Rabu, 12 Januari 2011

Perempuan tua itu yang saya sebut Ibu

Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Ku pandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda

Pikirkupun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku

*
Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu dtimang

Nada nada yang indah
Slalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya

Tangan halus dan suci
Tlah mengangkat diri ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan

Oh bunda ada dan tiada dirimu
Kan slalu ada di dalam hatiku

Pagi ini, tiba-tiba terngiang lagu tersebut dalam pikiran saya. Saat saya melihat seorang perempuan tua yang tertidur bersandarkan dinding dengan seekor kucing kecil dipangkuannya. Saya yakin kucing tersebut pasti juga merasakan butiran-butiran kasih sayang dari sentuhannya, sehingga dia sangat nyaman didekapannya. Saya lihat dan saya amati wajahnya. Tiba-tiba saya tertegun melihat wajahnya lelahnya. Seakan semua perjuangannya selama ini terputar kembali diwajahnya seperti dalam pertunjukkan gedung bioskop. Perempuan tua itu sudah tak muda lagi, yang ada dimukanya hanya kerutan-kerutan yang menggerogoti setiap waktunya detik demi detik. Saya yakin perjuangannya selama ini yang membuatnya lelah. Sudah puluhan tahun kira-kira. Saya sudah berusia 18 tahun, belum lagi kakak saya yang berusia 23 tahun. Kira-kira dalam kurun waktu itulah dia habiskan waktunya, tenaganya, bahkan air susunya yang saya teguk dahulu. Kemudian saya lihat tangannya, tak beda jauh dengan wajahnya. Penuh dengan kerutan yang melambangkan lelahnya. Tapi dahulu tangan itu yang mengangkat tubuh mungil saya. Tangan itu yang selalu terulur untuk saya. Tangan itu yang mengalirkan ribuan butir kasih sayang disetiap sentuhannya. Bahkan jiwa dan raganya pun rela dia berikan.Tiba-tiba teringat kembali sepotong pepatah dalam ingatan saya. Memberi makan perempuan tua itu seumur hidupnya takkan mampu membalas semua yang telah diberikannya. Air susu yang ada dibumi ini pun juga takkan mampu menebus air susunya yang diberikan dahulu. Sungguh tak dapat terbayangkan bahwa kasih sayangnya yang tiada tara didunia ini. Belum lagi tiba-tiba teringat balasanku untukknya. Belum banyak, seperti yang dia berikan pada saya. Yang banyak hanya bentakan, rasa kesal saya padanya. Mungkin dibalik itu semua hatinya lebih kesal bahkan lebih lelah dibanding saya. Tapi perempuan tua itu sangat mulia, tak pernah dia mengeluh sedkitpun tentang rasa lelah dan kesalnya itu. Ya, perempuan tua itulah yang selama ini saya sebut IBU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar