Selasa, 26 November 2013

Teman Pembelajaran Jiwa

Untuk Novia Rakha, 
Izinkanlah aku pada malam ini bercerita tentangmu. Entah nikmat Tuhan mana yang telah aku dustakan malam ini. Cerahnya malam ini dengan bintang yang memberikan secercah cahaya untuk menemani kegelapan malam, kini harus aku kotori dengan banjir air mataku sendiri dengan menuliskan kata-kata ini. Kata yang tak mampu kuungkap di hadapanmu, kawan. Begitu banyak kelu di ulu hatiku untuk menjelaskan atau mendefinisikan apa yang melandaku kini. 

Ingatkah pada kemarau musim lalu, untuk pertama kalinya kita mengenal dan sampai sedekat ini. Walau sebelumnya kita pernah mengenal. Aku kenal kau dan kaupun begitu. Tapi kita tak saling bicara. Hanya verbal yang mampu melafalkan pertemanan kita saat itu. Namun kini kau torehkan kata yang mampu melafalkan pertemanan kita sampai pada ujung hati ini. Pengkhianatan yang mengantarkan aku pada kau. Seperti yang kita ketahui dan kita yakini bersama bahwa setiap kejadian pasti memiliki alasan. Dan kini aku temukan alasan itu. Pengkhianatan yang membuatku menjadi mengenalmu. Mengantarkan aku untuk menjadi diri sendiri dan mengizinkanku menjajaki apa yang sebenarnya sudah kujadikan pilihan hidupku sejak awal. 

Sejak kejadian kelas itu, awalnya aku tak mengerti mengapa kau begitu sedih menceritakan sebuah kisah biru di hadapan kelas. Aku menangis. Entah aku cengeng atau memang kisahmu yang mampu membuat gempa dalam rongga mata yang menumpahkan tsunami air mata tak berkesudahan. Aku tak pernah tahu begitu banyak tangan Tuhan mencoba mengujimu. Tak kulihat itu sedikitpun dari sorot matamu. Membuatku berkesimpulan bahwa kau memang tangan malaikat yang ingin menolong manusia-manusia seperti aku untuk menjejak tanah. Tawamu, kawan. Menutupi segala luka dari tangan titah Tuhan. Membuatmu seakan tegar menjadi sebuah pohon yang kuat diterpa angin malam, walau sebenarnya kau rasakan dingin yang merasuk. 

Membuatku tertampar hingga tersungkur lewat kisah birumu. Menjelagakan diriku pada satu masa ketika aku sibuk mencari hingga tak menjejak tanah lagi. Kau seperti memberikan jawaban atas semua tanya yang tak pernah ku temukan jawabannya. Kau seperti gerbang yang mengantarkan aku pada muara dimana aku akan melebur pada alam. Berhenti meronta, meminta, dan hanya percaya. Mengingatkan aku pada tugas utama seorang anak pada kedua orang tuanya. Kau menjadikan pembelajaran hidup sekaligus pembelajaran jiwa yang haus ini. Pengantar kedewasaan yang haru. 

Terima kasih, hanya kata itu yang mampu mewakili segala ronta dalam hatiku. Tak mampu lagi kata mengungkapkan bagaimana berartinya kau dalam pertanyaan-pertanyaanku. Biarkan saja air mataku yang mengantarkan rasa ini untuk bisa kau mengerti mengapa kejadian ini cukup membuatku berjelaga. Tetaplah tersenyum dan mewujudkan mimpimu. Mimpi yang membuatku percaya bahwa mentari masih akan terbit di ujung pelupuk matamu ketika matamu itu terbuka. Terima kasih telah menjadikan aku temanmu dalam waktu hampir tiga tahun ini. Sedikit lagi sampailah kita pada gerbang dunia yang sudah terbuka sedikit dan siap menjebloskan kita pada dunia nyata. Aku akan selalu belajar darimu untuk menjadi yang bernama dalam dunia. Jika kita sudah di jalan kita masing-masing. Tulisan ini setidaknya pernah menjadi bukti bahwa aku pernah memiliki salah satu tangan malaikat di bumi ini. 
Dariku, Setiyo Prutanto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar