekasih yang pernah menguasai sang malam.
Merasa tak pantas saja berada disampingnya. Masuk kekehidupannya. Walaupun kenyataannya sayalah pilihannya. Membuat saya berfikir apa saya hanya pelariannya saja. Hanya pemuas nafsunya saja. Hanya penghangat tubuhnya. Persetan dengan semua pengorbanannya. Mungkin saja itu hanya bayaran setimpal untuk saya karena telah memenuhi kebutuhannya. Saya hanya punya cinta. Kasih sayang. Semoga itu cukup. Maafkan saya bila saya membuatmu malu. Hmmmm.... Andai saja gemerlap itu ada dalam diri saya. Saya rengkuh gemerlap itu dalam genggaman saya.
*Meskipun aku bukan siapa-siapa, bukan yang sempurna
Namun percayalah hatiku milikmu
Meski seringku mengecewakanmu, maafkanlah aku
Janjiku kan setia padamu, hanyalah dirimu
(Vidi Aldiano - Lagu Kita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar