Sabtu, 16 November 2013

KRITIK BELENGGU PATRIARKHI DALAM MINNARES VAN DE DUIVEL

Oleh: Amalia Husna dan Setiyo Prutanto 

Minnares van De Duivel (2002) adalah sebuah buku kumpulan cerita karya Naima El Bezaz. Buku ini terdiri dari tujuh cerita yang keseluruhan ceritanya dibalut dengan tema jin dan ilmu hitam. Cerita-cerita dalam buku ini dibangun dengan latar kota Marakech dan Archadour. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Contact di Amsterdam dan berhasil menjadikan Naima El Bezaz menjadi salah satu penulis mahsyur di Belanda. Naima El Bezaz tidak serta merta terlena pada cerita berbalut ilmu hitam saja, namun melalui ilmu hitam tersebut ia mencoba meneriakkan kritik dari perempuan yang terbelenggu oleh budaya patriarkhi. Di dalam buku ini tidak akan ditemukan kisah rumah tangga yang romantis dan berakhir bahagia. Pembaca justru akan menemukan ilmu hitam sebagai sebuah kritik dari perempuan sebagai korban belenggu patriarkhi.

Cerita ini adalah salah satu cerita dari ketujuh cerita yang tergabung manis dalam buku Minnares van De Duivel . Dari judulnya, pembaca akan mengira bahwa cerita ini berkaitan dengan hal-hal mistis. Cerita ini berkisah tentang Lalla Rebha yang mengalami pengalaman mistis sewaktu masa kecilnya. Semenjak kejadian itu hidup Lalla Rebha seketika berubah. Dari seorang gadis Maroko yang ceria menjadi seorang yang lebih suka menyendiri. Hal itu juga membentuk Lalla Rebha menjadi seorang peneluh. Naima El Bezaz menceritakan kisah ini menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Dengan gaya penceritaan ini pembaca seolah-olah dapat menjadi dalang kisah ini dan mengetahui pikiran dari masing-masih tokoh.

Rasakan Ilmu Hitam Secara Langsung 
Cerita ini diawali ketika Lalla Rebha hidup bersama Farzi, jin yang ditemuinya ketika ia menginjak usia 10 tahun. Lalu alur cerita berganti menjadi flashback, ketika Lalla Rebha untuk pertama kalinya bertemu Farzi dengan jalan kesurupan yang menimpanya. Perpindahan alur ini ditandai dengan pemisah yang jelas, terlihat dalam kalimat: ‘Toen Lalla Rebha net tien jaar was geworden, werd haar ziel geclaimd door de djinns.’ El Bezaz juga mampu menceritakan kejadian kesurupan Lalla Rebha tersebut dengan menggunakan kata-kata yang mampu membuat pembaca seakan-akan hadir langsung dalam kejadian dan dapat merasakan apa yang Lalla Rebha rasakan. ‘Lalla Rebha kon zich niet beheersen, ze gilde, en schreeuwde. De imam ging door en las, langzaam en de nadruk leggend op elk woord, het koranvers.’ 

Dua Kaum yang Terkekang
Selain peristiwa mistis yang dialami Lalla Rebha, El Bezaz juga menguak realita-realita budaya patriarkhi dimana perempuan yang menjadi korban. El Bezaz menceritakan hal tersebut melalui apa yang dialami tokoh-tokoh perempuan dalam cerita ini. Berawal dari tindakan yang dilakukan oleh ayah Lalla Rebha terhadap istrinya. ‘Haar vader trok zijn vrouw de slaapkamer in en deed de deur op slot.’ Apa yang dilakukan ayah Lalla Rebha tersebut menggambarkan posisi perempuan yang tertindas dan tidak dapat melawan belenggu penguasa patriakhi, laki-laki. Di dunia ini ada dua jenis kaum yang tertindas, ada yang menerima saja tanpa melakukan perlawanan dan ada juga yang memberontak dan berteriak. Ibu Lalla Rebha, Itto merupakan contoh dari golongan yang pertama. Di samping itu, Naima El Bezaz juga menggambarkan golongan kaum tertindas yang berteriak dan memberontak melalui tokoh Lalla Rebha dan Nourlaila. Manusia memiliki batas. Begitu juga dengan kesabaran yang dimiliki oleh kedua tokoh ini untuk pasangan mereka masing-masing. Kedua tokoh ini pada akhirnya balik menyerang pasangannya dengan menggunakan ilmu gaib. Ilmu gaib di sini dapat dilihat sebagai wujud pemberontakan dan kritik terhadap budaya patriakhi yang sudah lama mengakar. Kedua tokoh ini seperti tokoh perempuan yang ada di dalam cerita Sang Ratu karya Intan Paramaditha, yaitu Dewi. Perempuan ini merupakan tipikal istri yang patuh dan tidak mudah curiga pada akhirnya berani mengebiri suaminya setelah mengetahui suaminya berselingkuh dan bercumbu dengan perempuan lain.

Simbol Budaya Patriakhi
Farzi juga dapat dijadikan simbol penguasa patriakhi. Farzi, jin laki-laki yang berasal dari Persia, selalu membantu Lalla Rebha. Tanpa Farzi, Lalla Rebha bukan apa-apa dan hanya akan menjadi perempuan korban budaya patriakhi yang tak mampu memberontak. Simbol ini dapat mengantarkan pembaca pada satu kesimpulan bahwa sekuat apapun perempuan dalam budaya patriarkhi, laki-laki selalu lebih unggul.

Minnares van De Duivel karya Naima El Bezaz menghadirkan kisah-kisah perempuan yang terbelenggu oleh budaya patriakhi. Apa yang dialami Itto merupakan cerminan kaum perempuan yang tidak yang tidak melawan kekuasaan penguasa patriakhi. Selain itu, dua kisah perempuan lainnya yang ada dalam cerita ini memberikan gambaran kepada pembaca bahwa perempuan korban budaya patriarkhi juga dapat melakukan pemberontakan. Perlawanan kaum perempuan ini adalah sebagai sebuah kritik terhadap budaya patriakhi yang selama ini mengakar. Kritik tersebut diwujudkan Naima El Bezaz dalam bentuk ilmu hitam. Naima El Bezaz berhasil mengubah paradigma masyarakat bahwa perempuan yang awalnya menjadi objek budaya patriarkhi dapat mengambil alih kendali walau dengan jalan yang sulit. Inilah dunia perempuan yang tak mudah, selalu tak mudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar