Minggu, 08 Juni 2014

Sekarat

Ruangku kini luas, tapi aku merasa tak leluasa. Hatiku sepi, otakku beku. Berbagai kata kini hanya terbelenggu dalam imajiku saja, tak bergairah untuk meronta seperti dulu. Sudah lama tak ku kunjungi rumahku yang satu ini, karena memang aku tak tau harus membawa buah tangan apa jika ingin mampir ke sini. Rumahku ini bukan persinggahan saja, tak mau aku hanya sekadar mampir disini.

Aku sekarat. Kata-kata yang dulu bergemuruh, kini seakan mampet. Tak mau mengalir keluar seperti air. Aku tak bisa bernafas dengan kata-kataku sendiri. Aku tak merasakan nafas selain udara. Ada bagian rongga paru-paruku yang sesak tanpa udara lain yang kusebut kata itu. Aku kini hanya seperti manusia biasa. Manusia yang bisa bernafas, makan, tidur, dan bermimpi. Aku berada dalam dimensi nyaman diriku sendiri. Aku bungkam, tak mampu berteriak lantang. Hanya mengamati dan merasakan tanpa bisa menuliskan. Semua rasa seakan beku di otak dan di ulu hatiku. Rasa yang tak mampu menjadi cair mengalir menjadi kata-kata yang indah sekaligus lezat untuk makanan rumah ini. Bukan aku saja yang sekarat, rumah ini usang tanpa semua perasaan yang meluap menjadi kata-kata itu.

Rumah ini juga sekarat. Aku tak memberinya makan rutin seperti kurun waktu itu. Aku takut tempat ini menjadi ganas, mencari makanan di tempat lain. Rumahku bisa saja berubah menjadi monster karena tak ku beri rasa. Semua rasa yang bisa membuatnya sedikit jinak. Cukup makanannya saja yang penuh dengan rasa. Seakan ingin kututup saja rumah ini dengan kain putih. Aku bingung bagaimana cara berbagi lagi. Izinkan aku untuk menjadi bungkam sebentar saja, biarkan aku hanya memahami rasa yang setiap hari aku rasakan, tanpa harus aku bagikan.

Aku ingin tidur. Melepas semua piranti hati. Menyibak semua nyeri, mencucinya dengan tawa hingga luka dan perih itu akan dimulai dari awal lagi. Sejenak beristirahat dari semua perasaan yang mendera. Ingin menjadi tuna cinta, tuna rasa, dan tuna peka.
Aku ingin tuli. Tak mau aku dengar semua tawa, tangis, canda, dan segala suara baik yang bergermuruh, berbisik, berteriak, atau bahkan terisak. Beristirahat untuk tidak mendengar semua pernyataan, gombalan cinta, pengkhianatan, cibiran, penilaian orang lain.
Aku ingin buta. Aku tak mampu lagi melihat semua sekelilingku penuh dengan sandiwara bahagia, haru, sedih, marah, maupun terluka. Aku sudah muak melihat semuanya, tanpa aku bisa merasakannya. Aku hanya bisa menjadi penonton setianya.
Izinkan aku beristirahat sejenak dari semua hiruk pikuk itu. Menutup aku hanya untuk aku saja. Menghentikan waktu untuk tetap berada di masa ini. sehingga aku tak perlu menggunakan jatah waktuku untuk istirahat ini. Harapanku, ketika aku bangun dari tidur ini ada sesuatu yang bisa aku bagi, ada sesuatu yang bisa aku hirup selain udara. Entah apa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar