Kebahagiaan itu apa artinya? Sampai sekarang saya tak pernah bisa menemukan definisi sakleknya. Bukan saya tidak pernah bahagia, munafik sekali kalau saya berani mengeluarkan pernyataan semacam itu. Berapa juta nikmat dari-Nya yang sudah saya khianati kalau-kalau saya berani menyatakan hal itu. Banyak yang bilang kebahagiaan yang hakiki itu diri kita sendiri yang buat, yang ciptain. Orang lain hanya perantara, cuma alat. Kalau dari yang saya pelajari dari seorang teman, bahagia itu cuma kita sendiri yang bisa nyiptain, gak usah berharap dari orang lain. Karena orang lain itu gak lain gak bukan cuma seperti orang-orang yang setia nunggu bis dihalte. Datang terus pergi, datang lagi terus pergi lagi gitu aja sampe akhir hari.
“Kebahagiaan yang sebenarnya itu dari diri kita sendiri yang ciptain, bukan dari orang lain” –Rezal, seorang teman
Lelah. Entah lelah apa yang saya rasakan sekarang. Lelah dalam mencintai rupawan saya. Lelah menunggu hingga akhirnya smartphone saya berdering menyerukan pesan singkat darimu, yang kedipan merahnya membara untuk saya buka. Lelah melihat barisan kata-kata yang selalu memenuhi kotak masuk pesan saya dengan nama yang sama, yang sewaktu kadang saya harus menyibukkan diri beberapa menit untuk memfilter pesan mana yang layak disimpan dan mana yang tidak. Lelah berkutat dengan segala fikiran aneh dan jahat tentang rupawan saya ketika dia jauh. Lelah mendengar kata-kata manisnya yang kadang hanya sekedar pesan singkat pengantar tidur kekasih sekolah menengah pertama. Lelah mengerti jam terbangnya yang setinggi langit itu. Lelah mendengar janjinya untuk bertemu saya dengan embel-embel berbagai prioritas lainnya. Tetapi saya tak lelah mencintainya. Ingin berhenti. Bukan berhenti mencintainya. Semacam perasaan ingin berhenti disuatu tempat yang nyaman tanpa hiruk pikuk kelelahan diatas. Ingin berhenti dipelukan hangat yang merengkuh saya tiap malam atau mungkin setiap saya merasa lelah dalam berlari.
Bertanya kepada diri saya sendiri. Yang akhirnya saya mengerti kalau kelelahan itu semata hanya untuk sesuatu yang saya sebut bahagia. Saya menemukan bahwa bahagia dalam mencintai seorang kekasih seperti ini rasanya. Nyaman. Ingin berada dipelukan yang nyaman, bercerita tentang hari. Entah hariku ataupun harimu. Bersandar setelah sepekan saya berlari, berputar dengan aroma tubuh maskulin dan dapat saya dengarkan detak jantung tak beraturan itu. Setidaknya itu definisi bahagia dalam kamus cinta saya. Kadang memang saya ingin menjadi prioritas dalam hidupnya. Seakan ingin tertawa terbahak-bahak depan muka saya kalau tiba-tiba saya memikirkan hal bodoh bin dungu ini. Saya bukan siapa-siapa, hanya orang luar yang datang dan minta untuk dicintai. Cuma orang luar yang datang dengan modal hati yang rapuh dan merengek supaya dia bisa menguatkannya.
Setidaknya saya tidak meminta langit, bulan, atau matahari. Saya hanya meminta pelukan itu, yang mewakili segalanya. Segala rasa, keluh kesah, canda tawa, waktu yang seharusnya bisa direngkuh bersama dalam raga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar