Selasa, 16 Agustus 2016

Perempuan Tua dan Kucing Kecil

Pagi ini dengan mentari yang masih mengintip di ufuk timurnya, aku hendak bersiap untuk menuju rumah keduaku untuk menjajakan karyaku disana, menjadikan aku berguna untuk orang lain. Muluk-muluknya berguna untuk negeri. Di teras mungil depan rumahku, ketika aku mulai mengeluarkan sepeda motorku dan menggugahnya dari dingin malam untuk menemaniku berjalan hari ini. Sementara itu, aku lihat seorang perempuan tua dengan seekor kucing kecil yang datang entah darimana di pangkuannya. Kucing kecil itu pulas nyaman tertidur dengan belaian tangan perempuan itu. Aku berfikir bahwa kucing itu merasakan butiran-butiran kasih sayang dari tangannya. Aku mengamatinya lewat muka kucing itu.

Seketika sebuah layar membentang di alam fikirku. Dilayar itu muncul seorang perempuan tua dengan kerutan halus hasil waktu yang bergulir. Kulihat pangkuannya tempat aku dulu menangis padanya, kulihat tangannya yang juga sarat dengan kerutan yang dulu pernah menimangku dahulu. Perempuan itu sudah tak muda lagi, seketika terputar semua tawa, tangis, celoteh pada waktu dulu hingga kini. Perjuangannya untuk memberikan segala tetek bengek yang aku telan hingga kini, apapun itu yang tak bisa aku jelaskan disini. Ku kira tak ada nominal yang dapat menggambarkannya. Layar ini mengingatkan aku pada satu perempuan yang pernah menimangku, membelaiku lembut seperti ia membelai kucing kecil itu.

Layarku tertutup, akupun kembali tersadar aku harus bergegas sekarang. Aku harus mencari beberapa keping-keping koin emas untuk membuat senyumnya tetap berada di ujung bibirnya. Hutangku tak akan pernah terbalas oleh jutaan atau bahkan milyaran koin emas yang aku dapatkan. Jika saja ada beberapa tambahan waktu, aku ingin seperti kucing kecil itu. Aku ingin menyandarkan kepalaku di sana, menangisi dunia yang membuatku sedih atau sekadar membagi tawa dengan indah dunia di sisi lain. Aku ingin merasakan kembali belaian tangannya lagi. Perempuan yang tak lagi muda, namun aku selalu cinta dan ingin senyumnya tak lenyap pada ujung bibirnya. Perempuan yang budinya takkan pernah bisa dibalaskan. Perempuan itulah yang selama ini saya sebut ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar