Selasa, 16 Agustus 2016

Spasi

Sore ini dihiasi dengan rinai air langit. Kini rinainya hanya sebesar gerimis. Seorang mahasiswi muda masih terjebak pada sebuah halte bus. Menunggu bus yang akan mengantar ke sebuah stasiun kereta komuter ke arah Tanah Abang. Ia baru saja menelan berbagai ilmu di kelas tadi. Terlihat dari sisi-sisi wajahnya, ia adalah seorang yang terpelajar. Sekarang pukul 17.00 dan artinya di stasiun Sudirman ia akan kembali berperang dengan penumpang yang selesai mencari uang dalam sendi-sendi ekonomi kota ini. Ia senang melihat sosok mereka, apalagi dengan sosok berbadan tegap memakai kemeja kerja, celana bahan dan sepatu kerja yang mengkilap.

Ketika kereta tiba ia bergegas untuk mendapatkannya. Kereta ini belum sepadatnya rumornya kereta komuter yang sering didengar. Mahasiswi itu masih bisa mengamati bagaimana orang-orang di sini menghabiskan waktunya hingga stasiun tujuannya. Ketika kereta sampai di stasiun Sudirman, ada pemandangan lucu sebenarnya, apalagi ketika pintu otamatis itu terbuka akan ada beberapa orang berlarian seperti peserta Benteng Takeshi di era 90an. Ia melihat pemandangan lain saat itu. Ia melihat sosok yang selama ini sering berkutat dalam fikiran kosongnya. Sosok itu berbadan tegap dengan kemeja kerja, celana bahan dan sepatu mengkilapnya. Ia silau dibuatnya, bukan karena kilap sepatunya. Mungkin seperti ini gambaran Hawa ketika pertama kali melihat Adam. Siapa namanya?

Ada jarak antara ia dan idamannya. Jarak yang membuatnya bisa mengagumi dari sini tanpa ketahuan siapapun dalam kereta ini. Ia sadar kini mereka berbahasa. Ia berbahasa dengan bahasanya, dan rupawan itu dengan bahasanya. Seperti langit dan bumi, mereka terpisah untuk memberikan ruang untuk hidup. Sama seperti kata, mereka membutuhkan spasi agar indah dan bisa dibaca. Mereka terpisah tapi justru indah. Tapi mereka tak begitu.

Perempuan itu dalam jarak ini ingin seperti spasi dalam kata, memberi celah tapi tak memisah. Biarkan saja tetap seperti ini, dalam lubuk hatinya ia tidak ingin memilikinya, ia hanya ingin menikmati rupawan itu disini. Menjadi hiburan tersendiri dalam padatnya kereta ini dari tempatnya kini berdiri. Jika nanti perempuan itu atau rupawannya yang terlebih dahulu melangkahkan kaki dari rangkaian kereta ini. Akan ada spasi dengan jarak yang lebih besar lagi dari spasi yang ada dalam ruang kereta ini. Spasi yang tak berujung. Memisahkan jarak kekekaguman tak terkatakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar