Kamis, 03 November 2011

Depok - Bogor - Juanda, 3 November 2011

Banyak kata yang dari tadi sudah ada memutar dalam kepala saya. Banyak cerita yang meledak-ledak menunggu diceritakan. Seperti kurcaci yang ingin terbang lepas diudara. Seperti peluru meriam yang siap disundut ujungnya. Cerita ini dimulai siang ini, disaat mentari sedang semangat-semangatnya mencurahkan cahayanya. Peluh-peluh yang menetes hanya untuk dirinya. Mencari celah hangat dari dunia ini. Merapikan kembali serpihan hati yang luka itu. Saya naiki kereta ekonomi yang sebelumnya juga sudah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini. Entah itu kereta yang sama juga atau tidak. Masih dengan propertinya yang sama, tak berubah. Derunyapun sama. Setiap detakan rel yang berpadu dengan roda besi itu setidaknya mewakili desahan nafas saya yang mencoba untuk utuh kembali. Berjelaga saya ditelaga peraduan yang sangat mencekam hati, pada sebuah wacana kalau kisah ini akan sama akhirnya seperti cerita sebelumnya. Saat ini saya bertemu kembali dengan penilai hati yang lain. Yang lain kisahnya, yang siap diceritakan di tempat yang kosong berdebu ini.

Lewat tempat yang dinamakan sarang ilmu, lengkap dengan hiasan tawa dan celoteh anak-anaknya. Menambah semarak rasa hati saya. Menghiasi setiap nafas dan memberi warna disetiap sudut lirikan dan pengamatan saya. Saya diam bukan berarti jenuh. Saya diam memotret semua kejadian indah itu dari berbagai sudut. Mencoba sekuat tenaga menyimpan detail dari semua yang saya lihat. Mungkin kalo saya bisa menjadi fotografer mungkin saya sudah jungkir balik mencari berbagai sudut mana yang indah. Tetapi saya tak perlu mencari, setiap sudut itu selalu indah dimata saya. Membuat hati saya meleleh dan tubuh ini terasa dingin kemudian panas membara, ketika kau lemparkan senyum tipismu. Serasa saya ingin hentikan waktu, memeluk hangat tubuhmu dan tak seorangpun yang berhak memisahkan kita.

Dan ketika senja sudah mulai merayu dan memeluk tubuh dengan sejuk. Yang sebentar lagi malam sudah tak sabar menggantikannya. Tibalah saya dengannya dikotak besar berjalan itu, yang temaram lampunya menghiasi setiap putaran rodanya. Kutatap wajah lelahnya. Yang tak sengaja menarik bibir ini untuk tersenyum manja dan manis. Seiring itu, hujanpun tak sabar ini menambah semarak malam itu. Hujan yang tak mau kalah menambah semaraknya dan betapa meledaknya hati ini. Ledakan yang tak henti-hentinya mengeluarkan percikan api. Ingin sekali saya senderkan kepala ini dibahunya. Sedikit merasakan betapa cengengnya saya, dan rapuhnya saya. Sedikit merasakan airmata ini, cerita kisah usang ini. Yang hanya bisa kembali berwana dengan selipan tentang cerita tentang dirinya.

Berakhir pada selembar tisu yang dituliskan dengan pulpen yang dibungkus kembali dengan bungkus permen, membuat saya lemas ketika membukanya. Membuat serasa badan ini sudah tak bertulang lagi. Sederhana, namun itu menjadi salah satu materi berharga saya sekarang. Sebuah cerita yang siap untuk diseritakan, yang siap mengisi lembaran usang selanjutnya. Yang mampu memberi makna disetiap kata-katanya. Membuat saya yakin untuk menjalaninya.
Terima kasih untuk hari ini. Kata-kata ini tak cukup mampu mengungkapkan semuanya. Tak terbayarkan. Masih banyak kata-kata yang sebenarnya masih ingin meloncat bagaikan kutu dilembar ini. Setidaknya kata-kata itu dululah yang mampu saya terjemahkan dalam dunia ini, sisanya masih jabang yang menunggu kelahirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar