Sabtu, 11 November 2017

Kebumen: 460 km dari Jakarta

Di penghujung kemarau musim ini, ku antarkan raga dan fisikku pada salah satu kota kecil di pulau ini. Perjalanan ini tak semudah seperti sebelumnya, dihiasi oleh berbagai momok dan berbagai pertikaian hebat untuk sampai pada tiba waktunya. Sepekan sebelum kulangkahkan kaki untuk pergi ke kota dengan jarak sejauh 460 km dari pusat ibukota negara ini. Banyak rasa yang berkecamuk dalam dada ini. Ketakutan tentang wajah sang ibu yang harus terbaring lemah di rumah sakit. Menahan air mata untuk tidak jatuh dihadapannya sembari menahan betapa aku sangat butuh peluk dan uluran tangannya untuk menemaniku di saat sulit ini. Merasa seperti air mata ini yang hanya sanggup meluapkan segala rasa di hati saat ini. Perjalanan tentang penghujung kemarauku segersang itu, sesepi pohon dengan ranting kering menggugurkan daun yang terbakar matahari. Rasanya aku ingin sudahi segala rasa ini, merasa bahwa kau tak pernah ada dalam setiap kisah ini. Rasanya ingin ku selesaikan saja perjalanan yang sudah tinggal kujalani beberapa hari lagi. Sore itu jawaban tentang cerita kemarau ini dimulai, jadwal operasi ibuku ditunda karena tekanan darahnya yang tidak bisa stabil dan dokterpun tak sanggup mengambil langkah lanjutan untuk memberikan tindakan pada ibuku. Ku raih smartphone ku untuk memberi kabar ini, entah kabar baik atau buruk. Menurutku memang sudah jalannya untuk aku tetap menjalani perjalanan di ujung kemarau ini. Sebelum sore pada harinya aku tuntaskan dahulu tanggung jawabku terhadap sang ibu, menemaninya mengunjungi dokter, mengkuatkannya, serta menuntunnya langkah demi langkah untuk membuatnya semangat melewati masa sulit ini. Memberi kalimat-kalimat tentang kekuatan untuk melawan penyakitnya, sampai kapanpun jangan pernah kalah dengan penyakit itu. Setelah mentari perlahan turun di ufuk barat untuk bergantian dengan bulan menemani sang bumi, ku kuatkan tekad untuk menemui pujaanku di sana. Seteguh turunnya mentari ku hampiri pula pujaan yang akan menemaniku beberapa hari ke depan. Dekapnya yang aku rindukan, uluran tangannya yang mampu membendung air mata dan menguatkanku melewati kemarau yang tak mudah ini. Sore ini rinai hujan pun turun mengantarkan awal perjalanan ini ke sebuah stasiun di bilangan Jakarta Pusat. Ku tengok di jendela mobil yang basah dengan air hujan seakan menggambarkan gemuruh hatiku menyambut perjalanan ini yang sebelumnya sudah diujung kegagalan. Sore itu bertepatan dengan Tahun Baru Islam dihiasi dengan arak-arakan obor khas satu syura. Setelah sampai stasiun ku lanjutkan perjalanan ini dengan menaiki kereta untuk sampai pada kota kecil bernama kebumen itu. Di dalam kereta, hanya wajahnya yang ku amati. Lelahnya untuk membuat aku kuat, bahagia. Perjuangannya seketika terlintas dalam air muka itu. Tak terasa tengah malam sudah datang dengan gelap dan sunyinya di luar kereta sana, hanya suara roda kereta yang beradu dengan besi baja rel saja yang berjuang untuk kereta ini sampai dari satu kota ke kota lainnya. Ku sandarkan kepalaku di bahunya. Bahu tempatku rehat sejenak untuk beristirahat dengan perkara-perkara yang tak mudah belakangan ini sampai pada kota yang akan membawa cerita baru di ujung kemarau ini. Belum genap cahaya mentari memaparkan senyumnya di langit bumi, sampailah aku di kota kecil ini. Dengan kata lain, tepat pada bada subuh dan disambut dengan merdunya suara adzan dari surau khas pulau jawa. Terasa syahdu di telinga, ingin ku peluk dirinya yang kunikmati parasnya bersama suara adzan subuh ini. Pagi ini semua pertanyaan tentang keraguan itu terasa sirna seperti tertinggal bersama krikil krikil rel kereta yang mengantarkanku sampai sini. Aku siap untuk berpetualang denganmu, jauh dari rumah, jauh dari keluarga. Aku siap untuk menghabisi tawa, peluh, lelah dan memori kamera dengan senyum dah tawa kecil kita di kota ini. Kuhabiskan waktuku di kota kecil milik orang ini dengan mengunjungi situs sejarah yang megah di masanya, ku telusuri puluhan kilometer jalan-jalan kota ini menuju pada beberapa bibir pantai bertemu dengan bentuk air yang lain yang membuat hati terasa tenang, selain rinai hujan malam itu. Sembari berdoa ditengah gemuruh semangat gelombang ombak yang seakan bernyanyi dan berlarian mengejar daratan berpasir yang aku pijak kini. Seperti semangat sang ombak, seperti itulah juga seketika aku kelu melihat begitu banyak perjuanganmu untuk membuat aku bahagia. Deburan yang seketika merefleksikan betapa buihnyapun menggambarkan apa yang selama ini kau lakukan hanya untukku, yang tak pernah kusadari adanya. Perjuangan tentang orang-orang yang selalu berjuang untukku, bukan tentang kau saja yang kini berjalan beriringan di sampingku di tepi pantai ini. Tentang ibu yang sedang berjuang sendiri dengan rasa sakitnya, tentang kakak yang mungkin harus kuat melihatku tidak sesempurna dulu. Tentang aku yang tak sempurna harus bersanding di sampingmu yang maha lebih dariku. Perjalanan untuk menuju ke pantai yang tak mudah, banyak krikil krikil, jalan rusak dan tanjakan curam seketika terbayar ketika aku melihat ombak itu, ketika aku mendengar deru ombak yang seakan menyambutku riuh. Belum lagi angin kemarau yang membuat hitam kulit. Angin yang seolah menarikan tarian selamat datang dan mengajakku ikut menari ketika menyentuh kulitku. Ku lihat dan ku amati semua dari gerbang bibir pantai ini. Kota ini mengajariku banyak hal dalam perjalanan kemarau ini. Bukan hanya mentari musim ini yang membuat mataku terasa hangat. Begitu banyak cerita juga membuat mata terasa hangat dan tak jarang membuatku meneteskan air mata untuk sampai pada perjalanan detik ini. Membuatku tersadar satu hal bahwa tugas kita di sini adalah menguatkan satu sama lain. Wahai kalian, ibu, kakak, dan kau yang tanpa sadar telah memberikan aku hidup saat ini, memberikan tenaga untuk aku berjuang melawan semua sakit dan lukaku kemarin. Terima kasih telah melengkapi hidupku yang rapuh dan kurang sana sini. Terima kasih telah membuatku utuh sekaligus bahagia yang tak terdera. Menjadikan aku bermakna dan bisa berdiri tegak sampai waktu ini. Aku cinta kalian, tetap sehat dan kuat untuk tetap menuntun aku yang sebenarnya rapuh ini. Tak akan habis berjuta kata untuk menggambarkan lengkapnya hidupku dengan kalian. Sampai aku kembali ke kotaku, satu hal yang ingin aku bawa pulang. Aku merasa sudah lengkap dengan menemukan jawaban atas segala pertanyaan pertanyaanku.

Selasa, 16 Agustus 2016

Kota Apel

Siang itu ketika ku bergegas meminta izin dengan atasanku untuk meninggalkan kantor setengah hari dan dua hari ke depan, ada kegembiraan yang hadir mengiringi langkah kakiku. Dengan semangat bagai matahari yang menyorot lantai 23 di sebuah gedung perkantoran di jantung ibukota ini, ada aku dengan semangat untuk menghampiri cintaku diujung jalan sana, di sebuah stasiun megah di ibukota ini. Sengaja aku mulai bergegas dari siang karena aku tak ingin terlewatkan momen ini walau hanya sedetik, walaupun jadwal keretaku akan berangkat beretepatan dengan rehatnya matahari membakar hari ini.

Setelah terbakar matahari di jalan, aku sampai di sebuah gedung tempat ular-ular besi itu menumpahkan muatannya atau memasukkan muatannya. Aku memilih menunggu di sudut ruang tunggu stasiun ini, sendiri. Melihat orang lalu lalang dengan semangat dan air muka bahagia mengunjungi pusat ibukota negara ini. Aku menemukan kebahagiaan lain, aku akan melewati tiga hari ke depan dengan seseorang yang istimewa. Seketika terputar semua yang telah dia lakukan untuk kebahagiaanku. Jungkir balik melakukan apapun untuk membahagiakanku. Orang yang tak pernah lelah meyakinkanku bahwa cintanya nyata, walau kadang selalu kuragukan jika ku bangun dari mimpi indah yang nyata ini.

Di kota kecil sejuk di Jawa Timur ini, di kota dimana apel berbuah segar aku menemukan satu rentang waktu dimana aku bisa puas melihat senyumnya, mengamati sorot matanya, bahkan menikmati peluknya. Dengan pemandangan Gunung Panderman yang hijau, aku bahagia bersamamu, aku jatuh cinta kembali kepadamu, entah untuk yang ke berapa kalinya. Ditengah alun-alun kota wisata Batu malam hari dan ramai akau merasakan bagaimana hangatnya tangan menggenggam tanganku dan hangatnya bibirmu mencium keningku. Pelukmu yang tiap malam mengantarkanku pada nyaman dan akhirnya kita terlelap melahap malam. Tak akan aku ceritakan detil bagaimana perjalanan ini memberikan bahagia yang tak terdera untukku. Tiga hari yang memberikan ku makna untuk selalu bahagia dan bersyukur memilikinya.

Kita harus kembali pulang, rentang waktu itu sudah kita simpan dalam potret-potret kita kemarin. Sudah kita simpan pula dalam memori kita. Memori-memori indah yang mengantarkan kita kembali pulang. Aku masih bisa melihat teduh wajahnya ketia ia terlelap. Wajah yang selelau berusaha keras jungkir balik untuk membuatku bahagia. Terima kasih yang bisa aku ucapkan, sembari berdoa semoga kita selalu bahagia bersama walau banyak tembok dan gunung yang menghalangi matahari terbit kita. Jangan pernah berkurang apalagi berhenti mencintaiku. Aku sayang padanya dan biarkan kenangan kota kecil Malang ini yang menjadi saksi bagaimana perjuanganmu untuk membahagiakanku sampai pada tahap sukses.

Malang, terima kasih untuk kesejukanmu menghiasi tiga hari kami. Kamu, terima kasih untuk segalanya. Dari aku yang cintaimu yang akan selalu cinta.

Canda

“Koh, minta angpaonya dong? Kan hari ini hari imlek”, seruku dengan nada antusias. “Kewajiban ngasih angpao itu cuma buat yang udah nikah aja. Aku kan masih single.” ,jawabnya dengan santai. “Trus gimana dong?”, tanyaku merajuk. “Ya udah tunggu aja aku kalau udah nikah. Hehe.” Hening

Malam ini yang masih dihiasi dengan rinai hujan sisa derasnya menjelang adzan maghrib tadi. Sebuah latar syahdu dimana kau menyajikan semua canda yang gembira, setidaknya untukmu. Candamu perih disini, membuatku kelu di ulu hati, tercekat seperti ingin mati.

Ada satu hal yang tak akan kau mengerti sampai kapanpun, tentang aku dan tentang perasaan ini. Sama halnya seperti ungkapan untuk mencintaimu sekadarnya. Semua tidak semudah itu. Hal yang tidak akan kau mengerti karena kau bukan aku. Memintamu mengerti tentang ini semua adalah tindakan jahat yang sama dengan meminta hidupku hanya untukku. Setidaknya kau mengerti resah ini, bukan untuk kau pahami.

Ada bayang yang sebenarnya aku lupakan sejenak, aku tutupi dengan kain hitam agar dia tidak menakutiku dan menggertakku dengan hingar bingarnya. Bayang dimana aku akan ada pada hari dimana tugas kita untuk menjalani kidung cinta ini sudah selesai. Berakhir atas nama takdir. Bukan karena ada yang menyakiti satu sama lain. Tugasku untuk ada di sampingmu memang sudah habis. Masaku untukmu cukup sampai di sini. Andai saja waktu berkata lain, ah sudahlah sama seperti candamu yang kelu untuk jadi candu.

Spasi

Sore ini dihiasi dengan rinai air langit. Kini rinainya hanya sebesar gerimis. Seorang mahasiswi muda masih terjebak pada sebuah halte bus. Menunggu bus yang akan mengantar ke sebuah stasiun kereta komuter ke arah Tanah Abang. Ia baru saja menelan berbagai ilmu di kelas tadi. Terlihat dari sisi-sisi wajahnya, ia adalah seorang yang terpelajar. Sekarang pukul 17.00 dan artinya di stasiun Sudirman ia akan kembali berperang dengan penumpang yang selesai mencari uang dalam sendi-sendi ekonomi kota ini. Ia senang melihat sosok mereka, apalagi dengan sosok berbadan tegap memakai kemeja kerja, celana bahan dan sepatu kerja yang mengkilap.

Ketika kereta tiba ia bergegas untuk mendapatkannya. Kereta ini belum sepadatnya rumornya kereta komuter yang sering didengar. Mahasiswi itu masih bisa mengamati bagaimana orang-orang di sini menghabiskan waktunya hingga stasiun tujuannya. Ketika kereta sampai di stasiun Sudirman, ada pemandangan lucu sebenarnya, apalagi ketika pintu otamatis itu terbuka akan ada beberapa orang berlarian seperti peserta Benteng Takeshi di era 90an. Ia melihat pemandangan lain saat itu. Ia melihat sosok yang selama ini sering berkutat dalam fikiran kosongnya. Sosok itu berbadan tegap dengan kemeja kerja, celana bahan dan sepatu mengkilapnya. Ia silau dibuatnya, bukan karena kilap sepatunya. Mungkin seperti ini gambaran Hawa ketika pertama kali melihat Adam. Siapa namanya?

Ada jarak antara ia dan idamannya. Jarak yang membuatnya bisa mengagumi dari sini tanpa ketahuan siapapun dalam kereta ini. Ia sadar kini mereka berbahasa. Ia berbahasa dengan bahasanya, dan rupawan itu dengan bahasanya. Seperti langit dan bumi, mereka terpisah untuk memberikan ruang untuk hidup. Sama seperti kata, mereka membutuhkan spasi agar indah dan bisa dibaca. Mereka terpisah tapi justru indah. Tapi mereka tak begitu.

Perempuan itu dalam jarak ini ingin seperti spasi dalam kata, memberi celah tapi tak memisah. Biarkan saja tetap seperti ini, dalam lubuk hatinya ia tidak ingin memilikinya, ia hanya ingin menikmati rupawan itu disini. Menjadi hiburan tersendiri dalam padatnya kereta ini dari tempatnya kini berdiri. Jika nanti perempuan itu atau rupawannya yang terlebih dahulu melangkahkan kaki dari rangkaian kereta ini. Akan ada spasi dengan jarak yang lebih besar lagi dari spasi yang ada dalam ruang kereta ini. Spasi yang tak berujung. Memisahkan jarak kekekaguman tak terkatakan.

Perempuan Tua dan Kucing Kecil

Pagi ini dengan mentari yang masih mengintip di ufuk timurnya, aku hendak bersiap untuk menuju rumah keduaku untuk menjajakan karyaku disana, menjadikan aku berguna untuk orang lain. Muluk-muluknya berguna untuk negeri. Di teras mungil depan rumahku, ketika aku mulai mengeluarkan sepeda motorku dan menggugahnya dari dingin malam untuk menemaniku berjalan hari ini. Sementara itu, aku lihat seorang perempuan tua dengan seekor kucing kecil yang datang entah darimana di pangkuannya. Kucing kecil itu pulas nyaman tertidur dengan belaian tangan perempuan itu. Aku berfikir bahwa kucing itu merasakan butiran-butiran kasih sayang dari tangannya. Aku mengamatinya lewat muka kucing itu.

Seketika sebuah layar membentang di alam fikirku. Dilayar itu muncul seorang perempuan tua dengan kerutan halus hasil waktu yang bergulir. Kulihat pangkuannya tempat aku dulu menangis padanya, kulihat tangannya yang juga sarat dengan kerutan yang dulu pernah menimangku dahulu. Perempuan itu sudah tak muda lagi, seketika terputar semua tawa, tangis, celoteh pada waktu dulu hingga kini. Perjuangannya untuk memberikan segala tetek bengek yang aku telan hingga kini, apapun itu yang tak bisa aku jelaskan disini. Ku kira tak ada nominal yang dapat menggambarkannya. Layar ini mengingatkan aku pada satu perempuan yang pernah menimangku, membelaiku lembut seperti ia membelai kucing kecil itu.

Layarku tertutup, akupun kembali tersadar aku harus bergegas sekarang. Aku harus mencari beberapa keping-keping koin emas untuk membuat senyumnya tetap berada di ujung bibirnya. Hutangku tak akan pernah terbalas oleh jutaan atau bahkan milyaran koin emas yang aku dapatkan. Jika saja ada beberapa tambahan waktu, aku ingin seperti kucing kecil itu. Aku ingin menyandarkan kepalaku di sana, menangisi dunia yang membuatku sedih atau sekadar membagi tawa dengan indah dunia di sisi lain. Aku ingin merasakan kembali belaian tangannya lagi. Perempuan yang tak lagi muda, namun aku selalu cinta dan ingin senyumnya tak lenyap pada ujung bibirnya. Perempuan yang budinya takkan pernah bisa dibalaskan. Perempuan itulah yang selama ini saya sebut ibu.

Rabu, 06 Januari 2016

Mencintaimu Sekadarnya

“Jangan berlebihan. Kalau mencintai orang itu sekadarnya, kayak aku sayang sama kamu sesuai porsinya.” 
(dikirim melalui aplikasi Whatsapp, dari seorang yang bertahta kini di hatiku) 

Sore ini hujan sepertinya sedang menuangkan amarahnya pada bumi. Digempurnya bumi dengan butirannya yang sebesar biji jagung yang cukup perih jika terkena kulit muka. Selepas jam sibuk di kantor, aku sempatkan untuk mampir di warung kopi era abad 21 di salah satu pusat perbelanjaan yang mewabah seperti virus di kota ini. Warung kopi yang menjadi salah satu lambang bonafid kota ini. Tak jauh beda dengan warung kopi abad 19 dulu, hanya saja menu kopinya berasal dari seberang dengan menu camilan pisang goreng dengan berbagai macam variasi. Aku masih memilih tempat duduk favoritku, dekat jendela menyaksikan orang-orang itu menghamburkan uang mereka di balik kaca tempatku berada. Sambil menikmati kopiku, tak kusentuh sedikitpun smartphone tempat kita meneguk rindu itu, menikmati waktu menggerogoti kita, tempat ku menarikan jemariku untuk membalas jutaan pesanmu. Aku rela mengeluarkan uangku hanya untuk menikmati segelas kopiku saja, bukan untuk menikmati jaringan internet tanpa kabel yang sangat memuaskan di warung kopi ini.

Teringat aku pada sebuah kalimat yang kau tulis untukku. Bagaimana caraku untuk mencintaimu sekadarnya? Jika yang aku tahu hanya mencintai dengan setulus hati. Bagaimana aku tahu seberapa banyak porsi yang pantas dalam mencintaimu? Jika yang aku tahu mencintaimu seperti bebas mengambil berbagai macam makanan sampai perut meledak dalam restoran berlabel all you can eat. Jika saja mencintaimu seperti membuat masakan, akan aku tumpahkan semua garam yang aku punya untuk membuatmu menjadi berasa. Takkan cukup kata sekadarnya untuk menyatakan cintaku untukmu saat ini.

Dalam keresahan yang sama, keresahan yang membuatmu ingin teriak atau mungkin menangis. Aku merasakan hal yang sama. Tak kau ucapkan cerita itu dari bibirmu yang ingin aku cumbui setiap detiknya. Aku memang tidak pernah merasakan apa yang kau rasakan, jangan kira aku tak bisa merasakannya. Jika saja waktu dan ruang ini berpihak pada kita, aku ingin memelukmu erat dan membisikan di telingamu bahwa aku ada di sini untukmu, aku merasakannya. Jika kau ingin membasahi bahuku dengan airmatamu, lakukanlah. Aku milikmu sepenuhnya sekarang. Andai kau tahu itu semua. Semua yang tak mampu aku katakan karena matamu yang menahan ini semua dalam keresahan.

Di balik resahmu, ada aku yang juga memiliki keresahan lain. Aku tak cukup hati untuk menambah resahmu dengan resahku. Aku hanya ingin pelukmu, dekapmu, ciummu mendarat di keningku. Aku hanya ingin membagi resah ini denganmu, lewat dekapan yang seakan mengirimkan resahku menjadi terbagi denganmu. Biarkan dua resah yang melanda kita menjadi bahagia atau menjadi yang lain. Entah apa namanya.

Kuteguk kopiku untuk yang terakhir kali. Aku bergegas pergi dari warung kopi ini. Tak bisa aku merenungkan kalimatmu di tempat ini. Tak kutemukan jawaban atas makna kalimatmu. Ku lanjutkan lagi pencarian makna kalimat itu dalam perjalananku ke rumah. Di atas motor bebekku, masih merenungkan hal yang sama, memikirkan hal sedari tadi aku cari artinya. Ditemani daftar putar lagu dari smartphoneku yang sudah kusiapkan juga di warung kopi tadi. Memikirkan ini menjadi aku kembali berimajinasi. Imajinasi ini seharusnya tak akan dalam fikirku, tak ada korelasinya dengan apa yang ingin aku cari jawabnya. Imaji yang membawaku bagaimana kau pernah berbagi tawa dengannya, cerita yang pernah indah pada masanya. Dekapmu tempat ternyamanku yang mungkin pernah menjadi tempat ternyamannya juga dulu. Tak terasa mataku panas dibuatnya, bukan karena asap debu jalanan kota ini. Sekarang sudah malam, mungkin debu itu sudah terbawa angin yang malam ini memang cukup dingin setelah diguyur hujan. Aku menangis seperti anak kecil dengan membawa sepeda motorku seperti anak kecil pulang bermain yang telah dijahili temannya sewaktu bermain tadi sore.

Sampai aku dirumah, sampai cerita ini tumpah dalam komputer lipatku aku masih belum menemukan jawabnya. Jika ada cara membuat aku mengerti tentang kalimatmu, mari dekatkan pada wajahku.

Pada intinya, aku mencintaimu dengan setulus hati, bukan sekadarnya. Andai saja kau mengerti.

