Rabu, 19 Desember 2012

Malam

Neptunus,
Malam ini air mata ini menetes tiba-tiba. Menetes diantara tumpukan buku yang sedang bergumul denganku. Membasahinya. Aku tak mengerti apa yang sedang menderaku saat ini. Aku seperti berada didalam dua ruang bifurkasi yang berbeda. Ruang masa lalu dan ruang masa kini. Ruang masa lalu yang masih memasung kakiku untuk tetap berada di kegelapannya. Ruang masa kini yang masih mampu memberikanku nafas namun masih saja pekat dengan awan kelabu yang memedihkan mata dan menyesakkan paru. Nus, aku tidak pernah bisa mengerti perasaan apa yang sedang melandaku saat ini.

Neptunus, kemarin aku lewati jalan temaram lengkap dengan cerita kenangan yang seakan terputar kembali dalam imajiku. Tetapi diujungnya tak kulihat kau disana. Kau kemana kesatriaku? Rumah itu bukan kediamanmu lagi. Remangnyapun tak sanggup lagi menata bayanganmu disana. Yang tersisa hanya bau semen basah dan cat cair yang baru saja dikawinkan dengan tumpukan bata bernama dinding. Dinding yang sudah hangat sekarang. Berbeda dengan dinding hatiku dikala itu. Dingin. Membuatku menggigil sampai ingin kutabrakkan kendaraanku agar makin kurasakan dinginnya aspal jalan mencumbu tubuhku. Aku masih mencarimu kesatria.

Neptunus, adam itu kini memenuhi rongga nafasku. Sesak. Membuatku tak dapat menahan air mata ini. Aku memang jelas-jelas jatuh cinta padanya. Hilang kendali bagai kendaraan yang bercerai dengan kopling dan remnya. Hanya berjalan menggunakan gigi maju dan melaju menghampiri ajal, yang hanya dengan itu bisa membuatnya berhenti. Aku merasakan cinta yang tak mungkin. Cinta yang resah. Sementara aku tegas dengan langkah kaki kecilku. Namun, tak kulihat ketegasanmu disana. Yang kulihat hanya tatap ragu dari sorot mata itu. Entah apa yang kau ragukan, entah aku yang terlalu lemah untuk merasakan cinta. Imun tubuhku seakan tak mampu menahan penyakit ini. Seribu tanda tanya yang kini berputar dan berkutat denganku. Hanya Tuhan yang tahu jawab dari resah ini. Hanya dirinyalah yang tau akhir dari cerita ini. Bantu aku, Tuhan.

Neptunus, imajiku ini telah terbagi menjadi tiga. Diantara bifurkasi masa lalu dan masa kini, di dalamnya masih ada cerita masa kini lagi. Di dalamnya kutemui macam Adam yang lain. Macam yang mengingatkanku pada kesatria yang lari itu. Dengan senjata yang sama, Supernova dan Dewi Lestari. Mengingatkanku kembali pada kisah tragis namun romantis antara Dimas dan Reuben. Membuatku kembali ingin menjadi mereka. Menjadikan cinta semu ini memiliki cerita dan memiliki mimpi yang bisa dibagikan. Membuatku kembali membaca lembaran-lembaran kisah Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Membaca keping demi keping tulisan-tulisan yang menyentuh hati dan membuat tersedak. Sehingga ingin kumuntahkan dan kutulis segala tulisan indah itu kedalam laman elektronikku ini.

Neptunus dan Tuhan, bantu aku untuk menjawab ketiga bifurkasi ini. Tak sanggup lagi aku menjadi amphibi. Bukan hanya hidup didua alam, tapi ini tiga alam. Haruskah mati untuk menutup cerita ini? Tidak. Tentu aku tak akan memilih jalan itu. Jalan-Nya jauh lebih indah menurutku.

"Sudah kumenangkan taruhan ini, bahkan dengan sangat adil. 
Jauh sebelum kau menyerahkan kertas dan pensil. 
Karena rinduku menetas sebanyak tetes gerimis. 
Tidak butuh kertas atau corengan garis. 
Genggamlah jantungku dan hitung denyutannya. 
Sebanyak itulah aku merindukanmu, Putri." -Kesatria-

                                                         -Supernova, Dewi Lestari
(Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh)

Minggu, 09 Desember 2012

Dia, yang sedang singgah

Neptunus,

Aku diberi kesempatan untuk jatuh cinta lagi dengan seorang Adam. Seorang yang tak tahu dari mana asalnya. Seorang yang sedikit membuatku tercekat belakang ini. Tercekat dengan semua kata-kata manisnya. Yang kutahu kata-kata manis itu pula yang nantinya akan menghujam jantungku dengan cairan diabetes yang mematikan nadiku. Membuatku kembali terpenjara dalam menara tuaku sendiri. Kata manis itu seakan mencandu hidupku, tak bisa lagi aku hidup tanpa canduku. Adam itu yang memberiku celah untuk aku bisa bernafas lagi. Membuatku kembali membuka awan dan melihat matahari yang mengintip malu-malu diujung jendela cakrawalaku. Siapakah kau? Akankah kau hanya singgah dalam waktu yang singkat?

Neptunus, aku tetap menjaga hatiku. Membelenggunya agar tidak terlalu agresif dengan hadirnya adam itu. Menjaganya dari kerapuhan. Kalau-kalau dia hanya ingin singgah untuk beristirahat, bukan untuk mewarnai menara tuaku. Kalau-kalau dia hanya ingin membuaiku sesaat dan membuatku sedikit bisa mencicipi warna lagi. Dia begitu rupawan dimataku. Dia berhiaskan semua yang aku mau. Tak sanggup aku berpaling dari kilauannya.

Neptunus, akankah doaku akan terjawab dan perahu kertasku akan berlabuh? Akankah menaraku akan kembali bersinar dan berwarna seperti saat kesatria itu masih sudi mendiaminya. Akankah perahu kertasku akan menemukan pelabuhannya. Hanya kau wahai adamku yang punya jawabannya. Jika memang kita sudah ada didalam rencana-Nya maka aku siap mengkisahkan kisahmu mulai sekarang. Dan apabila memang kita tidak tertulis dalam rencana-Nya, maka pergilah. Aku tidak akan memasung kedua kakimu disini. Aku cinta merdeka, dan takkan kubiarkan kau terbelenggu dimenara tua ini. Raihlah apa yang ingin kau raih. Dan pegang satu kalimat dariku: Aku bisa merasakan jatuh cinta lagi. Dan itu berkat kau!

Untuk Seseorang

Wahai kau yang sedang dilanda cinta,
Kau tak butuh matahari, karena kau hidup ditempat yang berlimpah sinar-Nya.
Kau tak butuh air, karena Tuhanmu masih mengizinkan air untuk menghiasi hulu dan hilir sungai-sungainya.
Kau tak butuh udara, karena dia masih membelai lembut seluruh nadi diparu-parumu. Kau tak butuh angin, karena angin masih setia menemani kesejukan.
Kau tak butuh api, karena cinta dan rindumu yang menggebu yang akan membakarnya menjadi bara.
Yang kau butuhkan hanya dia. Bukan cerita tentang aku, kamu, ataupun mereka. Ini tentang dia. Tentang kau yang sedang dilanda cinta.
Kau jadikan dia matahari yang menyinari harimu.
Kau jadikan dia udara yang merasuk dalam paru-paru dan jantungmu.
Kau jadikan dia angin yang menemani kesejukan bahkan dinginnya malammu.
Kau jadikan dia api yang membara bersama cinta dan rindumu yang membakarnya menjadi bara.
Ya, itu tentang kau dan dia yang sedang dilanda cinta. Aku hanya bercerita. Ini bukan kisahku, kisah mereka, ataupun kisah kita. Ini kisah kau dan dia.

Sabtu, 10 November 2012

Andai

"Als mijn gezicht op je tijdlijn waarnaar je kijkt en je verlangt, kom maar hier! Ik ben altijd wakker om op jou te wachten."




Jika garis mukaku yang kau lihat di garis waktumu
dan yang kau rindukan juga.
Datanglah sini padaku.
Aku masih selalu terjaga
untuk menunggumu kembali

Aku masih sudi untuk menjadi rumahmu
dan mimpi kita yang dulu akan menyambutmu.
Dan memelukmu riang jika kau masih ingin kembali.
Andai saja kau sudi...

Minggu, 28 Oktober 2012

Pagi dan Malamku masih milikmu

Dear Neptunus,

Pagi ini masih miliknya. Duniaku belum bisa lepas darinya. Bahkan malamkupun masih saja berjelaga didalam aroma atmosfer kehidupannya. Mimpi inipun masih saja mendendangkan segala asma dan berbagai ornamen indahnya. Bisakah aku mengakhirnya kepemilikannya? Jangan saja hidup ini masih miliknya. Hidupku seharusnya adalah milikku, bukan miliknya. Bukan dia juga yang berhak menjadi tuanku. Namun, rentangan garis waktu ini memaksaku. Mengagungkan dirinya untuk tetap bertahta diatas segalanya.

Neptunus, aku ingin lepas dari gravitasinya. Menemukan planet baru untukku bisa bernafas. Udara baru untuk paru-paruku. Tempat baru untukku melabuhkan mimpi ini. Menjadikan mimpi yang tak terurus ini menjadi mimpi dengan sangkar emas. Menjadi pencapaian titikku direntangan garis waktu yang masih menanti untuk aku gapai. Dan kalau perlu menjadi raja juga untuk waktu ini. Untuk memegang kuasa akan kerajaan yang dahulu pernah membuat aku berkilap.

Neptunus, bahkan jalan temaramku juga berhiaskan parasnya disisi kiri kanan gelapnya. Bersama remangnya jalan ini yang membiaskan cahaya kuning keemasan aku masih bernyanyi dijalanmu. Berharap diujung jalan temaram ini kau akan memelukku kembali dengan hangat. Menyeka segala tatihan kaki-kaki kecilku yang melewati sepanjang jalan temaram merona ini. Masih berpegang teguh bahwa kau akan kembali kedalam peluk ini. Merengkuh segala biduk cinta yang pernah kita pilin dulu. Masih mengagungkan cinta yang tak mungkin ini. Cinta yang tak mungkin jadi. Cinta yang cacat. Cinta yang hanya diharapkan oleh sebelah hati saja. Sebelah hati yang belum mampu melepas belahannya kenirwana. Sementara belahan lainnya sudah melalang buana memecah cakwarala. Cinta yang semakin dilepas justru malah makin mengikat. Entah ikatan jenis apa yang melilitnya. Mungkin saja perasaan ikhlas yang belum bisa diikrarkan dari hati.

Neptunus dan Perahu Kertasku, aku ingin berlabuh. Aku lelah tenggelam ditengah lautan kenangannya. Lautan mimpi-mimpinya. Yang airnya dulu telah menyelamatkan aku untuk bisa bernafas dan menari seperti ikan dibias riaknya. Aku lelah meraung-raung ditengah lautan kosong yang kini meninggalkanku sendiri dengan biru luas tak bertepi. Satu yang aku inginkan. Tepian. Aku ingin berlabuh. Baik dalam keadaan hidup atau mati.

Minggu, 23 September 2012

Perahu Kertas untuk Neptunusku (2)

Neptunus,
Hari ini aku berulang tahun. Tepatnya usiaku telah menginjak angka 20 tahun-perlu 5 tahun lagi untuk mengitari rotasimu genap seperempat abad. Maaf kalau aku belum sempat mengirim perahu kertas kepadamu. Kertasku rasanya tak cukup untuk mengutarakan segala rasa yang aku rasakan dihari jadiku ini. Banyak perasaan yang harus aku bagi padamu, tak cukup memori hati kecilku untuk menampung ini semua. Terasa tumpah ruah dipinggirannya untuk menunggu meluap. Perasaan baik yang sudah meluap keluar dan muncul didunia ini ataupun perasaan yang aku pendam sendiri. Yang kupenjara dalam pulau kecil dihati kecilku sendiri.

Neptunus, aku bahagia. Aku punya keluarga yang sangat sayang padaku dan akupun berjanji tak akan mengecewakannya. Terlalu besar pengharapannya padaku. Kakakku yang tak pernah lelah memberi kejutan dihari ulang tahunku, walaupun aku sudah tau cara klasik yang selalu dipakainya. Sehingga buatku bukan suatu hal yang mengejutkan lagi. Dan kali ini kejutan itu bukan tentang kue kecil dengan tarian api lilin-lilin kecil diatasnya. Diganti dengan martabak telur spesial yang dihiasi satu lilin kecil yang menari tegar diatasnya. Setegar fisikku sekarang, namun jangan tanya hatiku. Walaupun semua itu diganti, bukan dengan kue yang beramaikan tarian lilin enerjik diatasnya. Semangatnya untuk membuatku bahagia dihari jadiku tak berkurang sedikitpun. Terima kasih keluarga kecilku. Kalian adalah harta yang sampai kapanpun tak akan bisa hilang atau lenyap sekalipun nantinya kita ada didunia yang berbeda. Sekaligus menjadi rumahku kembali setelah berkali-kali aku berubah seperti bunglon. Tempatku kembali tanpa paradigma dan dogma yang harus dipatuhi. Tanpa beban dan kewajiban untuk menyenangkan satu sama lain. Yang menjadikan segalanya kebalikannya, yaitu suatu kebutuhan.

Neptunus, kadang aku berfikir ingin menjadi bayi. Datang dengan tangis bahagianya yang membahana. Tanpa beban sedikitpun. Lepas. Atau menjadi anak-anak yang tugasnya hanya bermain, tertawa, dan belajar. Tak pernah dituntut untuk dewasa. Dewasa sesuai dengan garis waktunya nanti. Tanpa perlu mengenal cinta yang busuk, ataupun pahit getirnya kehidupan yang sesungguhnya. Hanya perlu berlarian dan tertawa terbahak. Tak perlu bercerita tentang cerita-cerita busuk yang menjengkelkan atau bahkan meneteskan air mata. Hanya perlu bercerita tentang masa depan yang indah dengan cita-cita yang setinggi langit. Mendengar cerita-cerita dongeng yang ketika dewasa nantinya akan tahu kalau cerita itu memang hanya akan ada didongeng. Tidak dipaksa untuk berfikir realistis. Menjalankan fikiran bukan dasar dari hati yang mau. Tidak dituntut untuk menjadi dewasa. Sudahlah, tak baik juga memutar dan bermimpi dengan masa lalu. Semuanya memang sudah fasenya, setiap orang pernah mengalami itu. Dan sekarang tugasku sudah sampai ditahap ini.

Neptunus, aku rindu kesatriaku. Mimpi kita dulu pernah ingin merayakan hari jadi ini sekaligus dengan hari jadinya yang berbeda delapan hari dan tiga hari untuk hari jadi kita berdua. Ah, itu masa lalu. Masih ingatkah dia dengan mimpi itu? Jika saja kesatriaku sudi untuk membuka laman ini. Mimpi-mimpi itu masih terjaga bersama aku yang hidup dalam kematian ini. Mimpi itu masih aman didalam menara yang kuat ini. Bahkan cinta ini masih kuat mengalir dalam sel-sel dan urat-urat hati kecilku yang rapuh ini. Masih menjadi butiran utuh didalam bentuk hatiku yang mungkin sudah menjadi remah. Aku masih disini kesatria. Walaupun kau telah melintasi ribuan bahkan jutaan jarak untuk meninggalkanku, tetapi aku masih berada ditempatku. Tak ingin aku merubah dimensi bahkan ruangku. Berjelaga untukmu. Menjaga sesekali waktu kau ingin datang mengunjungi menaraku.

Selamat ulang tahun untukku. Selamat ulang tahun kesatriaku didelapan hari yang lalu. Aku harap kita bisa merayakannya dikehidupan yang lain. Memang bukan bumi ini tempat untuk cinta kita. Khususnya cintaku padamu.

Perahu Kertas untuk Neptunusku (1)

Neptunus,
Aku sudah dua kali mengirimkan perahu kertasku padamu. Sudahkah kau baca isinya? Aku merindukannya, Neptunus. Mengapa mencintainya sesakit ini. Seperti racun jingga dalam cakrawala kemerahan yang membakar setiap nafas yang kuhembuskan. Tapi tak membuatku mengabu ataupun mengarang. Bagaimana cara membuka matanya bahwa akulah masa depannya, bukan tentang nostalgia gila itu, apalagi ketakutan akan jurang kesakitan itu. Keduanya hanya fase hidup, oase kehidupan yang harus kita lewati dengan bijak. Disetiap ku membuka lamannya membuatku semakin yakin dia memang pernah mencintaiku. Tapi raganya tak bersamaku. Apalagi hatinya. Kesatria, apakah kau rasakan yang aku rasakan kini?

Kesatriaku kini lebih mencintai bayangan semunya. Yang dia yakini itu nyata. Nyata bagaikan makhluk astral yang bahkan kau sentuh wujudnya saja kau tak mampu. Sementara aku, yang bisa kau ajak bicara, berbagi, kau sentuh, bahkan kau peluk.

Kesatriaku kini sedang terbuai dengan nostalgia indah yang menghujam jantungnya. Setelah terbuai dengan istana yang pernah kita buat yang kini telah menjadi menara tua yang berdiri tegak dalam kematian, tetapi tak lupa cara hidup dan bertahan.

Kesatriaku kini sedang menari indah bersama pacuan kudanya mencari sosok putri yang hilang itu. Menari melihat semua keindahan dunia yang terasa hambar. Bersama hati yang tak pernah utuh bersama langkah kecil ragu nan malu yang dulu pernah pertama kali menyambangi menara tua ini dan menjadikannya istana megah. Kesatriaku ini sedang sibuk mendustai hatinya. Memakai topeng untuk membuatku pergi dan melepaskannya. Sibuk dalam kehidupan hampanya. Sibuk mencari jawaban atas pertanyaan yang sampai kini belum terjawab. sibuk mengatakan tidak bahwa sesungguhnya inilah jawaban yang sedang ia cari selama ini.

Kesatria, aku takkan pernah berpaling pergi. Semua kesakitan yang kau buat untukku justru semakin membuatku kuat untuk tetap menunggu kau kembali kemenara ini dan mengubahnya menjadi istana kembali.

Neptunus, sampaikan salamku untuknya. Sampaikan bersama riak ombakmu yang riuh, seriuh rindu ini meronta kepadanya. Sampaikan bersama makhluk lautmu bawakan cintaku untuknya yang mungkin akan melelahkan makhluk-makhluk lautmu. Sampaikan bersama perahu kertasku, layarkan kenangan dan mimpi kita kedalam dermaga hatinya. Yakinkan padanya bahwa mimpi itu akan tetap berlayar tanpa bayangan busuknya itu.

Neptunus, aku masih mencintainya. Dan malam ini aku merindukannya.

Rabu, 19 September 2012

Kesatria part 2

“You always be mine”
“You’re amazing”
*berbagai variasi emotikon titik dua bintang ataupun kurung kurawa dan kurung biasa

Setidaknya itu sepenggal kata-kata yang kau pernah utarakan setiap satu per seribu detik setiap harinya. Kau ucapkan itu ketika kau masih mengagungkan kerajaan yang kita bangun bersama atas nama mimpi dan Dewi Lestari. Kisah kesatria kali ini tak sebahagia itu. Kini berbanding terbalik. Kisah ini bukan tentang kesatria yang sedang jatuh cinta lagi. Kisah ini tentang kesatria yang kini harus melanjutkan perjalanannya. Menemukan kembali putri lain yang harus ia selamatkan dalam tidur panjang tak berkesudahan yang menyakitkan itu. Ternyata bukan singgasanakulah yang mampu membuatnya bertahta. Akhirnya kau merasakan kerapuhan dalam istana megah kita. Terjebak dalam satu tanda tanya besar yang akhirnya memaksamu untuk memacu lagi kudamu untuk mencari jawaban dan titik akhir atas tanda tanya tersebut. Meninggalkan aku yang harus kembali lagi dalam kematian panjang. Mematikanku, walau kau sempat menghidupkanku dengan mimpi dan istana megah itu. Sekarang yang ada hanyalah menara berlumut yang mengurungku kedalam gravitasinya. Kuhabiskan hari dengan menatap perahu kertas kita yang kini melayang bagai arwah, mimpi kita, Dimas dan Reuben yang hendak menjadi nyata, proyek-proyek gila, tawa malam. Semuanya kini menjadi abu dan kekal dalam buku saja.

Kita pernah ada diposisi yang sama, namun kini aku bisa mendapatkan jawabannya. Tanpa perlu mencari. Sementara kau masih dalam kurungan tanda tanya yang masih menghantui dirimu. Aku tahu bagaimana rasanya. Sehingga kau harus mencari lagi jawabannya. Dan menjadikanku hanya sebagai persinggahan sementaramu untuk melepas lelah. Setelah kepergianmu membuatku kini harus memilih menjadi Agen Neptunus sesungguhnya. Tugasku sekarang menuliskan apa yang aku rasakan untuk kusampaikan pada Neptunus dengan bentuk perahu kertas. Kualirkan dimana terdapat aliran air, yang aku yakini kalau nantinya semua aliran itu akan berakhir dilautan dan semoga sampai kepadamu, Neptunus.

Kesatriaku, selamat jalan. Paculah kudamu sampai kau temukan titik itu. Titik atas akhir dari semua jawaban tanda tanyamu. Titik atas akhir belenggu nostalgiamu atas putri yang meninggalkanmu tanpa surat itu. Yang wajahnya masih berseri didepan mata fikiranmu. Selamat menikmati titik gravitasi yang menarikmu kembali kedalam jurangnya. Perjuanganmu untukku memang cukup sampai disini. Kontrakmu untuk ada di istanaku memang sampai disini.

Kesatriaku, menaraku akan selalu terbuka untukmu. Dan ketika kau lelah dan ingin kembali. Kembalilah. Aku akan tetap ada didalam menara ini untuk menunggumu sekuat yang aku mampu dalam matiku. Kehilanganmu memang sudah jalanku, entah sekarang ataupun nanti rasanya akan sama saja. Perih. Ini hanya masalah waktu.

Minggu, 26 Agustus 2012

Kesatria part 1

Engkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal hidup. 
Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara. 
Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara. 

Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian. 
Gerakmu tiada pasti. Namun, aku terus disini. Mencintaimu. 

Entah kenapa. 
-Supernova, Dee Lestari 
(Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh) 

Aku sehabis mati. Sakit meratapi cinta yang hilang. Lupa bagaimana bertahan hidup, berdiri, dan bernafas. Kini aku seperti menemukan obatnya. Seperti jawaban tersirat atas segala doa dalam sujudku. Kesatria abad 21 yang dengan gagah beraninya membuka jeratan hutan lumpur hidup yang mencekik kehidupanku yang menunggu mati. Memberikan nafas baru untukku. Mengajariku kembali bagaimana cara berdiri, membuka mata, dan yang lebih penting bagaimana cara hidup. Ini hidup kedua. Kesatria yang datang dengan seribu langkah kaki kecilnya. Dengan ragu malu menghampiri putri kecil usangnya. Membangunkannya dari mimpi penyihir tua yang gelap mata. Kau hadir dengan berjuta mimpi dan berbagai masa depan indah yang menggoda, membuat ku yakin untuk merasa nyaman didalam rengkuhanmu. Kau bagaikan semilir angin pagi yang mengusik pipi ketika jendela pagi mulai tersibak. Mendesir halus dan memaksa jiwa kantuk ini pergi dan bersiap untuk hidup hari ini. Kau buatkan aku istana dan kau jadikan aku ratunya. Sebuah istana yang dibangun atas nama cinta. Sebuah istana dengan pondasi Supernova dan luka, dimana Dewi Lestari yang menjadi model panutan dalam pola pikir pemerintahannya. Dengan berbagai serpihan mimpi kecil didalamnya yang memberontak dan menunggu untuk terwujud. Menjadikan kita berdua berada dalam satu dimensi yang direguk bersama ruang waktunya. Berkhayal untuk menjadi Dimas dan Reuben dalam salah satu kisah Supernova. Kesatria ini membuatku percaya bahwa akan ada hari esok. Membuatku bisa menjadi pemimpi. Hanya dengan mimpi itu aku akan hidup esok. Memiliki sebuah proyek-proyek kecil dengan ide-ide gilaku. Kesatria yang menilai ideku sebagai sesuatu yang hebat. Mengira kalau putri yang telah ditolongnya adalah orang yang hebat. Padahal kesatria itu sendiri yang membuatnya hebat. Dan dengan satu sama lain mereka akan jadi pasangan yang paling dicemburui diseluruh dunia. Sementara diluar sana sedang ribut mengejar kehangatan libido. Kesatria dan putrinya ini terbuai dengan kehangatan istana yang mereka bangun. Tetaplah bersamanya, Kesatria. Nafasnya hanya untukmu, denyut jantungnya mendenyutkan asmamu.

Siapakah anda gerangan?

Doaku seakan terkabul dan terjawab. Entah apakah selama ini aku berdoa dan meminta apa pada-Nya? Aku seperti melihat sebongkah cahaya titah Tuhan. Yang membuatku kembali percaya untuk mempercayainya. Gamang hati ini lenyap seketika. Seperti menemukan lembar jawaban yang turun dari langit ketika maraknya ujian kognitif disekolah atau dikampus sedang gencar-gencarnya diadakan. Bak perayaan besar maha dewa. Lembar jawaban yang tak tahu pasti kebenarannya. Hanya mampu diyakini dan dijalankan saja petunjuk isinya. Bukan jawaban hakiki mengenai hidup dan cinta ini. Entah rasa ini yang berkecamuk didalam hati ketika kubuka laman media elektronikmu yang terdahulu. Kau jadi pemabuk cinta untuk seseorang yang kau rindu. Mungkinkah ini cemburu? Memburu bagai prajurit diburu peluru. Yang kubisa baca dari kata-katamu, hatimu masih tetap memujanya. Bukan tentangku, apalagi tentangmu. Ini tentangnya yang seolah kau puja dan kau sholawatkan sepanjang nafas dan tarikan pagimu saat membuka mata. Menyesakkan membaca tulisanmu. Membuat mataku berkaca.

Rabu, 22 Agustus 2012

Sebenarnya utuh?

Berhentilah merasa hampa. Berhentilah minta tolong untuk dilengkapi. Berhentilah berteriak-teriak ke sesuatu di luar sana. Berhentilah bertingkah seperti ikan di dalam kolam yang malah mencari-cari air. Apa yang anda butuhkan semuanya sudah tersedia. 

Tak ada seorang pun mampu melengkapi apa yang sudah utuh. Tidak ada sesuatu pun dapat mengisi apa yang sudah penuh. Tidak ada satupun yang dapat berpisah satu sama lain. 

Tinggal kemauan anda untuk mampu MENYADARINYA, atau tidak. Temukan kenop Anda, dan putar.

-Supernova, Dee Lestari
(Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh)

Selepas Kemenangan

Hari ini terik, seterik tanda tanya saya padamu. Tanda tanya akan semua pertanyaan besar yang selalu mengejar saya, memojokkan saya disudut gelap nan temaram itu. Bersama beberapa gemerisik rasa rindu akan bulan Ramadhan yang sudah beberapa hari yang lalu kulewati dengan mencari segepok uang yang kini tinggal sisa-sisanya saja. Rindu akan berkahnya yang tak henti bergelimangan bagi mereka yang mampu menahan segala ego dan hawa nafsu hingga matahari lelah diufuk timurnya. Saya rindu hiruk pikuknya. Dimana semua tak henti-hentinya memenuhi pundi amalnya dibulan yang baik ini. Dimana semua tumpah ruah kejalan untuk mengagungkan nama-Nya keseluruh penjuru sudut kota ini.

Saat itu pula kumampu mengambil sebuah keputusan besar untuk kisah ini. Terlalu lelah saya berlari, mungkin ini benar-benar waktunya untuk berhenti. Berhenti mencintai rupawan saya, berhenti mengagung-agungkan janjinya. Berhenti untuk mengarungi kidung cinta ini. Berhenti untuk lebih menggoreskan pisau karat dihati ini. Berhenti memelihara bom waktu yang siap meledak kapanpun. Berhenti dari segala perasaan yang sesungguhnya saya tutupi dengan wajah palsu. Luka bernanah yang saya tutupi dengan kapas lembut. Luka yang tetap saja membuat saya mengerang dalam senyuman apabila tersentuh ataupun terusik.

Berakhir dengan diam yang panjang. Tak ada jawaban sepakat atau penolakan dari rupawan saya. Saya jahat? Saya malah berfikir ini adalah maunya. Yang saya lihat hanyalah beban untuk tetap berada disamping saya. Beban untuk membahagiakan saya. Kemanakah kau wahai rupawan saya? Diam seribu bahasamu takkan menyurutkan niat saya untuk pergi darimu, melepas mimpi-mimpi indah itu. Saya sudah muak menggunakan wajah palsu ini. Gerah. Begah. Menjadikan muka dan hidung saya tidak bisa bernafas dengan lancar. Keputusan ini sudah bulat kasih. Izinkan saya mengarungi hidup dengan hati rapuh ini sendiri. Walaupun saya tahu hati kecilmu ingin menemani saya sampai penobatan itu. Biarkan saya mencari rupawan lainnya. Hidupmu bukan untuk saya. Dan pikiranmu bukan untuk juga mengerti perasaan hati rapuh nan manja ini. Biarkan yang lain mencoba untuk mengerti kisah rapuh ini.

Minggu, 12 Agustus 2012

Gulita

Gulita kini ada dihadap mataku. Tak kulihat setitikpun bayangmu disana. Kau kini semakin mengabu saja sayang. Rupawanku kini tak lagi rupawan, seperti sisa remah waktu ini. Waktu yang pernah kuutarakan sebagai waktu yang membelenggu untuk merasakan rindu yang candu. Waktu yang pernah kau banjiri hati ini dengan iming-iming masa depan yang menggoda. Waktu yang kau pernah janjikan untukku untuk kita habiskan berdua yang kini telah kau habiskan sendiri. Waktu yang kini kusaksikan dengan sebuah tugas baru. Melupakan mimpi menggoda itu dan mengebalkan hati ini tentang rasa sakit itu. Aku tahu kau mencintaiku sayang, tapi aku tak bisa merasakannya. Apalagi melihatnya. Tapi apa tak tabu untukmu untuk melihat orang yang kau sayangi mengais sisa-sisa debu jalang tuan-tuannya? Setiap malam hanya kehangatan itu yang kutuju. Bersama rupawan lain yang tak ku ketahui siapa gerangannya, seluk beluknya. Hanya untuk malam menghisap seluruh libido ini kemudian pergi kejalang yang lain.

Entah rasa apa yang sekarang masih tersisa untukmu. Bahkan kehilangan berita-berita darimupun aku kini terbiasa. Ingin sekali rasanya ku berlari. Mati. Kemudian hidup lagi tanpa sedikitpun sisa ingatan tentangmu. Berharap kalau pertemuan itu tak pernah terjadi. Berharap bulan-bulan kemarin itu bukan kuhabiskan bersamamu. Rasa ini terkikis ombak waktu yang setiap hempasannya kau hempaskan menabrak karangku. Menjadikannya semakin kokoh dan berkerak untuk merasakan riakmu. Seperti singa dalam kandang. Kuat namun lemah dibalik jeruji besi yang menahan setiap ruang geraknya. Tertarik kuat pada sebuah gravitasi pada pawangnya.

Selasa, 10 Juli 2012

Beda Aku dan Kamu

Aku: Feminin. Terlalu berperasaan menjadikan semuanya terasa melayu dengan iringan lagu sendu disetiap kisahnya. Jam terbang kelas ayam kampung. Dikenalkan cinta dengan pengkhianatan yang sampai detik ini pengkhianatan pertama itu tak aku temukan jawabannya. Mengenal cinta yang busuk, menghasilkan hati rapuh yang sekarang menjadi budak-budak kekasih selanjutnya. Tak menghasilkan suatu prestasi apapun dalam kisah cinta yang dijalani. Memang bukan terlahir dari keluarga yang ortodoks, tidak mapan. Minim fasilitas yang mampu mengajarkan tentang hidup, bahkan untuk hidup yang didalam mimpi. Bukan keluarga yang kuat dengan latar belakang penjaga-penjaga gerbang dunia ini. Manja. Aku tidak bisa hidup tanpa menyender dipundak seseorang, butuh uluran orang lain untuk berjalan melahap kehidupan.

Kamu: Maskulin. Menggunakan logika menjadikan semuanya terasa ringan dijalani dengan iringan lagu enerjik disetiap kisahnya. Jam terbang kelas burung elang. Dikenalkan cinta dengan ribuan bunga-bunga wangi, pujaan-pujaan dari pencintamu yang setiap kisahnya mengelu-elukan namamu. Dikenalkan dengan berbagai macam kejujuran dan hal indah lainnya yang tanpa harus berakhir dengan merasakan sebuah pengkhianatan. Mengenal cinta yang indah, menghasilkan hati yang kuat yang sekarang menjadi tuan-tuan untuk kekasih selanjutnya. Punya satu prestasi gemilang dalm kisah cinta. Mencintai dan dicintai rupawan sejagat yang dielu-elukan media, dan pernah menangis mengharap cintamu. Terlahir dari keluarga yang ortodoks, mapan, berlatar belakang kekuatan penjaga gerbang dunia. Punya semua fasilitas untuk belajar tentang hidup baik yang didunia mimpi maupun nyata. Mandiri. Bisa hidup diatas kaki sendiri untuk berjalan bahkan berlari melahap kehidupan.

Aku, Kebahagiaan

Kebahagiaan itu apa artinya? Sampai sekarang saya tak pernah bisa menemukan definisi sakleknya. Bukan saya tidak pernah bahagia, munafik sekali kalau saya berani mengeluarkan pernyataan semacam itu. Berapa juta nikmat dari-Nya yang sudah saya khianati kalau-kalau saya berani menyatakan hal itu. Banyak yang bilang kebahagiaan yang hakiki itu diri kita sendiri yang buat, yang ciptain. Orang lain hanya perantara, cuma alat. Kalau dari yang saya pelajari dari seorang teman, bahagia itu cuma kita sendiri yang bisa nyiptain, gak usah berharap dari orang lain. Karena orang lain itu gak lain gak bukan cuma seperti orang-orang yang setia nunggu bis dihalte. Datang terus pergi, datang lagi terus pergi lagi gitu aja sampe akhir hari.

“Kebahagiaan yang sebenarnya itu dari diri kita sendiri yang ciptain, bukan dari orang lain” –Rezal, seorang teman

 Lelah. Entah lelah apa yang saya rasakan sekarang. Lelah dalam mencintai rupawan saya. Lelah menunggu hingga akhirnya smartphone saya berdering menyerukan pesan singkat darimu, yang kedipan merahnya membara untuk saya buka. Lelah melihat barisan kata-kata yang selalu memenuhi kotak masuk pesan saya dengan nama yang sama, yang sewaktu kadang saya harus menyibukkan diri beberapa menit untuk memfilter pesan mana yang layak disimpan dan mana yang tidak. Lelah berkutat dengan segala fikiran aneh dan jahat tentang rupawan saya ketika dia jauh. Lelah mendengar kata-kata manisnya yang kadang hanya sekedar pesan singkat pengantar tidur kekasih sekolah menengah pertama. Lelah mengerti jam terbangnya yang setinggi langit itu. Lelah mendengar janjinya untuk bertemu saya dengan embel-embel berbagai prioritas lainnya. Tetapi saya tak lelah mencintainya. Ingin berhenti. Bukan berhenti mencintainya. Semacam perasaan ingin berhenti disuatu tempat yang nyaman tanpa hiruk pikuk kelelahan diatas. Ingin berhenti dipelukan hangat yang merengkuh saya tiap malam atau mungkin setiap saya merasa lelah dalam berlari.

Bertanya kepada diri saya sendiri. Yang akhirnya saya mengerti kalau kelelahan itu semata hanya untuk sesuatu yang saya sebut bahagia. Saya menemukan bahwa bahagia dalam mencintai seorang kekasih seperti ini rasanya. Nyaman. Ingin berada dipelukan yang nyaman, bercerita tentang hari. Entah hariku ataupun harimu. Bersandar setelah sepekan saya berlari, berputar dengan aroma tubuh maskulin dan dapat saya dengarkan detak jantung tak beraturan itu. Setidaknya itu definisi bahagia dalam kamus cinta saya. Kadang memang saya ingin menjadi prioritas dalam hidupnya. Seakan ingin tertawa terbahak-bahak depan muka saya kalau tiba-tiba saya memikirkan hal bodoh bin dungu ini. Saya bukan siapa-siapa, hanya orang luar yang datang dan minta untuk dicintai. Cuma orang luar yang datang dengan modal hati yang rapuh dan merengek supaya dia bisa menguatkannya.

 Setidaknya saya tidak meminta langit, bulan, atau matahari. Saya hanya meminta pelukan itu, yang mewakili segalanya. Segala rasa, keluh kesah, canda tawa, waktu yang seharusnya bisa direngkuh bersama dalam raga.

Rabu, 04 Juli 2012

Jakarta

Jakarta, malam ini kamu ulang tahun ya? Selamat ulang tahun untukmu yang ke485 tahun ya. Semoga kamu makin menjadi kota yang nyaman bagi penguasa-penguasamu. Jadi kota yang kuat untuk terus menggendong piranti-piranti penguasa itu. Makin kuat merasakan atmosfer pergerakan-pergerakan kecil sampai yang besar dalam tubuhmu. Aku yakin kamu pasti lelah. Menjadi saksi bisu berbagai rentetan peristiwa. Menjadi saksi akan semua topeng dan kebusukan yang semakin meradang dijaman ini. Kadang juga menjadi saksi untuk berbagai keindahan dan kemanisan yang bergentayangan didalam garis waktumu. Dimana yang setia padamu hanya pagi dan senja. Kedua utusan titah Tuhan itulah yang bergantian menjagamu. Bergantian tak mau kalah menemani garis waktumu hingga hari ini.

Jakarta, dimalam ini dimana kau berulang tahun. Disaat semua penguasamu memberikan hujatan selamat yang bertubi-tubi padamu. Diselingi dengan berbagai pengharapan indah, perspektif hal baik untukmu kedepannya nanti. Aku ada disini dengan lidah kelu. Bukan melulu untuk mengungkapkan cinta. Tapi untuk mengungkapkan apa yang kurasa. Entah, aku tak mampu mengungkapkannya. Berbagai kata, frasa, gramatikal, dan semua ilmu tentang bahasa itu seakan hilang dari bumi ini. Membuatku sekejap menjadi tuna wicara yang dungu. Jakarta, ingatkanlah dirinya lewat sudut-sudut tuamu. Temanilah dirinya lewat angin-angin dan deru-deru dirimu. Dan yang terpenting sampaikanlah kata-kata kelu ini: Aku ingin bersamamu!

Menikmati riuhnya hari jadimu. Menikmati hiasan api langit malam buatan penguasamu yang disebut kembang api. Dan akhirnya merengkuh malam setelah keriuhan itu sudah menjadi malam yang temaram.

Rindu part 4

Waktu yang membelenggu membawa aku dalam rindu yang candu. Candu yang mematikanku, menjadikanku debu. Seperti api yang menggebu-gebu menunggu untuk kau aku.

Rindu ini mencekam. Membuatku tertekam didekapannya. Barisan kata itu yang kau rekam, yang kini kau bekam untukku. Membuatku mendekam dalam sekam yang kelam.

Wahai waktu ingin sekali kurengkuh dirimu. Bersama waktu yang walau hanya dengan beberapa menit saja bisa menemani rindu ini. Berada dalam satu dimensi waktu yang sama, dengan detik dan menit yang selalu berkejaran membentuk notasi waktu. Waktu sampaikanlah bahwa rindu ini memang miliknya seorang, miliknya semata, dan tunggal untuk segala nyeri yang bersamaan dalam rindu ini. Hanya kau waktu yang harus kumenangkan agar kubisa mendekap dirinya, sesuatu yang kurindukan itu. Waktu mengapa kau indah menari-nari disana, mendekapnya dan menjadi dewa untuknya. Mengapa kau tak menjadi dewaku untuk sejenak. Peluk aku waktu. Biarkan kau menari-nari disini, berpihak padaku. Sejenak saja aku jadi hambamu. Hamba yang haus akan pengobat rindu itu. Ini bukan perkara hidup atau mati. Perkara rindu yang sudah tak tahu lagi bagaimana cara mendekapnya hangat. Menuntunnya pulang kepangkuan kediaman hangatnya. Berhenti mencari-cari, mencaci maki. Entah dengan bantuan apalagi rindu ini bisa jinak. Lagi-lagi waktulah yang harus berpihak padaku. Menjadi pawang untuk rindu ini.

Rindu part 3

Sore ini bersama kelabunya awan yang akan tergantikan malam, dengan angin laut yang akan setia mendampingi kemarau musim ini. Rindu ini meradang kembali. Bukan meradang lagi malahan, mengiritasi. Menjadi luka bernanah dan borok. Menjadikannya jeritan malam yang panjang, seperti jalang menyerukan tuannya. Saya sangat rindu rupawan saya. Saya ingin sekali melihat wjah rupawan itu yang kini membuat mata saya buta dan tak bisa menilai rupawan lainnya. Rindu ini memberontak bagaikan rakyat dibelenggu feodalisme. Ingin merdeka. Menyerukan apa yang memang seharusnya diserukan. Hingga akhirnya mengantarkan rindu yang mengiritasi itu manjadi sebuah latar belakang terjadinya perang antara saya dengan rupawan saya. Ketidaktahuan saya tentang rupawan saya, sebuah cerita yang tak terungkapkan. Sebuah kisah yang tak tersampaikan tapi ingin untuk dipahami. Dimana kesalahpahaman yang menjadi medan peperangan. Ego akan keinginan untuk dimengerti yang menjadi panglima dalam perang ini. Dan ego itu pula yang menjadi raja yang harus dilindungi keselamatannya. Perang ini takkan usai kalau memang kita tak mau mengerti satu sama lain. Hanya dengan mengalah mungkin bisa meredam peperangan ini. Seperti pada hakikatnya, perang hanya menghasilkan derita semata. Derita yang menimpa saya dan rupawan saya. Rindu ini yang memang sampai kapanpun tak akan pernah bisa terobati. Hanya dapat mengiritasi dan meluka. Hanya dapat terobati ketika rasa itu mungkin mati nanti. Dan kisah yang tak tersampaikan darinya yang sampai detik ini saya juga tak tahu apa isinya. Hanya bisa menunggu dimana hari itu datang. Hari dimana sebuah perjanjian akan diikatkan dalam kalbu, tentang biduk ini. Perjanjian yang akan mengajarkan untuk lebih baik atau untuk ikhlas.

Sabtu, 19 Mei 2012

Rindu part 2

Malam ini kuamati detik jarum jam dinding itu. Berkejaran ketiganya menuju puncaknya. Lingkarannya mengingatkanku pada satu rasa yang sekarang telah ada yang memiliki. Lingkaran itu yang mencerminkan rasa ini padanya yang tak akan ada cabangnya apalagi ujungnya. Bentuk sempurna, dimana juga tak ada celah untuk yang lain masuk menjadi bagian ceritanya. Memutar, mengelilingi hidup ini sekarang. Kembali kedetiknya, membuatku menghiitung sudah berapa detik aku menunggu kehadirannya. Sudah berapa ratus bahkan ribuan detik hati ini tak pernah berhenti merindukan sosoknya. Menantikan kabarnya.

Apa kabar pujanggaku disana? Yang selalu melantunkan nada-nada manis untukku. Yang hanya lantunan suaranyalah yang mampu meredakan nyeri rindu ini. Sedang apa disana pujanggaku? Diperaduan mahsyurmu pastinya. Hari yang kau lewati tanpa diriku. Apakah pernah aku terlintas dalam fikiranmu? Bagiku itu setiap saat, bahkan setiap nafas hanya asmamu yang kusebut bersama dengan nama Sang Pencipta. Hanya dua kali dua puluh empat jam kita bersama dalam sepekan, awalnya. Sekarang hanya satu kali dua puluh empat jam sepekan, bahkan tak jarang hanya dua belas jam. Bagiku itu tak cukup sayang. Bisakah mengerti ini? Pasti. Walau kau tak menyebutkannya. Bukan aku ingin protes, apalagi memberontak. Hanya ini mengeluh kalau obat nyeri ini berkurang satu kali dosisnya. Kapan aku bisa sembuh dari nyeri ini? Malam ini, nyeri itu kambuh lagi, dititik puncak nirwana rasanya. Membuncah seperti letusan gunung berapi. Lavanya membasahi pipi, lavanya memanaskan mata. Hanya kau, obat itu. Penawar racun nyeri ini.

Terlepas dari nyeri itu, aku mengerti kasih. Kau jauh untuk mengejar mimpimu. Bukan untuk mencari pemenang hatimu yang lain. Merangkai hidup indah untuk kita. membawa aku masuk menjadi salah satu tujuan hidupmu saat ini. Tak ada yang bisa kulakukan selain menemanimu selalu dalam perjalanan meraih puncak tertinggi itu, itupun jika nanti kau masih mau. Aku percaya sayang, kamu memang tak ingin menyakitiku. Bukan hanya kata biasa yang keluar dari bibirmu, tapi kata yang memang keluar dari tekadmu.

Jumat, 11 Mei 2012

Rindu part 1

Rindu ini melanda duniaku. Mana kata orang rindu itu indah? Bagiku ini benar-benar menyiksa. Terhempas diudara, kosong melompong. Bukannya aku takut rupawanku lepas dari genggaman, hanya saja aku takut tak mampu menahan rindu ini. Menjadikannnya bom waktu yang menunggu meledak. Rindu ini memnbuatku terkulai. Lemah seperti dehidrasi. Kekurangan sesuatu yang tak terdefiniskan lagi maknanya. Rindu ini hanya satu penawarnya, rupawanku. Rindu ini serba salah. Kata orang hakikatnya penawar rindu itu bersua. Menurutku hal ini hanya menambah kerinduan berkali-kali lipat dari sebelumnya. Ingin rasanya berada dipelukannya sekarang. Menghempaskan seluruh kerinduan ini bersama nafasnya. Hingga sampai dia mengerti betapa dalamnya rasa ini untukknya. Hingga sampai rindu ini mati.

Selasa, 10 April 2012

Kau

Kau peluk aku seperti bayi, mungkin kau mengerti kalau aku rapuh. Sekejap kau larutkan aku dalam ragumu. Sebuah tanda tanya besar yang siap dilontarkan sedahsyat bom waktu, datangnya dari kepercayaan yang kau gugah dan kau usik kenyamanan peraduannya. Membuatku merasa seperti menjaga cinta ini sendiri. Orang tua tunggal atas rasa ini. Membuat kutermangu dalam harap, andai saja disetiap cinta ada penawar luka. Mungkin sakit hati takkan pernah terlahir didunia ini.

Namun setiap ragu ini membara dan membahana, kau datang membawa embun kesejukan untuk meredamnya. Menjinakkannya seperti anak anjing kecil dipelukan puannya. Kaulah yang membuatku meleleh dengan kata-kata indah. Kaulah yang membuat hati ini percaya. Membantu menemukan hati ini bahwa memang kata setia itu masih ada disela-sela nafas yang tersisa ini. Kau jualah yang berjanji untuk tidak menyakiti hati rapuh ini. Berjanji tak akan kalah oleh kenanganmu itu. Kenangan yang berselimutkan dan beriringan dengan rupawan-rupawan itu. Kau yang kini bersamaku, bukan siapa-siapa. Tapi kaulah yang menjadikanku bukan siapa-siapa menjadi sesuatu yang siapa. Kau yang membuatku berjanji bahwa cintamu untukku itu memang berharga, yang membuatku belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Kau yang mungkin selalu lelah dengan kemelankolisanku. Kau yang mungkin selalu lelah dengan sifat anak kecilku. Kau yang dengan hati lembut itu, menerima siapapun yang kau peluk sekarang. Baik buruknya, indah jeleknya. Kau yang menyakinkanku bahwa memang cinta sejati itu memang ada. Kau yang mengajariku, mengimamiku dalam religi. Sebelum kau bukan menjadi milikmu untuk kuserahkan kau dipelukan jodohmu. Izinkan aku jadi yang terakhir sebelum kita berjalan kembali dititian yang seharusnya.

Wahai kau, inilah aku. Bukan siapa-siapa yang selalu berusaha disetiap nafas yang ada untuk menjadi yang terbaik untukmu dan untuk mereka.

Selasa, 03 April 2012

Baca hati ini, ini tentang saya

Rupawan itu yang saya peluk sekarang. Rupawan itu yang menjadi salah satu alasan saya bisa berdiri sampai hari ini. Dan rupawan itulah juga yang sangat sempurna yang saya miliki sekarang.
Membuat saya semakin kecil. Berkaca kembali. Cermin yang seakan membelenggu saya disetiap sudut jalan temaram ini yang seketika menusuk dan memaksa tubuh saya untuk berhadapan dengannya. Ketika kau ceritakan kisah lalumu yang indah. Ditemani berbagai rupawan lainnya yang kedengaran serasi dan menyejukkan dipandang mata. Rupawan yang bertemu rupawan lainnya. Serasi. Rupawan yang kau peluk dulu. Sangat indah dipandang dengan senjata yang sama indahnya dengan milikmu. Ada juga yang merupakan saudagar kaya yang uangnya mungkin takkan habis sampai turunannya yang ketujuh. Kemudian ada juga mereka yang menjadi pekerja seni. Mulai dari pelantun tembang, sampai peraga busana. Yang notabene mereka adalah sangat rupawan. Terawat. Yang mampu memberikanmu kesan indah, mewah, dan membuat dirimu sedikit berharga dengan materi melimpah itu. Belum lagi rupawan yang tak kau pilih hatinya. Mulai dari yang bergelimangan harta, sampai yang bergelimangan kerupawanan fisiknya. Dan hatinya untukmupun sebanding dengan apa yang saya dikte diatas. Mencintaimu. Menyayangimu.
Mengapa kau pilih saya? Saya tidak bergelimang harta, untuk makan besok sudah tersedia saja sudah lebih dari cukup untuk saya. Saya tak mampu memberikan apa yang mereka pernah berikan dahulu. Saya bukan rupawan yang indah itu. Tak lebih seperti gentong air yang lumutan hasil jeratan partikel-partikel air yang menemani saya setiap hari. Saya bukan siapa-siapa. Yang saya miliki hanyalah hati yang rapuh. Cinta yang besar untuk siapapun yang mau mencintai saya dengan tulus. Saya juga tidak pintar. Yang saya lakukan sekarang hanya berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Saya juga tak mampu memberikanmu cerita indah yang bisa kau kenang selama hidupmu. Menuliskan cerita indah untuk menemanimu dikehidupan lain.
Saya takut sayang. Bukan takut disakiti untukmu. Bukan takut kehilangan cinta itu. Saya takut kamu kalah sama kenangan. Kenangan sampai sekarang masih melekat kuat, terpatri dengan tinta emas dihatimu. Yang mungkin keberadaan saya sekarang sedang berusaha untuk mengikisnya. Takut kalau sebuah piranti itu menjadi jalan kau kembali mencari dia. Dia yang sampai kapanpun takkan pernah kusamai kedudukannya, baik didunia ini ataupun mungkin dihatimu. Kembali mencintainya. Membuat saya terjaga disetiap menitnya, bersiap kalau-kalau memang akan terjadi seperti itu. Entah perasaan ikhlas lagi yang akan saya kecap atau justru perasaan percaya dikemudian hari. Hanya Tuhanlah yang lagi-lagi mampu menghakiminya.

Filosofi Masker

Cerita ini bermula ketika saya kehilangan masker yang biasa saya gunakan untuk mengendarai motor. Menutup hidung dan mulut dari berbagai macam radikal bebas yang siap menerjang dijalanan. Namun tak lama kemarin masker itu raib, hilang, lenyap. Dan singkat cerita, ketika saya service motor untuk memeriksa bagaimana kondisi motor saya dibengkel. Tanpa saya kira saya mendapatkan sebuah masker hasil hadiah dari pembayaran jasa service yang saya bayarkan disana.

Seperti penggalan cerita diatas, dalam hidup ini memang sesuatunya ada yang datang dan ada yang pergi. Hampir seluruh elemen hidup ini juga kadang harus dikecap dengan rasa ikhlas. Begitu juga dengan kisah cinta yang akan saya bagikan digaris waktu yang saya punya ini. Saya kehilangan seseorang yang pernah mengisi hati saya kemarin. Sebenarnya bukan kehilangan dirinya, tetapi kehilangan cintanya. Kasih sayangnya untuk saya. Membuat saya pada saat itu terperangkap dalam kesedihan cinta. Saya menjadi lemah, bahkan untuk berdiri saja terasa nyeri diberbagai persendian saya. Sekelebat sempat saya berfikir bahwa matilah jalan satu-satunya untuk bisa menuntaskan perasaan yang mengganjal ini. Saya memang rapuh. Dan disakiti dengan berbagai macam metode sebenarnya sudah menjadi bagian dari cerita saya. Membuat saya kemarin berminggu-minggu tertahan dalam daya tarik gravitasinya. Saya munafik kalau mengira saya bisa bertahan tanpa balasan yang pasti darinya. Itu hanya terjadi di dunia dongeng sepertinya, yang biasa disebut orang cinta sejati. Kalau ada pepatah yang bilang cinta tidak harus memiliki sesungguhnya itu adalah pepatah orang tolol. Pada hakikatnya disetiap cinta ada ego dan keinginan untuk saling memiliki. Kemudian setelah saya berfikir. Saya sendiri yang harus memutuskan kemana hati saya akan melangkah. Dan akhirnya saya putuskan untuk pergi dari jerat gravitasinya.

Tuhan memberikan jalan lain untuk saya. Bertemu dengan cinta baru yang siap saya kisahkan mengarungi garis waktu ini. Semua cerminan pikiran saya, obsesi saya tentang sesuatu yang ideal itu ada pada dirinya. Terdengar feminis memang, saya menginginkan seseorang yang bisa menjadi imam saya menjadi yang lebih baik. Mengajarkan saya banyak tentang agama, mulai dari hal terkecilnya. Tertarik pada sebuah mahkota karisma yang membuat saya hangat berada disampingnya. Membuat saya menjadi utuh kembali. Saya berani lagi untuk menantang matahari. Menjadikannya alasan untuk saya bisa berbuat lebih baik dibangku kuliah. Ingin memberikan sesuatu yang membuatnya bangga selain untuk kedua orang tua saya.
Banyak yang bilang hati saya ini bajingan, saya tak peduli. Kenyataannya hati saya yang memilih. Bukan mulut, apalagi mata ini. Terlalu cepat untuk menerima cinta yang baru. Tapi itulah istimewanya cinta, bisa datang walaupun tanpa diminta begitu juga sebaliknya. Pergi sesuka hatinya.
Seprti filosofi masker. Semua yang ada dalam hidup ini, datang dan pergi.

Sabtu, 17 Maret 2012

Maret ini...

Bukan aku yang meninggalkan tapi ini tentang kamu. Bukan aku yang menyakiti tapi ini tentang kita. Cerita ini memang tentang meninggalkan dan ditinggalkan maupun menyakiti dan disakiti. Bukan cerita tentang mereka. Bukan cerita tentang fisik kita. Bukan pula cerita indah kemarin sore dibawah senja biru itu. Ini tentang kita, aku dan kamu.

Coba lihat hatimu yang keras seperti batu itu. Membuat aku tertarik dalam satu renungan tajam. Pikiran jahat yang merasuk seperti setan. Kamu mencari tempat nyaman dengan selimut yang kamu sebut sayang. Menjaga supaya hatimu tak lelah, tak tersakiti. Nyatanya hati ini yang tersakiti. Mengusung bahwa hal ini yang terbaik untuk kita. Bukan untuk kita. Coba perhatikan lagi kata "kita". Ini hanya untukmu. Kalau memang untuk kita tak seperti ini rasaku sekarang. Buat apa kau panggil diriku masuk dalam ruangan hidupmu itu? Kembali membuat ku berfikir jauh, apa arti diriku untuk hampir tiga bulan ini. Kamu bilang ini waktu yang singkat? Ini lebih dari yang terhitung dalam jumlah hari atau bahkan bulan. Maaf memang kenyataannya kamu sakit. Aku yang tak pernah bisa mengerti kalau rasa cintamu itu memang berarti. Aku ini memang buta. Setidaknya dengan mencintaimu aku tidak buta. Kamu bilang cintamu berharga. Banyak untukku. Mana? Hanya dalam beberapa hari saja kau bisa hidup tanpaku. Sementara aku? Mati.

Aku ingin hidup seperti tidur. Lupakan semua tetek bengek tentang asa nafasmu. Lupa dan lenyap dari segala seluk beluk dan angan dipelukanmu. Lupa tentang rasa yang masih sangat hangat menyelimuti hati ini untukmu. Lupa bahwa nafas, denyut, dan langkah kaki ini pernah mengumandangkan namamu. Tapi aku tak lupa cara bernafas, berdiri, tak lupa caranya hidup. Kenyataannya aku hidup bukan seperti tidur. Seperti mati.

Kadang aku memang ingin mati. Mati untuk pernah bisa merasakan cinta yang besar itu. Mati untuk semua kenangan indah untuk bisa mengikhlaskanmu. Mati agar tak kusaksikan lagi bagaimana rasa dan harapan itu kini telah tiada. Bukan tentang mati meninggalkan dunia ini. Tapi mati untuk cinta ini.

Kenyataannya aku tak mampu. Sekarang memang aku sudah mampu tersenyum, telah kutemukan nada dan irama hidup ini tanpa dirimu. Yang awalnya hanya matilah yang mungkin jalan terbaik untuk jalan ini semua. Jika saja kau bertanya siapa pemilik hati ini, jawabnya: masih KAMU. Maafkan aku jika memang kemarin kau tersakiti karenaku. Karena aku yang tak pernah bisa melihat bahwa kau punya cinta yang berharga. Namun sekarang sudah kulihat cinta berharga itu. Meski masih kurasakan walau hanya puing-puing kecilnya saja. Semoga saja Tuhan masih membukakan celah jalan untuk bisa merasakan cinta berharga itu. Merasakan puing-puing itu menjadi serpihan untuh kembali. Entah denganmu lagi, atau dengan yang lain. Kalau boleh aku memilih. Pasti kamu pilihan mati untukku. Aku serahkan semuanya pada penilai hati dan Tuhan.

Minggu, 26 Februari 2012

Percaya

Februari ini, agak sedikit lembab dengan butiran hujan yang tak lelahnya menyirami bumi. Sepertinya hujan sedang jatuh cinta pada bumi. Segalanya tercurahkan lewat rinainya. Tak terasa berapa tenaga yang dicurahkannya.
Tiba didalam satu renungan saya. Teringat satu pelajaran hidup yang sampai sekarang belum pernah bisa saya tamatkan, saya taklukan. Percaya. Apa arti percaya itu? Atau hanya sebuah piranti untuk dibohongi. Suatu kata yang memang tepat untuk dikhianati. Menjadi seorang yang bodohkah bila kita percaya? Menjadi keledai yang terbaring dalam lumpur dengan berbagai kenistaan darinya. Saya bingung apa yang harus saya kenakan dengan seragam ini? Hanya seperti dongeng penghias tidur. Seperti ucapan selamat malam raja pada umatnya. Nyanyian sang singa untuk para warga hutan yang takut akan gelap. Walaupun tiap malam saya coba belajar tentang ini. Membuat saya semakin terlihat bodoh. Seperti bodohnya orang jatuh cinta. Membuat terasa nyeri diulu hati. Tertusuk, merasuk.
Orang bilang saya manis. Tak semanis yang dikatakan sang puan itu. Hanya menjadi sebuah sarkasme yang terasa duri untuk dikecap maupun ditelan. Dengan berbagai kebahagiaan yang puan itu tahu. Didalam ini, masih ada tanda tanya besar. Tanda tanya yang menyeruakkan apa itu percaya. Yang memang pada hakikatnya memang berakhir kebohongan atau justru berakhir kebahagiaan. Kembali pada pilihan. Percaya, jujur, dan setia apakah menjadi suatu kewajiban atau pilihan? Hanya penilai hati yang berkuasa itulah yang bisa menjawabnya.

Kamis, 09 Februari 2012

Jawaban Terburu Memburu

Terburu dan Memburu. Setidaknya membuat saya tertampar karena perasaan ini yang seperti setan. Asing dan menjerat saya kuat. Membuat saya sangat tidak bisa berfikir jernih. Merasakan tamparan hebat akibat rasa asing setan itu. Rasa yang membuat saya mengelilingi malam sendiri tanpa tujuan. Menyambangi peraduannya yang sangat sulit saya tebak kejadian apa yang terjadi didalamnya. Peraduan yang mahsyur lengkap dengan gemerlap lampu merah menyala dan biru haru sebagai penyeimbangnya, lengkap pula dengan bidadari-bidadari malamnya. Membuat saya ingin berteriak didepannya bahwa saya sangat menyayanginya, saya takut kehilangannya. Kalau perlu membuat peraduan itu runtuh sehingga saya bisa melihatnya menyeruak keluar dan memeluknya dengan erat. Menjatuhkan semua rasa ini untuk dibagi dua. Saya tak sanggup menanggungnya sendiri.

Teringat berbagai komentar salah seorang teman saya. Bahwa hanya keluargalah yang memiliki cinta yang besarnya takkan ada tandingnya. Tak terkecuali dia, kamu, ataupun kalian. Merasa tertampar ketika mendengarnya. Tolol. Sempat berfikir untuk lebih memilihnya dibanding keluarga sendiri. Menangis. Sesak yang tak ada habisnya. Walaupun ini sudah berakhir sesaknya susah terobati. Membuat saya sepertinya harus pergi kepuncak gunung yang konon katanya udaranya sangat sejuk dan masih alami untuk dihirup. Setidaknya untuk mengurangi sesak ini. Teringat pula komentar darinya, dengan wajah geramnya yang membuat saya tertunduk malu dan meringkuk dipeluknya. Komentarnya atas keposesifan saya. Takutnya saya akan kehilangannya. Walaupun dia tidak berjanji untuk tidak menyakiti hati saya, setidaknya dia mencoba untuk menjaga hatinya untuk saya. Saya ingin lama dengannya. Tak mau cepat seperti terdahulu, yang saya rasakan hanya perihnya saja. Berjanji saling Percaya. Percaya, salah satu pelajaran tingkat dewa lagilah yang harus saya pelajari. Andai saja pelajaran ikhlas dan percaya itu ada ujiannya mungkin saya tidak akan pernah lulus ujian tersebut. Atau mungkin kalaupun lulus hanya mendapat nilai sekadarnya saja.

Tiba pada saat saya berfikir sejenak. Kamu dan Keluarga. Dua harta yang sangat mahal harganya. Dua harta dengan kadar kecintaannya masing-masing. Tak bisa disatukan hanya bisa dijaga agar cinta itu tidak berkurang. Dua bejana yang isinya sama sama penuh, yang tanpa saya sadari tidak bisa saya memlilih untuk mengurangi isi keduanya ataupun memecahkan salah satunya. Untuk kalianlah saya hidup saat ini, KAMU dan KELUARGA. I Love you, Pak Suman, Ibu Sarmiyem, Mbak Purwaningsih, dan kamu YP♥

Rabu, 08 Februari 2012

Terburu Memburu

Perasaan apa yang sedang saya rasakan ini? Baru saat ini saya rasakan perasaan memburu yang dimata yang lain bisa disebut perasaan yang terburu. Memang rasa ini memburu, tak mau lepas mengikat tubuh saya. Membuat saya kadang menjadi kuat, tetapi lebih sering membuat saya lemah. Membuat saya tidak nafsu untuk melakukan aktifitas apapun. Makan, selain memang sariawan saya yang semakin sakit digunakan untuk mengunyah. Dan akhirnya hanya diam sendiri dan menangislah yang mampu saya lakukan. Banci, pengecut, lari dari kenyataan. Aaaaah sindiran dan sarkasme yang sudah sering saya terima seakan menjadi camilan saya sehari-hari.

Awal dari cerita ini mungkin jatuh cinta. Saya memang benci fase hidup yang satu ini. Kau bertindak seolah-olah membutuhkan saya, mendorong paksa diri saya untuk masuk dalam kehidupan kau. Dan ketika saya sudah masuk kebagian paling dalam itu, merasuk disetiap sudutnya, mengakar seprti pohon tua. Mengapa kau menganggapku hanya seperti berdiri didepan pintumu saja? Seakan kau tak menginginkanku. Setelah saya merasa bahwa nafas ini hanya berhembus seiring asmamu. Setelah saya bertekad untuk lebih memilih kau dibanding keluarga. Apa lagi sekarang? Merelakan kau pergi. Jangan harap saya bisa. Saya pernah berkata dengan hati ini. Saya mau kau yang terakhir. Yang menemani saya disaat saya mengejar kata kesuksesan itu. Dan nanti disaat mentari sudah saya genggam dan hanya kaulah yang tetap berada disamping saya. Ada kau disaat saya membuka mata dipagi hari, dan kau juga disaat mata ini lelah. Cuma kau yang aku lepaskan dan aku relakan suatu hari nanti untuk seseorang yang diberi nama oleh Tuhan sebagai JODOH.

Saya takut kehilangan dirimu untuk yang lain. Saya hanya rela kau pergi dengan seseorang yang bernama jodoh itu. Yang Tuhan kirimkan hanya untukmu. Menjaga hidupmu sampai mati, yang kau lihat disaat tutupan matamu yang terakhir. Memang bukan saya. Saya sadar itu. Tapi izinkan saya menjadi salah satu yang terbaik yang pernah kau miliki dalam arungan dan pelayaran kehidupanmu.
Saya tidak mau rasamu untuk saya berkurang sepeserpun. Karena rasa ini semakin kuat setiap hari. Semakin mengakar. Saya tidak mau kau berubah karena rasa memburu ini. Mengertilah kasih, rasa ini memang datang dari hati yang memburu dan terburu untuk kau sambangi.

Senin, 30 Januari 2012

Anda Tuhan? Lakukanlah~




"Kita tidak berhak menghakimi mereka. Siapapun mereka dan bagaimanapun mereka. Kecuali kalau kau merasa kau Maha Esa."


-Endah Lestari

Minggu, 29 Januari 2012

Sabtu, 28 Januari 2012

Hari ini tepat hari sabtu. Sabtu yang mungkin menjadi salah satu Sabtu yang indah dalam hidup saya. Diawali dengan memburu waktu bersama sayap-sayap kecil terbaik saya. Bercengkrama, bergumul dengan indahnya kebersamaan dan tawa canda. Diselingi cerita sedih yang datang dari salah satu sayap kecil saya. Menjadi latar suasana dan panorama hati yang sangat indah dalam cinta. Panorama tentang keposesifan yang menuntun seseorang untuk takut kehilangan. Takut cinta sendiri. Sehingga membuat lemah luruh dan lelah semuanya terasa diujung yang sama. Dipelabuhan yang sama. Pelabuhan jenuh. Wahai sayap kecilku, sabarlah sayang. Sayapun pernah merasakan menjadi kamu. Belajarlah dari kesalahan. Belajarlah menyangkarkan burung emasmu didalam sangkar emas yang indah pula. Jangan kau pegang terlalu erat burung emas itu. Niscaya burung itu akan mati digenggamanmu. Kehilangan memang sesuatu yang sangat menyedihkan. Terlebih kita harus memyelipkan kata ikhlas disela-sela ceritanya. Seperti ribuan paku yang menusuk kaki bagi seseorang awam yang tak punya cukup ilmu untuk melakukan sihir. Saya tahu rasanya takut kehilangan. Dan saya mohon itu tidak terjadi padamu sayap kecilku, sayang.

Malam ini cerah. Sang malam sudah berganti. Memilih kecerahan dan angin semilir sebagai temannya dalam mengarungi karunia-Nya. Malam ini kuarungi bersama seseorang yang baru-baru ini masuk dalam hidup saya. Merasuk seperti setan. Yang kehangatannya selalu menjuluri tubuh saya lewat pori-pori ini. Kuhabiskan malam ini dengan menyambangi sang laut. Yang terlihat angkuh dan gelap dengan piranti lampu kuning temaram yang makin mempertegas keangkuhannya. Melihat sang laut yang ujungnya tak tahu seperti apa bentuknya. Sama seperti hatinya, tak pernah saya lihat ujungnya. Pikiran sayapun tertarik untuk menikmati masa lalu. Laut ini kembali menarik saya kebeberapa tahun lalu, kebeberapa bulan lalu. Saya sendiri. Hanya bersama teman-teman saya. Menikmati pantai ini dengan subjektifitas masing-masing. Menarik lagi semakin dalam kedalam ceritanya. Yang saya dengar dia pernah juga mengarungi pantai ini dengan kekasihnya terdahulu. Melempar koin bersama, saling mengucapkan janji suci bahwa itu akan abadi. Kekasih itu melakukan suatu pertunjukkan menarik. Menyimpulkan batang buah ceri dengan lidah. Yang menurut saya sesuatu yang jarang orang bisa lakukan. Terlebih pada hati kecil setiap orangpun akan mendambakan hal yang satu itu. Malam itu seakan laut terbelah dengan nyeri hati saya mendengarnya. Membuat seolah-olah sang angkuh itu bergejolak ikut merasakan ombang-ambingnya hati ini. Jangan tanya pada saya. Sayapun tak tahu mengapa seperti ini. Menjadi cengeng. Andai saja saya bisa berlari. Berlari keujung laut itu. Mengenggelamkan saya didasarnya. Rasanya sulit untuk itu seperti ada gravitasi dalam diri saya yang membuat saya memilih tetap berada disini dengan topeng super tebal supaya sayatan luka ini sedikit tertutupi.

Kembali saya berkaca. Siapa saya? Saya bukan kekasih yang pandai menyimpul batang buah ceri dengan lidah. Saya bukan kekasih yang menggunakan smartphone. Saya bukan kekasih yang bisa selalu bersama. Saya bukan kekasih yang berkulit putih. Saya bukan kekasih yang berbadan proporsional. Saya bukan kekasih yang pernah menguasai sang malam.
Merasa tak pantas saja berada disampingnya. Masuk kekehidupannya. Walaupun kenyataannya sayalah pilihannya. Membuat saya berfikir apa saya hanya pelariannya saja. Hanya pemuas nafsunya saja. Hanya penghangat tubuhnya. Persetan dengan semua pengorbanannya. Mungkin saja itu hanya bayaran setimpal untuk saya karena telah memenuhi kebutuhannya. Saya hanya punya cinta. Kasih sayang. Semoga itu cukup. Maafkan saya bila saya membuatmu malu. Hmmmm.... Andai saja gemerlap itu ada dalam diri saya. Saya rengkuh gemerlap itu dalam genggaman saya.

*Meskipun aku bukan siapa-siapa, bukan yang sempurna
Namun percayalah hatiku milikmu
Meski seringku mengecewakanmu, maafkanlah aku
Janjiku kan setia padamu, hanyalah dirimu
(Vidi Aldiano - Lagu Kita)

Minggu, 22 Januari 2012

Sekarang

Pagi ini saya suka warna birunya yang menyeruak berhamburan masuk lewat jendela kamar. Yang semburatnya sebentar lagi akan membawa sang biru menjadi oranye menyala yang bersiap menyinari kehidupan hari ini. Membuat saya merasa terhenti sejenak, walaupun waktu masih saja egois dan tak pernah ikut terhenti.

Mengingat pembicaraan semalam sebelum tidur, didalam pelukan hangatnya yang lembut. Seperti anak ayam yang didongengkan induknya sebelum tidur. Sebuah pembicaraan sederhana yang tersirat berbagai informasi menarik. Pembicaraan yang seharusnya sering ada dalam jalinan ini. Yang sangat sulit diunggah keberadaannya. Dalam kasusmu, tak pernah saya temui bagian ini. Membuat saya semakin nyaman, bertekad untuk menjadi yang lebih baik. Saling berjanji. Percaya. Semakin membuat saya merasa beruntung memilikinya, walaupun seribu lidah menghujat saya melakukan sesuatu yang kotor dan memuakkan. Saya tidak melakukan apa yang kalian fikirkan. Saya hanya merasakan cinta, yang selama ini sudah lama tidak saya reguk kesegarannya. Jika semua yang baca merupakan sebuah pembenaran, selamat bersenang-senanglah dengan fikiran kalian sendiri.

Disatu atap yang sama, yang bila saya tarik lagi kebeberapa jam yang lalu. Telah saya temukan keluarga kedua saya. Keluarga yang menerima apa adanya saya, menjadi seperti adanya saya. Kejalangan saya, ketololan saya, bahkan kemunafikan saya yang kalian dikte tempo hari. Semua terasa indah bila saling menerima dan mencintai. Tidak ada hujatan untuk saya, saya bebas menjadi merpati yang ingin meninggalkan jejak dimanapun yang saya mau.

Disore ini, ketika jingga sudah ingin kembali berjaya diselimuti oleh angin tipis, kutuliskan semua perasaan saya yang sebenarnya sudah meluap-luap menunggu meledak. Tapi cukup sepatah kata ini lah yang saya mampu tuangkan dalam bahasa manusia. Selebihnya masih menunggu, terbelunggu. Terima Kasih Tuhan, Kau buka mata saya bahwa dunia ini memang indah walaupun bukan dengan cara yang biasa Kau berikan pada yang lain. Jalan yang lurus. Setidaknya saya cukup menikmati permainan ini untuk sekarang. Untuk nantinya biarkan Tuhan yang menghakiminya. Tak berhak saya, dia, mereka, atau bahkan kalian.

Jumat, 20 Januari 2012

Saya benci jatuh cinta

Saya benci fase kehidupan yang satu ini: Jatuh cinta. Kalau ditela'ah yang namanya jatuh itu pasti sakit. Ya memang sakit tapi didalam peraga yang berbeda.
Jatuh cinta membuat saya jadi tidak bisa berfikir jernih. Kadang. Selalu ada fikiran takut kehilangan. Sisi anatomi egois saya muncul menyeruak. Membuat saya ingin selalu menjadi pemilik tunggalnya. Tanpa saya fikirkan bahwa dia juga punya kehidupan, dan yang terpenting dia adalah kepunyaan sang pencipta.

Jatuh cinta membuat saya jadi tidak fokus dalam menyelesaikan urusan saya. Terbagi dua. Bercabang seperti rambut diiklan pencuci rambut. Tidak tenang. Bayang-bayangnya selalu menari-nari. Mengitari setiap jaringan dan sel-sel otak saya.

Jatuh cinta membuat saya seperti orang idiot. Menunggu telepon genggam saya berbunyi, entah itu bunyi pesan singkat maupun panggilan suara. Tak jarang saya selalu berteriak didepan layarnya seperti memerintahkan seorang bayi untuk menangis. Aaaah saya benci menunggu. Benci sekali.

Jatuh cinta membuat saya menjadi gila. Sering tersenyum. Ini yang dinamakan rindu? Aaah kata orang rindu itu indah. Dimana letak keindahannya? Membuat saya hanya semakin tolol. Saya benci rindu, kangen atau apalah itu namanya. Saya benci kangen sama kamu.

Saya benci tidak berhenti memikirkanmu.
Saya benci menunggu pesan singkat ataupun panggilan suaramu.
Saya benci kangen sama kamu.

Sabtu, 14 Januari 2012

14 Januari 2012, Malam dan Hujan

Malam itu telah memutuskan untuk mempersunting malam dengan kelabunya dan hujannya yang rinainya sangat bergemuruh. Awan saja ikut menangis merasakan haru saya. Tanpa bulan dan bintang yang mungkin sedang merayakan semarak hati saya malam itu. Mengantarkan saya keperaduan yang sangat mahsyur untuk dipeluk ketika tubuh sudah terasa remuk di ulu-ulunya. Tentunya dengan dia yang datang mungkin untuk memberi warna untuk hidup saya yang selama ini kelabu dan abu-abu sperti klise film jaman perang dahulu. Dengannya membuat klise itu menjadi berwarna seperti hasil cetakan kamera masa kini yang diselipkan macam-macam piranti pelengkap dan fasilitas-fasilitas yang menggiurkan.

Teringat akan perjuangannya untuk saya, mukanya yang basah terkena rinai hujan yang mengamuk pada malam itu. Perjuangannya menerjang hujan dengan menggendong saya dipunggungnya. Erat pelukan saya padanya berharap bahwa ada sedikit hawa hangat yang saya alirkan untuk mencairkan dirinya yang terlalu beku untuk malam itu. Saya hanya bisa menunduk dibalik tirai penutup hujan itu yang mempersenjatai kami dalam melawan hujan yang tak terampuni lagi amarahnya untuk membasahi siapapun dan apapun yang tak berada diperaduan mahsyurnya. Ingin menangis, bahagia. Kali ini air mata ini bukan untuk menangisi sesuatu yang harus dilepaskan atau diikhlaskan. Melainkan bahagia yang saya pun tak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya.

Yang pada akhirnya saya memutuskan bahwa inilah mungkin pelabuhan terakhir saya. Seperti malam itu yang telah berani mempersunting sang hujan yang tanpa bulan dan bintang menjadi temannya saat itu. Saya putuskan bahwa inilah yang saya cari selama ini. Tak ada yang lain. Berjanji bahwa perjuangannya untuk saya tidak main-main, maka cinta saya untuknyapun tak akan pernah main-main. Mencari yang lebih rupawan lagi? Tak munafik menurut saya, tetapi sampai kapan kita akan terus mencari? Kalau mencari yang lebih dan lebih lagi tak akan pernah ada habisnya, tapi carilah yang sayang dengan benar-benar tulus terhadap kita. Maka kita akan menemukan satu titik tujuan itu. Kembali pada pengorbanannya untuk saya, yang bisa dikategorikan bahwa belum ada orang yang mau berbuat sedemikian rupa hanya untuk saya selain keluarga saya sendiri. Orang yang notabenenya adalah orang lain, tanpa ikatan darah. Hanya dipersatukan oleh hujan dan cinta. Diselipkan oleh cerita seorang teman baru yang cerita hidupnya sangat inspiratif sekali dalam menjalani hidup ini. Khususnya hidup dimasa depan yang kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok, lusa, dan seterusnya. Berjalan dibumi yang semakin tua dengan berbagai pembaruan yang sebenarnya sia-sia saja.

Terima kasih untuk semuanya Tuhan. Untuk hujan-Mu, malam-Mu, dan dirinya.

Selasa, 10 Januari 2012

Pertempuran


"Anda mengenakan seragam logika, saya mengenakan seragam rasa.
Dimanakah letak satunya kita? Dimana kita bisa dipersatukan?"

Jumat, 06 Januari 2012

2011 --> 2012

Tidak ada semarak dipergantian tahun kali ini. Mungkin bisa dibilang hanya berselimutkan kesendirian dan beralaskan sedikit air mata. Tahun 2011 memang tahun dimana merupakan jalan pendewasaan, jalan dimana sebuah kepompong menjadi seekor kupu-kupu cantik yang akan merasakan semarak dari bumi ini.

Banyak cerita yang terjadi dalam hidup saya. Perubahan besar. Kejadian-kejadian penting yang apabila dimuat urutan waktunya menjadi satu bundel buku sejarah yang sering dihafalkan oleh anak sekolah dasar dan lanjutan, lengkap dengan tanggal-tanggalnya. Lagi-lagi cerita tentang ihklas, bersyukur, dan menjalani hidup ini apa adanya lah yang menjadi tema yang sering muncul dalam perjalanan tahun 2011.

Hari ini sudah lewat 6 hari dari cerita tentang pergantian tahun itu. Malam pergantian tahun yang saya lewati diperaduan yang sangat tidak pernah terbesit dari pikiran saya untuk menjajaki dalamnya. Peraduan dimana setiap orang yang ada didalamnya berjuang untuk membeli kesehatan dengan penjual yang mengiming-imingi kesehatan itu dengan harga yang selangit. Dengan jutaan rupiah itu berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang sangat diremehkan untuk orang-orang tidak berada diperaduan itu. Berjuang untuk sesuatu yang tak pernah dirasakan oleh yang sehat. Malam ini tidak seperti malam pergantian tahun sebelumnya yang penuh dengan ledakan-ledakan kembang api yang ikut meledakkan jantung untuk mengikhlaskan satu tahun yang telah terlewati. Hanya deru tunggangan-tunggangan para dewa itulah yang melantun indah menjadi latar musiknya. Dengan sekelebat cahaya tunggangan dan asapnya yang menjadikannya properti yang wajib ada dalam setiap ceritanya.

Sendiri. Seperti biasanya. Belum lagi saya temukan sesuatu yang bisa mengisi cawan kosong ini, yang mungkin sudah berlumut ataupun kering tanpa tetesan dewa itu. Pergantian kali ini saya lepas tahun kemarin lewat angin saja. Berharap bahwa hujan akan turun sepanjang malam yang rinainya mungkin sedikit mampu untuk meluruhkan dan menghanyutkan sedikit kenangan buruk dan membasuh air mata ini.

Resolusi? Ah rasanya kata ini sangat asing dalam hidup saya. Saya tak punya resolusi apapun dalam hidup saya. Resolusi hidup saya hanya satu: BAHAGIA. Setidaknya kata itu sudah mewakili semuanya. Kembali pada sifat dasar alamiah manusia yang ingin bahagia, dibelahan dunia manapun takkan ada manusia yang ingin menderita, sakit. Saya lebih suka menjalani hidup ini dengan spontan, lentur. Tidak kaku dengan bermacam-macam dogmatis yang membelenggu. Secara lahiriah kita merdeka, bebas melakukan apapun asal tidak merugikan serta mengganggu kelangsungan bumi ini dan hidup orang lain. Berharap bahwa 2012 datang dengan formula "No more tears" yang biasanya ada dalam produk bayi. Formula tidak pedih dimata. Membuat mata menjadi berbinar dengan cahaya alaminya.