Selasa, 23 Juni 2015

Surat Kecil

Untukmu, SPC Group
Menjadi bagian dalam dirimu sebenarnya adalah mimpi terbesarku saat ini. Ku jadikan sebagai salah satu pencapaian kecil dalam hidup. Sampai saat ini masih belum bisa dijelaskan betapa bersoraknya hati bisa berada di sini. Sebenarnya tak pernah kuketahui apa yang akan ada di hadapanku nanti, apa yang akan aku hasilkan dengan tarian jemariku diatas papan kunci komputer, akan ada bentuk barisan kata-kata yang akan aku coretkan dalam bertumpuk-tumpuk kertas putih itu. Dengan kebulatan tekad dan segala tetes peluh keringat yang mengantarkan aku sampai di sini. Aku ingin belajar mengenalmu lebih jauh.

Aku jatuh cinta pada tempat ini, tempat yang selalu aku pandangi ketika melihat lambang emas cairnya ada di penjuru tepi jalan raya terik ibukota ini. Emas cair yang selalu menyilaukan mata, dibuat terpesona dengan tulisan berjumlah tujuh huruf kecil yang rendah hati dengan latar biru tua sebagai simbol kenyamanan. Dulunya aku hanya bisa melihatnya sambil tersenyum, lalu berkata dalam hati ‘Aku ingin menjadi bagiannya suatu saat nanti’. 

Ketika ada saatnya, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Aku ikuti setiap tahapnya dengan segala daya dan upaya. Kunantikan kabarnya dalam setiap tahapnya dengan setia bak menunggu sepucuk surat cinta atau sebaris kabar burung merpati dari seorang kekasih. Mengapa aku bilang seperti kabar dari seorang kekasih? Karena setelah mendapat kabar darinya aku akan tersenyum sendiri dan membayangkan apa yang akan aku dapatkan di kemudian hari nanti. Hariku akan diselimuti oleh awan biru nan cerah yang akan membuat berseri terus menerus walau senja datang mengantar malam siap menggantikan siang.

Hari itu tepat pada tanggal 13 April 2015. Sebuah panggilan di layar telepon genggamku yang menjadi jawab atas segala mimpi. Sebuah panggilan untuk awal jalan yang aku inginkan. Selain terik yang menghiasi hari itu, aku dapatkan jawaban atas mimpi siang terik kelas pinggir jalanku itu. Pada saat yang sama aku ambruk dalam peluk ibuku, tak henti air mata membanjiri kelopak mata. Kedua, kulakukan hal sama pada ayahku. Kuucapkan terima kasih yang sulit sekali aku hitung berapa banyaknya tenaga, keringat, tawa, dan tangis mereka mengantarkan aku sampai pada detik ini. Kuucapkan terima kasih atas segala detil perjuangan mereka untuk bisa menghadiahkan aku pendidikan yang cukup untuk bekalku memenangkan engkau. Segala perjuangan yang dalam seribu malam takkan cukup untuk menjabarkannya pada beberapa bundel kertas. Selanjutnya aku berterima kasih pada semesta, pada Tuhanku atas segala yang telah diberikan saat ini. Menjawab segala apa yang aku minta dalam doaku, dalam doa sepertiga malam yang terakhir.

Teruntukmu SPC Group, terima kasih telah menjadikanku bagian dalam dirimu. Dengan berbagai semarak dan meriahnya hati, aku siap untuk berkarya dalam setiap sendi-sendi kegiatanmu. Aku siap untuk menjadi satuan terkecil untukmu, untuk menjadi penjaja karyamu. Aku ingin menjadi sesuatu yang berarti dan memberi arti. Dengan segala pasi dan dedikasi, izinkan aku berbuat yang terbaik untukmu. Untuk hatiku, orangtuaku, bank ini, dan negeriku. Spirit memakmurkan negeri dengan sikap proaktif dan disiplin!

“Aku bagian terkecil darimu, izinkan aku menjadi sesuatu yang berarti dan memberi arti.” 

Dari satuan terkecil darimu.
Setiyo Prutanto